Manfaat Ekonomi Pensiun Dini 3 PLTU Batu Bara Rp82,6 T

Penulis : Kennial Laia

PLTU

Jumat, 26 Januari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Indonesia dapat meraup manfaat ekonomi sebesar Rp82,6 triliun hanya dengan menutup tiga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara saja. Namun penutupan ini harus dilakukan dengan menggantikannya dengan pembangkit energi terbarukan secara bersamaan. Demikian menurut studi terbaru Yayasan Indonesia CERAH dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS). 

Upaya mempercepat pensiun dini PLTU batu bara seringkali terhambat oleh kekhawatiran dampak negatif ekonomi yang mempengaruhi tenaga kerja, masyarakat lokal hingga hilangnya pendapatan sebagian pelaku usaha. Namun studi tersebut menyatakan sebaliknya. 

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan dampak ekonomi dari penutupan PLTU batu bara sangat bergantung dari upaya mitigasi, kesiapan regulasi, dan komitmen mempercepat pembangkit energi terbarukan sebagai penggantinya.

Studi ini melakukan pemodelan pada PLTU Cirebon-1, Cirebon; PLTU Pelabuhan Ratu, Sukabumi; dan PLTU Suralaya, Cilegon. PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu masuk ke dalam dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) yang rencananya akan dipensiunkan pada 2035 dan 2037. Studi ini merupakan studi lanjutan dari laporan yang diluncurkan CERAH dan CELIOS pada Juli 2023.  

Foto udara PLTU Cirebon-1 yang berlokasi di Cirebon, Jawa Barat. Dok Yayasan Indonesia CERAH

Bhima mengatakan, skenario pertama menunjukkan bahwa penutupan PLTU batu bara di tiga lokasi pembangkit dapat menurunkan PDB sebesar Rp3,96 triliun, menciptakan risiko pengurangan tenaga kerja hingga 14.022 orang, dan meningkatkan jumlah penduduk miskin 3.373 orang.

Sementara skenario kedua, penutupan PLTU batu bara dibarengi pembangunan pembangkit energi terbarukan, mampu menyumbang ekonomi Rp82,6 triliun, menyerap 639 ribu tenaga kerja hingga menurunkan kemiskinan 153.755 orang secara nasional. 

“Berdasarkan rekomendasi studi, maka kami mendesak negara maju yang terlibat dalam JETP, pemerintah hingga lembaga pembiayaan untuk memasukkan lebih banyak PLTU dalam pipeline pensiun dini, sekaligus mempercepat pembangunan transmisi dan pembangkit energi terbarukan secara paralel,” kata Bhima pada diskusi dan soft launching situs transisienergiberkeadilan.id di Jakarta, Kamis, 25 Januari 2024. 

Menurut Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono, temuan riset ini penting karena menunjukkan bahwa dalam agenda transisi energi, pensiun dini PLTU penting dilakukan untuk mencapai ambisi iklim. Namun, agar memiliki dampak ekonomi yang signifikan, kebijakan berdasarkan hasil kajian ini harus dibarengi dengan akselerasi pembangunan energi terbarukan.

“Jadi antara pensiun dini PLTU dan pembangunan energi terbarukan harus dilakukan secara paralel, agar dampak ekonomi dan sosialnya bisa dimitigasi, penting untuk melihat ini secara utuh. Pelibatan pemerintah daerah dalam penyusunan peta kebijakan ini juga sangat signifikan karena dampak ekonomi dari kebijakan ini nyata di level itu,” kata Agung.

Peneliti CELIOS Muhamad Saleh mengatakan, hingga saat ini pemerintah pusat, PLN, dan Sekretariat JETP belum memiliki kerangka kerja yang seragam dan komprehensif sebagai acuan. Selain itu tidak ada waktu yang spesifik untuk menyusun peta jalan percepatan pengakhiran operasional PLTU serta adanya konflik kepentingan. 

Menurut Saleh, hal ini menjadikan proses transisi menjadi rumit dan rentan mengalami kegagalan. “Situasi benturan kepentingan menjadi sangat nyata saat PLN harus mengakhiri pengoperasian PLTU yang dimilikinya sendiri atau PLTU swasta.” kata Saleh. 

Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), M. Arifuddin, mengatakan bahwa Kementerian ESDM sedang menyusun peta jalan pengakhiran PLTU batu bara.

“Kami sudah menyusun konsep awal berdasarkan regulasi yang ada (Perpres 112/2022) dan sudah disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN. Hasil riset yang dikeluarkan Yayasan Indonesia CERAH dan CELIOS akan dijadikan masukan dalam penyusunan peta jalan ini,” kata Arifuddin. 

Direktur Eksekutif WALHI Jawa Barat, Wahyudin Iwang mengatakan bahwa skema pensiun dini PLTU Cirebon-1 dan Pelabuhan Ratu tidak mencerminkan asas keadilan. Kedua pembangkit tersebut menerima dukungan dana dari program Energy Transition Mechanism dari Asian Development Bank. 

“Pihak ADB belum mensosialisasikan program ETM untuk kepada warga yang terdampak, bahkan tidak menjelaskan bagaimana warga dapat dilibatkan pada kegiatan konsultasi agar aspirasi mereka dapat diakomodir dengan baik. Hal ini tentu jauh dari kata untuk mengedepankan nilai dan prinsip partisipasi publik yang adil,” kata Iwang. 

“Selain itu, kami juga melihat indikasi bahwa skema pensiun dini ini hanya akan memperpanjang umur PLTU batu bara, karena di dalam kontrak terdapat istilah repurposing, yang memungkinkan adanya praktik co-firing pada PLTU. Hal ini sudah terlihat di PLTU Pelabuhan Ratu yang sudah menjalankan uji coba pelaksanaan co-firing biomassa yang sudah berdampak terhadap kesehatan masyarakat sekitar,” kata Iwang.