Negara Cacah Rumah Gajah di Bentang Seblat Demi Perusahaan Sawit

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Senin, 22 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rumah gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) di Bentang Alam Seblat, di Provinsi Bengkulu, dirambah. Tak tanggung-tanggung, kegiatan usaha tanpa izin atau perambahan tersebut bahkan terjadi di kawasan konservasi, yang menjadi rumah utama gajah di Bentang Alam Seblat. Pelakunya adalah perusahaan perkebunan sawit.

Demikian menurut sebuah laporan investigatif berjudul Merambah Rumah Gajah, yang dirilis Koalisi Indonesia Memantau, Kamis (18/1/2024). Menurut laporan tersebut, perambahan rumah gajah ini, di antaranya dilakukan oleh PT Alno Agro Utama (AAU) dan PT Mitra Puding Mas (MPM). Keduanya bernaung di bawah bendera Anglo Eastern Plantation (AEP) Group.

Dalam laporan tersebut Koalisi menguraikan, bila digabungkan luas rumah gajah sumatra yang dijadikan perkebunan sawit oleh AEP Group ini mencapai 261,19 hektare. Koalisi menengarai kegiatan perkebunan ini belum mengantongi perizinan di sektor kehutanan.

Luasan tersebut didapatkan berdasarkan analisis tutupan lahan yang ditumpangsusunkan dengan izin HGU kedua perusahaan, terlihat ada tumpang tindih areal tanaman kelapa sawit kawasan hutan di Bentang Seblat.

Terlihat dari ketinggian perkebunan sawit yang diduga ditanam oleh PT Mitra Puding Mas di Bengkulu yang terindikasi masuk ke dalam Taman Wisata Alam Seblat./Foto: Betahita.id

Secara rinci, analisis tersebut menunjukkan sawit PT AAU di Air Ikan Estate tumpang tindih dengan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh 1 seluas 42,26 hektare, sawit PT AAU di Sapta Buana Estate tumpang tindih dengan Hutan Produksi Tetap (HP) Air Rami-HPT Lebong Kandis seluas 27,93 hektare, sawit PT AAU di Sumindo Estate tumpang tindih dengan HPT Lebong Kandis seluas 60 hektare, dan sawit PT MPM tumpang tindih dengan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Seblat seluas 131 hektare.

"Kecil angkanya (luasan). Tapi proses pembiaran (perambahan) ini menyebabkan perusakan lainnya mendapatkan angin," kata Ali Akbar, Ketua Kanopi Hijau Indonesia, dalam launching laporan Merambah Rumah Gajah, Kamis (18/1/2024).

"Kita laporkan (perambahan) kemana-mana, tapi tidak ada respon," imbuh Ali. "Negara, dalam hal ini BKSDA Bengkulu-Lampung memasang papan merek TWA Seblat. Tapi di belakang plang merek itu kebun sawit aktif, ada jalannya, produksinya terus-menerus."

Korporasi bisa dipidana

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra menyebut dalam hal penggunaan kawasan hutan tanpa izin yang dilakukan oleh korporasi, dengan bentuk perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana termaktub dalam Pasal 17 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), selain sanksi administrasi dapat dikenakan sanksi pidana.

Dalam UU Cipta Kerja, kata Roni, tidak memperkenalkan konsep ultimum remidium, yang selama ini disampaikan pemerintah. Norma yang ada di UU Cipta Kerja, lebih menggunakan pendekatan kumulatif eksternal. Artinya sanksi administratif dan pidana bisa dikenakan.

"Karena tidak ada kewajiban dalam UU yang menyatakan sanksi administrasi harus didahulukan baru pidananya dilaksanakan bila sanksi adminstrasi tidak dilaksanakan," kata Roni.

Kemudian, kata Roni, kegiatan usaha perkebunan dalam kawasan hutan tanpa memiliki perizinan usaha juga bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana. Hal tersebut diatur Pasal 92 ayat (2) UU P3H, yang berbunyi "Melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Ayat (2) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 tahun, paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20 miliar dan paling banyak Rp50 miliar."

Dalam kasus PT AAU dan PT MPM, dilihat dari peta perizinan yang dimiliki oleh keduanya, juga cukup jelas terlihat adanya areal tumpang tindih antara lahan perkebunan dengan kawasan hutan yang seharusnya tidak boleh ditanami sawit. Bahkan dua nama perusahaan itu ada dalam daftar kegiatan usaha yang terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan Surat Keputusan (SK) No. SK.1143/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2023 yang diterbitkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Oktober 2023 lalu.

"Artinya benar mereka melakukan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan. Selain dikenai sanksi administratif juga bisa dikenakan pidana," kata Roni.

Menurut Roni, pendekatan administrasi bukanlah pilihan terbaik dalam penegakan hukum perambahan hutan. Roni bilang, apabila pemerintah dan negara memang ingin memastikan dan memprioritaskan perlindungan sumber daya alam, maka tindakan korporasi yang merugikan negara itu harus dilakukan lebih cepat.

Terakhir Roni menyebut kasus perambahan rumah gajah di Bentang Seblat ini, mestinya dijadikan catatan dalam perumusan revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Terutama mengenai norma perlindungan satwa dilindungi dan habitatnya.

Perkebunan sawit bikin gajah tak bisa pulang

Ali Akbar menyebut, negara telah memotong rumah gajah, dengan memberikan izin perkebunan kepada PT AAU. Akibatnya gajah-gajah yang menjelajah ke beberapa kawasan hutan, seperti HP Air Teramang, HP Air Rami dan lainnya, tidak lagi bisa kembali ke kawasan TWA Seblat.

"Setelah 2015-2016 gajah itu tidak lagi bisa pulang ke istananya, ke rumah utamanya yang disebut TWA Seblat. Mereka beredar di kantong mereka yang sangat luas," ungkap Ali.

Sejak saat itu, imbuh Ali, populasi gajah di Bentang Alam Seblat turun drastis. Pada 2017, jumlah gajah liar hanya tersisa 47 ekor, berada di kantong habitat HP Air Teramang dan HP Air Rami. Padahal sebelum 2017, berdasarkan dokumen Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Gajah 2007-2017, jumlahnya masih di angka sekitar 150 individu.

"2021 kita temukan (gajah) mati. Hasil forensik kakinya bolong. Yang baru ini mati lagi, kepalanya yang bolong, calingnya hilang. Dalam tiga tahun 3 gajah mati. Yang lebih mirisnya lagi gajah yang dipasangi GPS collar oleh petugas negara, mati juga," kata Ali.

Ali mengatakan, secara alami gajah-gajah itu tetap berusaha pulang ke TWA Seblat. Sehingga pihaknya mengusulkan kepada PT AAU untuk membangun jalur koridor perlintasan gajah, yang menghubungkan TWA Seblat dengan sub kantong populasi gajah lain di Bentang Seblat.

Tapi usulan tersebut hingga kini tidak juga dilakukan oleh PT AAU. Alih-alih membantu gajah pulang, atau membiarkan gajah melintasi kebun sawitnya ke TWA Seblat, yang terjadi justru gajah-gajah itu selalu diusir atau ditolak. Bahkan, Ali menyebut, pada 2017 PT AAU memiliki tim khusus pengusiran gajah.

Profil PT AAU dan PT MPM

Lalu siapa Anglo Eastern Plantation (AEP) Group? Koalisi menyebut grup perusahaan ini dibangun pada 1985 di London. Di Indonesia usahanya dimulai dengan mengakuisisi dan mengembangkan perkebunan di Sumatera Utara yang kemudian meluas ke berbagai provinsi.

Grup ini beroperasi di bidang perkebunan kelapa sawit dengan produknya crude palm oil (CPO). Anglo Eastern Plantation (AEP) Group tercatat memiliki 16 perkebunan kelapa sawit di Indonesia seluas 119.648 hektare. Di Bengkulu, AEP Group memiliki tiga unit kebun, yaitu areal PT Alno Agro Utama, PT Mitra Puding Mas, dan PT Riau Agrindo Agung yang terdapat di Kabupaten Bengkulu Utara dan Mukomuko, dengan total luas kebun mencapai 25.725 hektare.

Kepemilikan saham grup pada unit usahanya di Bengkulu melalui korporasi Anglo Indonesia Oil Palm Limited. Berdasarkan dokumen profil perusahaan yang diakses dari Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia, Republik Indonesia, ketiga perusahaan perkebunan ini tercatat dengan pemilik manfaat yang sama, yakni Anglo Indonesian Oil Palms Limited.

"AEP perusahaan modal asing. Dulu basisnya di Inggris. Tapi sekarang dia di Malaysia. Karena mayoritas sahamnya dibeli warga negara Malaysia," ujar Ali.

Berdasarkan komposisi sahamnya, PT Alno Agro Utama saham mayoritasnya (90%) dimiliki oleh Anglo Indonesian Oil Palms Limited, sisanya 10% dimiliki oleh PT Marison Nauli Ventura. PT Mitra Puding Mas saham mayoritasnya (90%) dimiliki Anglo Indonesian Oil Palms Limited, sisanya 10% dimiliki oleh PT Canadianty Corporindo. Sedangkan PT Riau Agrindo Agung saham mayoritasnya (96%) dimiliki oleh PT Musam Utjing, sedangkan sisanya 10% dimiliki oleh Anglo Indonesian Oil Palms Limited. Setelah ditelusuri lebih lanjut, saham PT Musam Utjing dimiliki oleh Musam Indonesia Limited, Anglo Indonesia Oil Palms Limited, dan PT Marison Nauli Ventura.

PT AAU memiliki kebun kelapa sawit di Provinsi Bengkulu, yang secara administratif berada di Kabupaten Mukomuko dan Bengkulu Utara. Luas HGU-nya 14.202 hektare yang terbagi dalam empat estate, yaitu Air Ikan Estate, Pangeran Estate, Sapta Buana Estate, dan Sumindo Estate. Sedangkan PT MPM memiliki HGU seluas 4.323,1 hektare yang secara administratif berada di Kabupaten Bengkulu Utara.

Bentang Alam Seblat rumah gajah tersisa di Bengkulu

Dalam laporan tersebut, Koalisi memaparkan, habitat gajah di Bentang Alam Seblat luasnya mencapai 323.000 hektare dan secara administrasi
masuk dalam Kabupaten Mukomuko dan Bengkulu Utara. Berdasarkan
surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 784 Tahun 20125, wilayah ini merupakan kawasan hutan yang statusnya sebagai kawasan konservasi dan hutan produksi.

"Bentang Alam Seblat itu adalah rumah gajah terakhir di Bengkulu. Setelah di kabupaten yang lain, seperti di Kabupaten Kaur dan Kabupaten Bengkulu Selatan, gajahnya habis. Sudah tidak ditemukan lagi," kata Ali.

Bentang alam ini merupakan gabungan dari beberapa kawasan hutan yakni Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh I, dan II, HPT Lebong Kandis, Hutan Produksi Tetap (HP) Air Rami, serta HP Air Teramang dan juga APL.

Berdasarkan hasil survei selama 5 tahun terakhir (2018-2022) yang dilakukan oleh Forum Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial (Forum KEE), tanda keberadaan gajah ditemukan hanya dalam wilayah seluas 80.987 hektare. Hal ini menunjukkan hanya sebagian kecil dari wilayah Bentang Alam Seblat yang masih menjadi habitat gajah. Padahal, luas kantong habitat gajah Seblat yang dilaporkan sebelumnya dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Gajah Sumatera dan Gajah Kalimantan 2007-2017 masih sekitar 144.499 hektare. Artinya ada penyusutan hampir separuhnya.

Berkurangnya luas kantong habitat gajah antara lain akibat perubahan peruntukan kawasan hutan dan pelepasan, termasuk untuk perkebunan. Berdasarkan data KLHK di wilayah ini, sejak 1997 sampai dengan 2020, setidaknya kawasan hutan yang telah dilepas untuk perkebunan (khususnya sawit) mencapai 4.500 hektare. Salah satu korporasi yang mendapatkan konsesi tersebut adalah grup usaha perkebunan milik Anglo Eastern Plantation (AEP).

"Negara juga kasih izin usaha pertambangan PT Inmas Abadi di jalur gajah. Sekarang mereka urus izin persetujuan penggunaan kawasan hutan (IPPKH). Saya enggak tahu, apakah menteri akan menyetujui IPPHK itu," ucap Ali.

Sawit hasil merambah rumah gajah beredar ke berbagai negara

Berdasarkan data Trase.earth, pada 2020, CPO atau minyak sawit yang dihasilkan dari kebun PT AAU dan PT MPP terlacak dijual ke sejumlah perusahaan lain.

Detailnya, PT AAU menjual ke PT Wilmar Nabati Indonesia (Wilmar Group) sebesar 19.170 ton, ke PT Padang Raya Cakrawala (Apical/Royal Golden Eagle Group) 6.354 ton, ke PT Karya Indah Alam Sejahtera (Wings Food Group) 4.885 ton, ke PT Multimas Nabati Asahan (Wilmar Group) 208 ton, ke PT Sinar Alam Permai (Wilmar Group) 15 ton dan ke PT Rantau Sinar Karsa (Asian Agri/Royak Golden Eagle Group) 10 ton.

Sedangkan PT MPM, menjual ke PT Wilmar Nabati Indonesia sebesar 17.779 ton, PT Wira Inno Mas (Musim Mas Group) 7.118 ton, ke PT Padang Raya Cakrawala (Apical/Royal Golden Eagle Group) 5.446 ton, ke PT Karya Indah Alam Sejahtera (Wings Food Group) 3.449 ton, PT Multimas Nabati Asahan (Wilmar Group) 202 ton, PT Sinar Alam Permai (Wilmar Group) 3 ton, dan PT Rantau Sinar Karsa (Asian Agri/Royak Golden Eagle Group) 8 ton.

Oleh sejumlah perusahaan tersebut, CPO yang mungkin berasal dari hasil perambahan rumah gajah Seblat ini kemudian diekspor ke berbagai negara, seperti China, Spanyol, Pakistan, India, Myanmar, Amerika Serikat, Banglades, Irak dan berbagai negara lain.

Betahita telah berupaya meminta konfirmasi kepada Humas PT AAU terkait apa yang dipaparkan oleh Koalisi Indonesia Memantau dalam laporannya itu. Namun hingga artikel ini selesai ditulis, yang bersangkutan sama sekali tidak memberikan tanggapan apapun. Sedangkan kepada pihak PT MPM, konfirmasi kepada perusahaan itu masih Betahita upayakan.

Sementara itu, BKSDA Bengkulu-Lampung sejauh ini juga tidak bersedia memberikan komentar. Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung hanya mengarahkan Betahita untuk menghubungi Kasatgas Polhut BKSDA Bengkulu-Lampung, dengan alasan informasi yang diberikan dibuat satu pintu. Namun saat dimintai tanggapan atau komentarnya, Pirmansyah, Kasatgas Polhut BKSDA Bengkulu-Lampung, hanya menyawab singkat. "Belum ada," ucap Pirmansyah.