Refleksi Pascarelokasi Industri ke Jawa Tengah di Kupatan Kendeng

Penulis : Gilang Helindro

Lingkungan

Rabu, 17 April 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Petani Kendeng yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) mengadakan ritual budaya Kupatan Kendeng, di Desa Tegaldowo dan Desa Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng Rembang, Joko Prianto mengatakan, tradisi yang dilaksanakan setiap hari ke lima bulan Syawal kali ini sekaligus sebagai refleksi bersama pascarelokasi industri yang masif ke Jawa Tengah. 

“Diakomodir melalui UU Cipta Kerja, PP Proyek Strategis Nasional (PSN), serta aturan turunan lainnya, salah satu provinsi penyumbang pangan terbesar nasional ini pun berada dalam kondisi kritis akut,” kata Jojo dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 16 April 2024.

Masifnya alih fungsi lahan-lahan produktif untuk pabrik, tol dan pembangunan lainnya, kata Joko, berdampak terhadap bencana selama beberapa tahun terakhir. 

“Untuk menyuplai kebutuhan pembangunan serakah tersebut, daerah tambang makin diperluas. Tidak terkecuali di Pegunungan Kendeng,” ungkap Joko.

Kupatan Kendeng. Foto: Istimewa

Joko menjelaskan, sejak akhir 2023 hingga awal 2024 terjadi banjir, tanah longsor, dan bencana lainnya di Jawa Tengah. Banjir bandang setidaknya tiga kali melumpuhkan kawasan pantura, khususnya di wilayah Demak hingga Kudus. 

Joko mengatakan, banjir ini tidak hanya berdampak terhadap perekonomian, juga menghilangkan ruang hidup masyarakat terdampak karena tergenangnya lahan-lahan persawahan. “Adakah langkah pencegahan yang komprehensif dari pemerintah kabupatan/kota, provinsi, bahkan pusat untuk kondisi itu?,” tanya Joko.  

Momen Kupatan Kendeng tahun ini, ungkap Joko, menjadi momentum mengingat bulan yang sama tujuh tahun yang lalu, ketika Presiden Joko Widodo mengamanatkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pegunungan Kendeng. Kajian yang dikerjakan dua tahap tersebut seharusnya menjadi pijakan utama bagi kebijakan pemerintah untuk kelestarian alam sebagaimana diatur dalam UU no 32 tahun 1999 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) pasal 14-18.

Menurut Joko, KLHS dan kemenangan warga atas gugatan izin lingkungan PT Semen Indonesia pada 2016 lalu tidak pernah dieksekusi pemerintah. 

“Mereka terus congkak merusak kelestarian Kendeng tanpa melihat pentingnya kawasan ini bagi kehidupan makhluk dan ekosistem,” ungkap Joko. Dalam KLHS disebutkan bahwa eksploitasi yang akan dan telah terjadi adalah ancaman bagi ribuan sumber-sumber mata air abadi di dalam Pegunungan Kendeng. 

Joko menyebut, tidak hanya petani tetapi seluruh rakyat di Rembang, Pati, Blora, Grobogan dan wilayah lain serta semua makhluk yang ada di dalam ekosistem Kendeng bergantung hidup pada sumber-sumber air ini. Jika eksploitasi di Pegunungan Kendeng dengan kisaran luasan lahan 392,84 hektare tersebut terus dilakukan, akan berdampak terhadap kerugian yang massif.  Valuasi ekonomi pada dokumen KLHS Kendeng memperhitungkan potensi kerugian sebesar Rp3,2 triliun setiap tahun.

Melalui momen Kupatan Kendeng, ungkap Joko,  JM-PPK dengan tanpa lelah terus mengingatkan kepada pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten untuk serius menangani bencana yang terus terjadi setiap tahun. 

“Bukan hanya mengatasi hilir saja namun harus menyentuh hulu/sumber dari bencana itu sendiri. Pemerintah harus memastikan lahan-lahan produktif di Jawa Tengah dilindungi dengan kebijakan yang berpihak kepada para petani termak menjamin kemudahan akses pupuk, bibit, dan harga pasar yang saling menguntungkan berbagai pihak,” kata Joko.