Duit Pinjaman Uni Eropa Berisiko Merusak Lingkungan

Penulis : Aryo Bhawono

Ekosistem

Kamis, 28 Maret 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Sejak penandatanganan Perjanjian Paris 2015, duit sekitar 1,156 triliun euro atau setara Rp 19.842 triliun kredit global mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim. Seperlima dari kredit global atau sekitar 256 miliar euro atau setara Rp 4.394 triliun berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.

Aliran ini termuat dalam laporan kaitan antara lembaga keuangan dan kerusakan lingkungan hidup yang disusun oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa. Mereka menganalisis data yang disusun lembaga riset Profundo. Temuan lembaga ini membuktikan bahwa sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada akhir 2015, ada sekitar 1,257 triliun dolar AS (€1,156 triliun atau setara Rp19.842 triliun) kredit global mengalir ke grup-grup perusahaan di sektor yang berisiko terhadap ekosistem dan iklim.

Temuan ini dimuat dalam laporan “Uni Eropa Membiayai Perusakan Ekosistem” (EU bankrolling ecosystem destruction) yang dirilis Greenpeace International, Friends of the Earth Belanda, dan sejumlah organisasi masyarakat sipil di Uni Eropa menyoroti aliran pendanaan dari lembaga-lembaga keuangan di Uni Eropa. 

Seperlima dari kredit global atau sekitar 256 miliar euro (setara Rp 4.394 triliun) pendanaan itu berasal dari lembaga-lembaga keuangan di 27 negara anggota Uni Eropa.

PT Mayawana Persada diduga terus melakukan pembukaan lahan gambut serta hutan alam yang menjadi habitat orang utan di Kalimantan Barat. Dok Istimewa

Pendanaan itu mengalir ke 135 perusahaan atau pemain utama di sektor yang berisiko terhadap lingkungan hidup, seperti kedelai, peternakan, kelapa sawit, karet, kayu, dan komoditas lain yang berpotensi tinggi merusak ekosistem. Perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, seperti JBS (Brasil), dan Cargill (Amerika Serikat) dan dua grup besar Indonesia, yakni Royal Golden Eagle dan Sinarmas, turut disebut dalam laporan ini sebagai penerima dana dari lembaga keuangan Uni Eropa.

Organisasi masyarakat sipil pun lantas mempertanyakan komitmen iklim Uni Eropa. Selama ini Uni Eropa memiliki kebijakan anti-deforestasi, tapi di sisi lain lembaga-lembaga keuangan yang berasal dan berbasis di negara-negara anggotanya masih mengalirkan kredit dan berinvestasi ke perusahaan-perusahaan yang berpotensi merusak lingkungan. 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, mengungkapkan Uni Eropa dan Indonesia perlu memperketat regulasi lembaga-lembaga keuangan di negara masing-masing agar lebih bertanggung jawab dan tidak ikut membiayai perusakan lingkungan. Sedangkan di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu berefleksi dari laporan ini.

“Hal ini sebenarnya sudah menjadi catatan kami dan Milieudefensie (Friends of the Earth Belanda) pada saat pembahasan draf Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EUDR dulu. Penting bagi Uni Eropa untuk membuktikan komitmen perlindungan iklim mereka,” kata dia.

EUDR, yang diadopsi pada Mei 2023, disebut sebagai langkah Uni Eropa untuk mencapai komitmen iklim dan keanekaragaman hayati global. Kebijakan itu bertujuan mengurangi dampak lingkungan dari konsumsi Uni Eropa, dengan mewajibkan korporasi untuk menjamin bahwa produk-produk mereka tak berasal dari deforestasi setelah Desember 2020. Kendati begitu, beleid itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan. Maka dari itu, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menyebutkan poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya. Uni Eropa mesti memastikan proses ketertelusuran atau traceability mereka dapat diakses dan berkeadilan untuk para petani swadaya. Adapun menyangkut masyarakat adat, kebijakan EUDR saat ini belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.

Di Indonesia, praktik-praktik industri sawit di masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan. Praktik serupa masih mungkin berlanjut, apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR.

“Temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan untuk mengembangkan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi. Di tengah berbagai bencana iklim yang semakin masif, perbankan Uni Eropa jangan lagi mendanai perusahaan yang terlibat perusakan lingkungan. Pemerintah Indonesia juga harus memperkuat komitmen iklimnya dengan memastikan tak ada lagi deforestasi, karena ini besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim,” kata Rompas.