Sorbatua: Yang Dibui karena Melindungi Tanah Adat

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Selasa, 26 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ketua Komunitas Adat Dolok Parmonangan, Sorbatua Siallagan, dijemput paksa oleh polisi ketika hendak membeli pupuk, pada Jumat (22/3/2024). Ia dibawa sejauh 159 km dari Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, ke Markas Polda Sumatera Utara (Sumut), di Kota Medan.

Berdasarkan isi surat penangkapannya, Sobatua dituduh melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan secara tidak sah di areal konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) Tbk, Sektor Aek Nauli Hulu Wilayah Kerja Dolok Parmonangan Compartment C.001 dan C.059 di Huta (Dusun) Dolok Parmonangan, Nagori (Desa) Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan.

Namun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menduga penangkapan Sorbatua ini ada hubungannya dengan perjuangan Komunitas Adat Dolok Parmonangan membebaskan wilayah adatnya yang masuk dalam konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman (HT) PT TPL.

Berdasarkan analisis Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), luas wilayah adat Dolok Pamonangan sebesar 851,42 hektare, dan 235,71 hektare di antaranya tumpang tindih dengan konsesi PT TPL. Wilayah seluas 235,71 hektare inilah yang sejak beberapa tahun belakangan diperjuangkan oleh Sorbatua dan anggota komunitas adatnya.

Tampak dari ketinggian salah satu lokasi penebangan hutan alam untuk penamaman eukaliptus di areal kerja PT TPL, di Sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara./Foto: Betahita/Auriga Nusantara

"Kami curiga penangkapan ini hasil pesanan, sebab selama ini Sorbatua Siallagan cukup keras menentang perusahaan PT Toba Pulp Lestari,” kata Jhontoni Tarihoran, Ketua Pengurus Harian AMAN Tano Batak, Minggu (24/3/2024).

Menurut AMAN Tano Batak, Sorbatua Siallagan selama ini memimpin masyarakat adat Dolok Parmonangan menuntut tanah adat dari Ompu Umbak Siallagan yang berada di Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, yang telah diklaim sepihak oleh pemerintah dan diberikan izin konsesi kepada PT TPL. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak Ompu Umbak Siallagan sejauh ini belum juga mendapat respon dari pemerintah.

Masyarakat adat keturunan Ompu Umbak Siallagan Dolok Parmonangan terus dihalangi dan diintimidasi pihak perusahaan, saat mengelola wilayah adatnya. Begitu juga aparat kepolisian datang silih bergantian atas laporan perusahaan PT TPL untuk menghentikan perjuangan Ompu Umbak Siallagan yang dipimpin oleh Sorbatua Siallagan.

"Dari kejadian belakang ini, dugaan kuat bahwa pihak perusahaan PT TPL menjadi dalang dibalik kejadian ini dengan melakukan intimidasi dan kriminalisasi dari aparat kepolisian, termasuk kejadian penangkapan ini adalah atas laporan pihak perusahaan PT TPL," kata Jhontoni.

Kriminalisasi terhadap Sorbatua ini bukan kali yang pertama. Sebelumnya, pada 2020 lalu, ia dan seorang anggota Komunitas Dolok Parmonangan lainnya, bernama Sudung Siallagan, juga pernah dituduh melakukan pendudukan atas lahan konsesi PT TPL. Padahal aktivitas yang dilakukan mereka adalah bercocok tanam di atas lahan nenek moyangnya.

Akan tetapi pihak PT TPL tidak terima. Pada 22 Januari 2020, salah satu masyarakat adat Dolok Parmonangan yakni Hasudungan Siallagan dipanggil oleh pihak kepolisian untuk memberikan keterangan sebagai saksi terkait tuduhan menduduki lahan yang diklaim oleh PT TPL sebagai lahan konsesi mereka.

Sejarah wilayah adat

Dikutip dari BRWA, Huta Dolok Parmonangan yang kini diperjuangkan Sorbatua dan komunitas adatnya merupakan huta (dusun) milik keturunan ketiga anak dari Raja Ompu Umbak Siallagan yang saat ini masih ditempati oleh keturunan ke-7 dari ketiga anaknya.

Pada zaman penjajahan Belanda terjadi peminjaman tanah antara Belanda dengan salah satu keturunan Ompu Umbak Siallagan. Pada waktu itu Belanda mengembangkan tanaman pinus di tanah adat. Tetapi belum sempat panen, Indonesia sudah merdeka sehingga Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa tanaman pinus yang ada merupakan peninggalan Belanda yang menjadi Hak Negara.

Saat ini lokasi tersebut berfungsi sebagai kawasan hutan lindung. Masyarakat merasa keberatan. Sebab Kuburan Ompu Umbak Siallagan masuk dalam kawasan yang diklaim sepihak oleh pemerintah. Selain itu wilayah adat Huta Utte Anggir Parmonangan tumpang tinding dengan perusahaan Raja Garuda Mas (RGM) yang sudah mengantongi ijin dari pemerintah.

Adapun luasannya berkisar kurang lebih 500 hektare. Pada waktu itu pihak perusahaan menebangi tanaman-tanaman yang sudah ada seperti kopi, pinus, dan bambu sehingga masyarakat benar-benar merasa dirugikan, tetapi tidak bisa melakukan perlawanan karena juga taat pada aturan pemerintah.

Pernah terjadi negosiasi antara masyarakat dengan pihak perusahaan untuk ganti rugi tanaman yang ada walaupun jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan hasil yang seharusnya mereka dapatkan. Selain RGM, ada juga PT TPL yang keberadaannya hampir di seluruh wilayah adat setempat.

Pada November 2018 pernah terjadi pelarangan dari Balai Penerapan Standar Instrumen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPSILHK) Aek Nauli, dengan mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada camat, kapolsek, dan juga desa yang instruksinya melarang masyarakat untuk masuk dan beraktivitas di kawasan hutan lindung. BPSILHK mengira masyarakat merambah hutan, padahal yang terjadi pada waktu itu masyarakat sedang membersihkan makam leluhur dan akan melaksanakan ritual adat.

Pelarangan tersebut mendapat reaksi dari masyarakat adat dengan meminta audiensi ke BPSILHK. Setelah dilakukan mediasi dan masyarakat menjelaskan secara kronologis sejarahnya, bahwa dalam kawasan lindung tersebut memang terdapat makam leluhur yang merupakan bukti tonggak sejarah, pihak BPSILHK mengizinkan masyarakat untuk tetap bisa melakukan ritual adat di kawasan hutan tersebut. Warga juga diperbolehkan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan sumber air yang ada. Sampai saat ini masyarakat masih terus berupaya mendapatkan kembali hak ulayat adatnya.