Konflik: Petani Plasma Buol Tuntut Tanggung Jawab PT HIP

Penulis : Gilang Helindro

Sawit

Jumat, 21 Juli 2023

Editor : Sandy Indra Pratama

BETAHITA.ID -  Konflik antara Koperasi Petani Plasma dengan PT Hardaya Inti Plantations (PT HIP) merupakan salah satu potret konflik terkait kemitraan kebun sawit plasma di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

Fatrisia Ain, Perwakilan dari Forum Petani Plasma Buol mengatakan, banyak upaya yang ditempuh masyarakat untuk menuntut hak mereka terpenuhi. Untuk mengatasi persoalan kemitraan antara PT HIP dan Koperasi Petani Plasma, DPRD Kabupaten Buol telah bentuk Panitia Khusus (PANSUS) Pencari Fakta Terkait Kasus Sengketa Forum Petani Plasma Buol beberapa waktu lalu.

“Namun apa yang dihasilkan dari pansus tidak sesuai harapan, tidak bekerja optimal dan tidak menghasilkan rekomendasi-rekomendasi konkret yang dapat menyelesaikan masalah,” katanya Rabu, 19 Juli 2023.

Fatrisia menjelaskan, sejak awal perusahaan berdiri PT HIP belum pernah memberikan kewajibannya untuk pembangunan perkebunan plasma seluas 20 persen. Kebun plasma yang dibangun di Buol adalah adalah lahan milik masyarakat yang tergabung dalam tujuh koperasi plasma, bukan lahan 20 persen dari HGU perusahaan. 

Ilustrasi Sawit Plasma. Foto: Yudi/Auriga

“Lahan seluas kurang lebih 6.746 Hektare yang dikuasai PT HIP merupakan transmigrasi dan kebun produktif yang kami kelola sebelumnya,” katanya.

Hingga saat ini, sertifikat lahan belum dikembalikan ke kami, kata Fatrisia. Berdasarkan informasi pihak perbankan bahwa sertifikat lahan kini telah berada ditangan perusahaan, artinya melakukan talangan kepada perbankan. Masyarakat juga tidak pernah menerima dana bagi hasil rutin sejak 2008, awal kemitraan dimulai. Dari total 15 tahun kerjasama, contoh di salah satu koperasi kami hanya menerima tidak sampai 5 juta rupiah. 

“Sehingga untuk menutupi kebutuhan harian beberapa dari kami harus bekerja sebagai buruh tempel (Buruh Harian Lepas). Kami tidak pernah merasakan keuntungan selama bermitra dengan PT HIP,” tambah Fatrisia.

Mantan Bupati Buol Periode 2017-2022, Amirudin Rauf mengatakan perkebunan sawit yang besar tidak akan memberikan apa-apa, justru mendatangkan kemudaratan. Lebih banyak kemudaratan dari manfaatnya. Masuknya modal pada sektor sumber daya alam di perkebunan besar tidak akan menciptakan kesejahteraan tapi hanya akan mewariskan kemiskinan kepada generasi penerus. “Disitulah pentingnya negara hadir dalam mengelola sumber daya alam. Negara harus berada di tengah-tengah dan jika bisa berpihak ke rakyat,” kata Amirudin dalam Konferensi Pers Menuntut Tanggung Jawab PT HIP Dalam Pemenuhan Hak-hak Petani Plasma di Kabupaten Buol, Sulteng.

Amirudin menyebut, sekarang saatnya masyarakat Buol menerima kembali apa yang menjadi hak mereka. Semua pihak termasuk Pemerintah Daerah dan DPRD Buol harus turun tangan perjuangkan nasib masyarakat. Pemerintah daerah harus alokasikan anggaran cukup dalam mengawal kasus ini, agar masyarakat mendapatkan keadilan. Karena hanya dengan dukungan pemerintah perjuangan ini akan berjalan. “Jangan keluarkan rekomendasi kepada perkebunan besar karena akan mendatangkan bencana dan mewariskan kemiskinian,” ungkapnya.

Senada dengan hal tersebut, Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch menambahkan salah satu bentuk konflik tenurial yang sangat tinggi di perkebunan sawit adalah konflik kemitraan. Hal ini akan terus meningkat jika pemerintah tidak mempunyai mekanisme yang efektif dan efisien dalam penyelesaian kasus. 

Sawit Watch mencatat, terdapat sebanyak 1073 kasus konflik sosial di perkebunan sawit Indonesia. Pendataan tipologi konflik ini dibagi menjadi beberapa kelompok, pertama konflik tenurial 57 persen, kedua konflik antara isu 34,3 persen dan ketiga konflik kemitraan 8,7 persen. “Konflik tenurial mendominasi konflik di perkebunan,” ungkapnya.

Konflik kemitraan di PT HIP merupakan salah satu bentuk pembiaran penyelesaian konflik kemitraan oleh para pemangku kebijakan. Jangan sampai kasus ini berlarut-larut dan menimbulkan dampak merugikan yang semakin besar bagi banyak pihak.

“Salah satu hal yang perlu dikembangkan adalah usaha skala kecil yang dimiliki petani kecil bukan besar, perusahaan cukup berada di hilir dan bukan berbasis lahan,” tutupnya.