Spesies Baru Katak Bertaring Terkecil Ditemukan di Sulawesi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Biodiversitas
Minggu, 24 Desember 2023
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Baru-baru ini para peneliti menemukan spesies katak baru di Sulawesi. Para peneliti mendeskripsikan spesies katak bertaring bernama Limnonectes phyllofolia ini sebagai katak bertaring terkecil yang pernah ditemukan. Penemuan ini dipaparkan dalam sebuah studi dalam jurnal di PLOS ONE.
Spesies katak yang hidup di Pulau Sulawesi ini memiliki adaptasi yang aneh. Spesies ini memiliki dua "taring" bertulang yang menjorok keluar dari tulang rahang bawah mereka. Taring ini digunakan untuk bertarung satu sama lain untuk memperebutkan wilayah dan pasangan, dan kadang-kadang bahkan untuk berburu mangsa bercangkang keras seperti kelabang dan kepiting raksasa.
"Spesies baru ini sangat kecil dibandingkan dengan katak bertaring lainnya di pulau tempat ia ditemukan, sekitar seperempatnya," kata Jeff Frederick, peneliti postdoctoral di Field Museum di Chicago dan penulis utama studi ini, yang melakukan penelitian sebagai kandidat doktor di University of California, Berkeley, dilansir dari PHYS.org.
"Banyak katak dalam genus ini yang berukuran raksasa, dengan berat mencapai dua kilogram. Pada akhirnya, spesies baru ini memiliki berat yang hampir sama dengan uang receh," imbuhnya.
Frederick mengatakan, Sulawesi merupakan pulau dengan jaringan pegunungan, gunung berapi, hutan hujan dataran rendah, dan hutan awan di pegunungan. Menurutnya, keberagaman bentang alam Sulawesi ini dapat diartikan besarnya keanekaragaman hayati di berbagai tanaman dan hewan yang para peneliti temukan di sana, tidak ada bandingannya di tempat lain seperti Amazon.
Awalnya, saat berjalan-jalan di hutan, anggota tim peneliti amfibi dan reptil gabungan Amerika Serikat-Indonesia melihat sesuatu yang tak terduga di daun-daun anakan pohon dan batu-batu besar yang tertutup lumut, yakni sarang telur katak.
Frederick menjelaskan, katak adalah amfibi, dan mereka bertelur yang dibungkus oleh jeli, bukan cangkang yang keras dan melindungi. Untuk menjaga agar telurnya tidak mengering, sebagian besar amfibi bertelur di dalam air. Yang mengejutkan, tim peneliti terus melihat massa telur darat di daun dan batu berlumut beberapa meter di atas tanah. Tak lama kemudian, mereka mulai melihat katak-katak kecil berwarna cokelat itu sendiri.
"Biasanya ketika kami mencari katak, kami memindai pinggiran tepi sungai atau mengarungi sungai untuk melihatnya langsung di dalam air," kata Frederick.
Namun, setelah berulang kali memantau sarang, tim mulai menemukan katak yang sedang duduk di atas dedaunan sambil memeluk sarang kecil mereka. Kontak yang dekat dengan telur-telur mereka memungkinkan induk katak melapisi telur-telur tersebut dengan senyawa yang membuatnya tetap lembab dan bebas dari kontaminasi bakteri dan jamur.
Pemeriksaan lebih dekat terhadap induk amfibi tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa mereka adalah anggota kecil dari keluarga katak bertaring, lengkap dengan taring yang nyaris tidak terlihat, tetapi juga bahwa katak yang menjaga telur-telur tersebut semuanya jantan.
"Perilaku menjaga telur oleh katak jantan tidak sepenuhnya tidak dikenal di semua katak, tetapi agak jarang terjadi," kata Frederick.
Frederick dan rekan-rekannya berhipotesis, perilaku reproduksi katak yang tidak biasa ini mungkin juga berhubungan dengan taring mereka yang lebih kecil dari biasanya. Beberapa kerabat katak memiliki taring yang lebih besar, yang membantu mereka menangkal persaingan untuk mendapatkan tempat di sepanjang sungai untuk bertelur di dalam air.
Karena katak ini berevolusi dengan cara bertelur jauh dari air, mereka mungkin telah kehilangan kebutuhan akan taring yang besar dan mengesankan. Arti dari phyllofolia pada Limnonectes phyllofolia, berarti "sarang daun".
"Sangat menarik bahwa dalam setiap ekspedisi berikutnya ke Sulawesi, kami masih menemukan cara-cara reproduksi yang baru dan beragam," ujar Frederick.
Frederick menuturkan, temuan ini juga menggarisbawahi pentingnya melestarikan habitat tropis yang sangat istimewa ini. Sebagian besar hewan yang hidup di tempat-tempat seperti Sulawesi cukup unik, dan kerusakan habitat merupakan masalah konservasi yang terus membayangi untuk melestarikan keanekaragaman spesies yang kami temukan di sana.
"Mempelajari hewan seperti katak yang tidak ditemukan di tempat lain di Bumi ini membantu menjelaskan alasan untuk melindungi ekosistem yang berharga ini," ucapnya.
Dalam studinya, para peneliti menyebut Limnonectes phyllofolia merupakan satwa endemik Sulawesi, yang hanya diketahui dari tiga lokasi koleksi, di Desa Bontomaranu di Gunung Lompobatang, Gunung Balease, dan Desa Bontosiri di Taman Nasional Bantimurung. Taman Nasional Bantimurung dan Desa Bontomaranu berada di semenanjung barat daya Sulawesi di sebelah selatan dataran rendah Tempe, sebuah batas biogeografis yang penting bagi banyak taksa termasuk tarsius, kera, kodok, dan katak bertaring lainnya.
Lokasi ketiga, Gunung Balease, terletak di kuadran tenggara inti tengah Sulawesi, sehingga menunjukkan bahwa wilayah jelajah L. phyllofolia melintasi batas biogeografis dataran rendah Tempe. Tiga lokasi pengumpulan berkisar dari ketinggian 495 m di Bontosiri hingga 1173 m di Bontomaranu.
"Kami menduga bahwa spesies ini ditemukan secara luas di semenanjung barat daya di dataran rendah hingga ketinggian 1200-1300 m di mana pun terdapat habitat yang cukup utuh, dengan catatan bahwa hanya ada sedikit habitat yang masih utuh di kisaran ketinggian ini di luar Taman Nasional Bantimurung," ujar para peneliti.
Pada 2016, para peneliti melakukan pengambilan sampel secara ekstensif di Gunung Bawakaraeng di semenanjung barat daya antara ketinggian 1520 m hingga 2800 m di habitat yang sedikit terganggu hingga yang masih asli dan tidak mendeteksi spesies ini, yang menunjukkan bahwa spesies ini tidak ditemukan di hutan berlumut dengan ketinggian yang lebih tinggi. Luasnya wilayah jelajah spesies ini di inti tengah jauh lebih sulit untuk diprediksi.
Ada kemungkinan spesies ini terdistribusi secara luas di habitat dataran rendah hingga menengah yang masih utuh, tetapi hutan yang masih asli jarang ditemukan di dataran rendah di inti tengah dan di tempat para peneliti melakukan survei di habitat tersebut, misalnya di dalam Taman Nasional Lore Lindu, para peneliti tidak menemukan spesies ini.
"Ada kemungkinan bahwa spesies ini dulunya tersebar luas di hutan dataran rendah di inti tengah, namun kini jangkauannya terbatas karena hilangnya habitat di dataran yang lebih rendah," kata para peneliti.