Emisi PLTU Biomassa Setara Batu bara

Penulis : Aryo Bhawono

Energi

Minggu, 10 Desember 2023

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar biomassa diperkirakan menghasilkan emisi yang sama besarnya dengan batu bara. Di Indonesia rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa kian berbahaya, karena akan berimbas pada deforestasi dan konversi hutan alam seluas 2,3 juta hektare menjadi hutan energi. 

Kelompok Biomass Action Network memperingatkan berbagai dampak penggunaan biomassa hutan untuk energi. Emisi pembangkit listrik tenaga biomassa diperkirakan  menghasilkan emisi yang sama besarnya dengan PLTU. 

Lebih jauh, pemenuhan bahan baku energi akan menghasilkan deforestasi. Akibatnya hutan hilang dan kemampuan menyerap serta menahan karbon kian menyusut. 

Selain itu risiko HAM atas konflik dengan masyarakat adat yang bergantung pada hutan. 

Penggiat lingkungan membentangkan poster yang mendesak berhentinya PLTU batu bara, termasuk dengan campuran biomassa, program pemerintah yang dikhawatirkan dapat memicu deforestasi. Dok Trend Asia

Penggunaan biomassa untuk energi merupakan pengalihan perhatian dari tindakan efektif untuk memerangi perubahan iklim. "Pemanfaatan biomassa untuk energi justru menyebabkan kerusakan besar di bawah skema subsidi yang salah arah,” ucap Koordinator Biomass Action Network, Peg Putt, melalui rilis pers yang diterima 8 Desember 2023. 

Pembakaran kayu untuk pembangkit listrik mendominasi energi ‘terbarukan’ di Eropa dan negara-negara forum The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Bioenergi menyumbang 60 persen ‘energi terbarukan’, dengan bioenergi berbahan kayu mencapai 45 persen. Artinya, kata Putt, biomassa hutan merupakan komponen terbesar.

COP26 Glasgow memutuskan mengurangi penggunaan batu bara 5-10 persen untuk PLTU dan menggantinya dengan biomassa hutan. Dan ini mulai diterapkan. Keputusan ini menyebabkan penggunaan PLTU kian mengakar, hutan dan masyarakat adat di sekitarnya terancam hancur. 

Ancaman deforestasi terjadi di Indonesia, pemerintah merencanakan konversi hutan alam seluas 2,3 juta hektare menjadi hutan energi.

“Seperti yang diramalkan The International Renewable Energy Agency (IRENA), peningkatan energi biomassa hingga dua atau tiga kali lipat tidak dapat dibendung. Dunia membutuhkan sumber-sumber emisi yang rendah dan bukannya penebangan, pembakaran, dan pencemaran yang merusak yang berkedok energi terbarukan,” ucap Putt.

The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tanpa sadar mendorong perluasan pembangkit listrik tenaga kayu yang terpusat dan perdagangan internasional yang besar untuk pelet kayu. Aturan penghitungan karbon untuk bentuk energi tertentu pun cacat.

Peraturan saat ini, hanya mencatat emisi dari bahan bakar fosil yang dilaporkan dan diperhitungkan di cerobong asap. Sementara emisi dari pembakaran biomassa tidak. Emisi dari pembakaran biomassa tidak pernah secara eksplisit dilaporkan, melainkan terkubur di suatu tempat di dalam total perubahan sektor lahan.

Emisi tersebut sering kali dikaitkan dengan negara lain di mana biomassa bersumber, bukan dengan negara yang benar-benar menghasilkan energi dengan membakar kayu. Bagi sebagian besar pembuat kebijakan hal ini berarti bahwa pembakaran biomassa hutan adalah netral karbon sehingga mendorong mereka untuk mencapai tujuan pengurangan dengan mempromosikan investasi pada proyek-proyek energi biomassa besar.    

Penghitungan karbon yang cacat untuk biomassa hutan harus diperbaiki melalui revisi aturan UNFCCC dan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Beberapa ilmuwan IPCC yang mengembangkan metodologi tersebut, kata Ptt,  mengakui kekurangan yang menyebabkan konsekuensi buruk.

Masyarakat juga menderita, karena masyarakat adat dan lokal terusir dari hutan dan dari lahan yang dikonversi menjadi perkebunan energi. Masyarakat lainnya menderita polusi udara di wilayah-wilayah di mana pelet kayu diproduksi dan di mana pelet kayu tersebut dibakar di pembangkit listrik terpusat.