Campuran Biodiesel Naik, Ekspansi Sawit Membayangi

Penulis : Kennial Laia

Sawit

Rabu, 27 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Kebijakan pemerintah meningkatkan campuran biodiesel hingga 50% dinilai mengancam hutan alam tersisa di Indonesia, menurut laporan terbaru dari sejumlah organisasi masyarakat sipil. 

Hal ini karena peningkatan campuran biodiesel akan meningkatkan permintaan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang menjadi bahan baku utama biodiesel di Indonesia. Saat ini Indonesia telah menerapkan B35, yakni 35% minyak FAME (fatty acid methyl ester) dari minyak sawit dan 65% dari bahan bakar minyak solar.  

Menurut laporan tersebut, dibutuhkan sekitar 23 juta hektare kebun sawit untuk memenuhi kebutuhan campuran biodiesel B50 pada 2042. Angka ini diperoleh dengan asumsi skenario agresif. Artinya, bisnis berjalan seperti biasanya atau business as usual (BUA), serta memasukkan luas tanaman rusak dan belum menghasilkan. 

Iqbal Damanik, Forest Campaigner di Greenpeace Indonesia mengatakan, saat ini luas perkebunan kelapa sawit sekitar 16,8 juta hektare berdasarkan data pemerintah. 

Tutupan hutan di wilayah selatan Tanah Papua. Dok Greenpeace

“Dengan mekanisme agresif, maka dibutuhkan pertumbuhan sekitar 43% dari total lahan yang sudah ada untuk memenuhi kebutuhan ini. Jadi ada kebutuhan lebih dari 6 juta hektare untuk lahan baru hingga 2042,” kata Iqbal dalam peluncuran laporan berjudul “Sawit dan Biodiesel: Tren, Potensi Deforestasi, dan Upaya Perlindungan Hutan Alam” di Jakarta, Jumat, 22 Desember 2024. 

Iqbal mengatakan saat ini terdapat 3,4 juta hutan alam tersisa di seluruh area izin perusahaan kelapa sawit di Indonesia. Menurutnya, hutan dalam konsesi inilah yang akan menjadi sasaran pembukaan lahan pertama kali ketika kebutuhan CPO itu meningkat. 

“Ada hutan alam tersisa dalam konsesi sawit ini yang mungkin terancam, yakni sekitar 3,4 juta hektare dalam konsesi sawit,” kata Iqbal. 

“Jadi ambisi untuk meningkatkan bauran energi dalam konteks biodiesel ini juga berpotensi melenyapkan hutan alam Indonesia di masa mendatang,” ujarnya. 

Laporan tersebut melakukan analisis proyeksi permintaan minyak sawit untuk rentang waktu 2023 hingga 2042 dengan tiga skenario tingkat campuran biodiesel yang berbeda. Pertama adalah bussiness as usual (BAU) dengan mengasumsikan tingkat campuran biodiesel konstan sebesar 35% dari 2023 hingga 2042. Skenario kedua, yakni ambisius, dengan tingkat campuran biodiesel sebesar 35% pada 2023 dan 40% pada 2024 hingga 2042.

Sementara skenario ketiga adalah agresif dengan tingkat campuran biodiesel sebesar 35% pada 2023, 40% pada 2024, dan 50% pada 2025 hingga 2042.

Minyak sawit sebagai bahan baku utama produksi biodiesel ikut mendorong peningkatan permintaan minyak sawit nasional termasuk penggunaannya untuk kebutuhan pangan domestik dan industri yang juga mengalami peningkatan. 

Iqbal mengatakan, laporan tersebut menghitung bahwa apabila target campuran biodiesel ditingkatkan menjadi 40% pada 2024, maka total permintaan minyak sawit akan naik menjadi 69,94 juta ton pada 2042. Porsi ekspor turun menjadi 47%, dan porsi untuk produksi biodiesel naik menjadi 33%. 

Jika Pemerintah Indonesia meningkatkan lagi target campuran biodiesel menjadi 50% pada tahun 2025, maka total permintaan minyak sawit pada 2042 akan mencapai 75,63 juta ton, dengan porsi ekspor turun menjadi sebesar 44% dan porsi untuk produksi biodiesel naik menjadi 38%. 

Laporan tersebut menghitung, dalam skenario ambisius, kebijakan ini akan melahap sebanyak 17 juta hektare, dan 18,4 juta hektar pada skenario agresif. 

Dengan asumsi adanya tanaman yang rusak dan tanaman yang belum menghasilkan, maka luas perkebunan sawit yang dibutuhkan menjadi semakin tinggi. Pada skenario BAU, luas kebun sawit yang dibutuhkan menjadi sebesar 20,52 - 21,39 juta hektar pada skenario ambisius, dan lebih tinggi pada skenario agresif, yakni sebesar 23,13 juta hektar. 

“Dengan arah pengaturan perlindungan hutan yang ada, hutan alam tersebut mungkin akan lenyap dalam dua dekade mendatang,” tegas Iqbal. 

Peneliti Satya Bumi, Sayyidatihayaa Afra, mengatakan ambisi pemerintah meningkatkan kewajiban campuran biodiesel perlu ditimbang ulang. Pasalnya, permintaan minyak sawit nasional tidak hanya digunakan untuk energi, melainkan juga untuk kebutuhan pangan, oleokimia serta ekspor sebagai sumber devisa, yang juga mengalami peningkatan. 

Di sisi lain, kata Hayaa, Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan juga menjadikan biomassa sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang diusung dan diberikan banyak kemudahan dalam proses transisi energi ke depan. 

Menurutnya, kebijakan ini berpotensi memicu masifnya ekspansi lahan, yang pada beberapa tahun lalu menjadi musabab utama deforestasi dan kenaikan emisi. Selama periode 2001-2022, misalnya, 2,95 juta hektare hutan alam telah beralih menjadi perkebunan sawit. 

“Apalagi hingga saat ini belum ada kebijakan yang melarang deforestasi. Sebaliknya yang ada hanya upaya menghentikan deforestasi melalui instrumen lain seperti pembatasan penerbitan izin baru,” kata Hayaa. 

Hayaa mengatakan, berbagai regulasi pemerintah terkait perlindungan hutan tidak diarahkan untuk mencapai target nol deforestasi. Di sisi lain, Proyek Strategis Nasional turut memungkinkan pelenyapan hutan alam untuk kesuksesan mega proyek tersebut.

“Meskipun biodiesel tidak mendapat label PSN, tetapi manfaat yang diklaim melebihi PSN. Jika biodiesel diarahkan menjadi salah satunya, maka ketentuan lingkungan hidup akan banyak yang dikesampingkan, termasuk membuka hutan alam untuk pembangunan kebun sawit baru. Apalagi kita memiliki kuota deforestasi kurang lebih 6,8 juta hektare selama 2020-2050,” kata Hayaa. 

Bahkan kebijakan biodiesel juga didukung dengan penggunaan dana pungutan CPO untuk biodiesel. Sejak 2015 hingga 2022, jumlah dana pungutan yang telah digunakan untuk biodiesel telah mencapai Rp144,7 triliun, berdasarkan laporan tahunan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit tahun 2015-2022. 

Saat ini, rantai pasok biodiesel dikuasai oleh lima kelompok perusahaan yang mendapat alokasi biodiesel lima terbesar yakni Wilmar, Royal Golden Eagle, Musim Mas, Permata Hijau, dan Sinar Mas. PT Pertamina Patra Niaga milik Grup Wilmar menjadi perusahaan penerima alokasi biodiesel terbanyak, yakni 79% dari total alokasi tahun 2022.