Potensi Konflik Akibat Realisasi Plasma Sawit di Kalteng Besar

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Sawit

Selasa, 10 Oktober 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Potensi konflik masyarakat dan perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan sawit di Kalimantan Tengah (Kalteng) seperti di Bangkal, Seruyan, cukup besar. Penyebabnya karena realisasi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat atau plasma oleh PBS masih rendah. "Hanya 9,3 persen dari total luas izin usaha perkebunan (IUP)," kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Bayu Herinata.

Bayu mengatakan, luas realisasi pembangunan kebun sawit untuk masyarakat di Kalteng jauh dari ketentuan minimal 20 persen dari luas IUP. Rendahnya fasilitasi pembangunan kebun sawit masyarakat oleh PBS ini berpotensi akan memicu konflik antara warga dan perusahaan perkebunan sawit.

Potensi konflik semakin besar lantaran pemerintah terkesan tidak tegas menindak perusahaan nakal yang belum memenuhi kewajiban pembangunan kebun plasma. Bentrok warga dan perusahaan, seperti yang terjadi sejak beberapa pekan lalu di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, kata Bayu, adalah contohnya. Konflik di Bangkal itu, menurutnya, bisa terjadi separah itu karena upaya penyelesaian konflik yang tidak cepat dan tepat dilakukan oleh pemerintah.

"Khususnya pemerintah dan perusahaan, tidak tegas dan tidak jelas dalam menyelesaikan konflik. Akan sangat banyak dampaknya, termasuk bentrok," kata Bayu, Senin (9/10/2023)

Ratusan warga melakukan aksi demo menutup pabrik dan menghentikan operasional PT HMBP I di Desa Bangkal, Sabtu (16/9/2023) lalu. Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut realisasi plasma 20 persen perusahaan. Foto: Istimewa/Tabengan.

Menurut Bayu, pemerintah mestinya segera melakukan identifikasi permasalahan rendahnya realisasi pembangunan plasma sawit ini, sehingga bisa didapatkan formulasi penyelesaiannya. Sebab, kata Bayu, dalam beberapa kasus perusahaan hanya akan bersedia membangunkan kebun plasma untuk masyarakat, dengan syarat masyarakat menyediakan sendiri lahan baru untuk dijadikan kebun plasma.

"Seperti yang terjadi di Desa Biru Maju, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), perusahaan minta lahan baru. Sementara masyarakat kesulitan mencari lahan," ujar Bayu.

Dalam temuan Walhi lainnya, lanjut Bayu, meskipun pihak perusahaan sudah membangunkan kebun plasma, namun kelompok masyarakat yang mendapatkan plasma bukanlah mereka yang tinggal di sekitar perkebunan dan terdampak langsung atas keberadaan perusahaan. Sehingga masyarakat sekitar yang lahannya digunakan untuk perkebunan perusahaan, justru tidak mendapatkan hak kebun plasmanya.

"Jadi harus dilihat tipologi konfliknya bagaimana. Kalau ada warga yang tidak mau lahannya dijadikan perkebunan sawit, maka jangan dipaksa. Karena dalam beberapa kasus, masyarakat yang lahannya digunakan, malah tidak mendapatkan plasma sesuai haknya," ucap Bayu.

Bayu mengatakan, rendahnya realisasi pembangunan plasma sawit di Kalteng ini menjadi indikasi ketidakpatuhan perusahaan dalam menjalankan kewajiban. Terhadap perusahaan yang belum memenuhi kewajibannya memfasilitasi kebun masyarakat minimal 20 persen dari luas IUP, mestinya diberikan tindakan tegas, berupa pencabutan izin misalnya.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kalteng, hingga Desember 2022, perusahaan besar perkebunan sawit di Kalteng jumlahnya sebanyak 281 unit, dengan total luas perizinan 3.192.735,87 hektare. Dari jumlah tersebut, 191 unit perusahaan berstatus sudah beroperasi, dengan luas total izin usaha perkebunan (IUP) 2.301.740,34 hektare.

Kemudian, dari luas IUP 2,3 juta hektare itu, luas fasilitasi pembangunan kebun masyarakat atau plasma sawit hanya sekitar 214 ribu hektare saja. Bila dipersentasekan, luas plasma sawit untuk masyarakat yang terealisasi itu hanya 9,3 persen.

Masih berdasarkan data Disbun Kalteng, jumlah perusahaan besar swasta (PBS) yang merealisasikan plasma sawit untuk masyarakat sebanyak 126 unit. Yang berarti masih ada 65 unit PBS lain yang belum membangunkan kebun plasma untuk masyarakat sekitar kebun.

Bila merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 98 Tahun 2013, perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP untuk budidaya (IUP-B) atau IUP dengan luas 250 hektare atau lebih, berkewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luasan paling kurang 20 persen dari luas areal IUP-B atau IUP.

Sebelumnya seorang warga Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, Kabupaten Seruyan, Kalteng, bernama Gilik tewas, saat ratusan warga desa itu melakukan aksi menuntut realisasi plasma dari PT Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP) I, Sabtu (7/10/2023) kemarin. Gilik tewas setelah dadanya berlubang, diduga karena peluru yang ditembakkan oleh pihak kepolisian saat membubarkan aksi warga.

Berdasarkan informasi yang terhimpun, pada Sabtu pagi ratusan warga Bangkal menduduki lahan sawit seluas 1.175 hektare yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) PT HMBP. Warga menganggap lahan tersebut merupakan tanah warga yang dicaplok oleh anak perusahaan Best Agro International Group sejak 2006 silam. Namun pada sekitar pukul 11.30 WIB, situasi mulai tidak kondusif, lantaran pihak kepolisian mulai melepaskan tembakan ke arah warga.

Aksi warga menduduki lahan sawit seluas 1.175 hektare di luar HGU PT HMBP itu diduga adalah bentuk penolakan atas hasil keputusan rapat penyampaian jawaban dari pihak perusahaan dan pihak Pejabat (Pj) Bupati Seruyan, pada 3 Oktober 2023 kemarin. Penolakan tersebut disampaikan warga dalam sebuah surat petisi pernyataan sikap yang warga Bangkal buat.

Dalam surat itu, warga menyatakan menolak fasilitasi pembangunan kebun masyarakat dengan luasan 443 hektare oleh PT HMBP. Warga juga menolak dana alokasi plasma yang besarnya hanya Rp300 ribu, yang dianggap terlalu murah untuk perjuangan warga Bangkal. Warga bersepakat tetap menguasai lahan seluas 1.175 hektare, sebagai hak yang telah lama diperjuangkan sesuai kesepakatan tuntutan pada 2013 silam.

"Kami akan terus berjuang karena janji adalah utang. Kesabaran masyarakat Bangkal sudah begitu besar dengan keberadaan PT HMBP I serta sudah begitu banyak toleransi yang diberikan," kata warga dalam surat pernyataan yang Betahita lihat. "Dari awal berkantor di Desa Bangkal sampai perusahaan itu kini menjadi besar, apakah itu balasan kebaikan terhadap kami, sampai saatnya kami hanya meminta yang menjadi hak kami."