Mendesak, Pembuatan Peta Jalan Dekarbonisasi Industri Besi - Baja

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Senin, 25 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Industri besi dan baja mengalami tren peningkatan baik dari sisi konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Namun emisi yang diciptakan oleh industri ini mencapai 430 juta ton atau 4,9 persen emisi industri. 

Data Kementerian Koordinator Perekonomian menunjukkan konsumsi baja nasional rata-rata sebesar 15,62 juta ton per tahun. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan jumlah produksi baja rata-rata sekitar 12,46 juta ton per tahun. Sementara, dari sisi ekspor, industri besi dan baja mengalami tren peningkatan dari USD 7,9 miliar pada tahun 2019, menjadi USD 28,5 miliar pada tahun 2022.

Peningkatan konsumsi besi dan baja nasional berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Institute for Essential Services Reform (IESR) mencatat industri besi dan baja bertanggung jawab terhadap 4,9 persen dari total emisi industri  yang mencapai setara 430 juta ton karbon dioksida pada 2022, atau berkisar setara 20-30 juta ton karbon dioksida per tahun.  

IESR mendorong pemerintah dan pelaku industri besi dan baja untuk mengurangi emisi demi mencapai usaha berkelanjutan. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyatakan upaya dekarbonisasi sektor industri besi dan baja perlu mengatasi perpindahan teknologi proses produksi besi dan baja. Saat ini, 80 persen produksi besi dan baja di Indonesia masih diproduksi dengan teknologi tanur tinggi atau blast furnace. Bahan bakar proses ini didominasi dengan penggunaan batu bara dan kokas (bahan karbon padat yang berasal dari destilasi batu bara rendah abu dan rendah sulfur). Semakin banyaknya rasio penggunaan teknologi ini maka upaya penurunan emisi di industri besi dan baja di Indonesia akan menjadi lebih sulit.

Ilustrasi industri besi dan baja. Dok Indonesian Iron & Steel Industry Association

“Baja menjadi material kritis yang diperlukan di berbagai aspek pembangunan, termasuk untuk teknologi untuk mendukung transisi energi di seluruh dunia. Penerapan 1 MW teknologi energi terbarukan seperti panel surya dan, turbin angin memerlukan sekitar 20-180 ton baja. Untuk itu, dekarbonisasi industri baja menjadi krusial dilakukan untuk memastikan rantai pasok teknologi menjadi rendah karbon melalui  peningkatan efisiensi energi yang dapat dilakukan dengan beralih terhadap teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi terbarukan serta optimalisasi dari penggunaan baja daur ulang (scrap),” ujar Fabby dalam rilis pers.

Urgensi dekarbonisasi sektor industri besi dan baja juga dipengaruhi secara global dengan adanya aturan produk rendah emisi dan penetapan batas karbon untuk ekspor, serta perdagangan karbon. Senior Analis IESR, Farid Wijaya mengatakan dekarbonisasi industri besi dan baja ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama untuk mencapai Indonesia Emas 2045, melindungi rantai pasokan dalam negeri dan ekonomi masa depan, dan meningkatkan daya saing ekspor untuk pasar global yang semakin sadar akan praktik ramah lingkungan.

“Upaya melakukan dekarbonisasi industri perlu dibarengi dengan membangun ekosistem industri hijau dalam kerangka regulasi dan standar, penyediaan energi hijau dan teknologi rendah karbon. Perlu peta jalan oleh masing-masing industri dan asosiasi, yang saat ini masih terbatas pada beberapa sektor dan belum menjadi sebuah regulasi yang bisa dijadikan landasan aksi dekarbonisasi untuk pelaku industri dan asosiasi,” ujar Farid. 

Studi IESR memberikan rekomendasi dorongan dekarbonisasi industri di Indonesia. Pertama, penyelesaian peta jalan dekarbonisasi industri oleh Kementerian Perindustrian pada akhir tahun 2024 atau lebih cepat. Kedua, memperkuat pelaporan dan pengumpulan data mengenai implementasi Peraturan Menteri Perindustrian No.2/2019 mengenai tata cara penyampaian data industri melalui Sistem Informasi Industri Nasional (SIINAS) dan memastikan keterbukaan laporan keberlanjutan industri untuk transparansi dan akses informasi, terutama pelaporan penggunaan energi dan bahan baku  serta limbah yang dihasilkan. 

Ketiga, menyusun patokan (benchmarking) proses produksi industri hijau serta memperluas cakupan dan nilai batas standar industri hijau (SIH) dari yang awalnya bersifat sukarela (voluntary) dan mengacu ke best practice lokal menjadi wajib (mandatory) dan berkesesuaian dengan kebutuhan penurunan emisi di tahun 2060, atau lebih awal.

Kajol, Manajer Program Industri Netral-Iklim Asia Tenggara, Agora Industri, menuturkan transformasi industri besi dan baja memerlukan tiga strategi yaitu penggunaan energi terbarukan secara langsung dan tidak langsung, efisiensi sumber daya dan penerapan ekonomi sirkular, serta pengakhiran siklus karbon dengan penggunaan Carbon Capture Use and Storage (CCU/S) dan biomassa dan bioenergi yang dilengkapi dengan CCS (BECCS).

Analis Pengembangan Infrastruktur Pusat Industri Hijau Kemenperin, Fausan Arif Darmadi, menegaskan, pihaknya telah meluncurkan standar industri hijau (SIH) yang memuat ketentuan mengenai bahan baku, bahan penolong, energi, proses produksi, produk, manajemen pengusahaan, dan pengelolaan limbah. Selain itu, terdapat juga Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) No. 12 Tahun 2023 tentang batasan penggunaan energi, air, dan batasan emisi gas rumah kaca (GRK) untuk baja lapis. Dengan regulasi tersebut, diharapkan dapat menjadi pedoman bagi perusahaan untuk menjalankan proses produksi yang efisien dan ramah lingkungan.