Mencari Presiden Prokeberlanjutan Lingkungan

Penulis : Justin Ade S., Relawan Lingkungan PERISAI BUMI

Opini

Selasa, 13 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

DEBAT cawapres putaran keempat dengan tema Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa telah digelar pada Minggu, 21 Januari lalu.  Dalam debat selama 120 menit yang terbagi dalam enam segmen di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, ketiga calon wakil presiden--Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD--menyampaikan visi dan misinya.

Melalui tema ini cawapres diuji wawasan, pemahaman, gagasan, ide, dan langkah strategisnya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan 11 panelis.  Debat ini diharapkan bisa menjadi salah satu acuan atau pertimbangan ke mana suara pemilih berlabuh, khususnya pemilih yang belum menentukan pilihan politiknya, dalam pemilu 14 Februari mendatang. 

Tema debat sarat dengan pesan-pesan lingkungan. Betapa tidak, bicara Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa, beririsan langsung dengan lingkungan. Lingkungan menjadi semacam ‘rumah’ bagi semua persoalan tersebut.  Mustahil bicara pembangunan berkelanjutan, SDA, energi, dan pangan kalau lingkungan sebagai rumah dari semua itu hancur lebur akibat pola pembangunan yang cenderung eksploitatif tanpa memperhatikan keberlanjutannya. Situasi ini tengah saat ini di berbagai belahan dunia, termasuk di Bumi Pertiwi.

Dilansir dari earth.org, setidaknya ada tujuh persoalan lingkungan global saat ini, yakni pemanasan global, masalah sampah makanan, hilangnya keanekaragaman hayati, polusi plastik, penggundulan hutan, polusi udara, mencairnya lapisan es, dan naiknya muka air laut. Dari tujuh masalah lingkungan global tadi, tiga isu lingkungan paling atas adalah pemanasan global, sampah makan, dan hilang atau punahnya keanekaragaman hayati dunia.

Penggiat lingkungan membentangkan poster yang mendesak berhentinya PLTU batu bara, termasuk dengan campuran biomassa, program pemerintah yang dikhawatirkan dapat memicu deforestasi. Dok Trend Asia

Pemanasan global misalnya akibat emisi gas rumah kaca telah menyebabkan suhu meningkat, sehingga menyebabkan bencana di seluruh dunia. Mulai dari Australia dan AS yang mengalami kebakaran hutan paling dahsyat yang pernah tercatat.  Hama belalang di beberapa bagian Afrika, Timur Tengah dan Asia, yang menghancurkan tanaman, hingga gelombang panas di Antartika menunjukkan kenaikan suhu di atas 2 derajat untuk pertama kalinya.

Dampak pemanasan global juga menyebabkan mencairnya lapisan es Greenland pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, China mengalami banjir terburuk di beberapa dekade, tingkat metana naik ke rekor tertinggi, runtuhnya lapisan es utuh terakhir Kanada, 13% kematian di UE terkait dengan berbagai bentuk polusi, dan kebakaran hutan yang memecahkan rekor di California yang telah menghalangi matahari.

Soal ancaman hilangnya Keanekaragaman Hayati, meski dalam debat kemarin tidak banyak disinggung. Laporan WWF baru-baru ini menemukan bahwa selama 50 tahun terakhir telah terlihat pertumbuhan pesat konsumsi manusia, populasi, perdagangan global, dan urbanisasi, sehingga mengakibatkan umat manusia menggunakan lebih banyak sumber daya yang ada di bumi daripada yang dapat diisi ulang secara alami. Mamalia, ikan, burung, reptil, dan amfibi telah mengalami penurunan rata-rata 68% antara tahun 1970 dan 2016.

Laporan tersebut mengaitkan hilangnya keanekaragaman hayati ini dengan berbagai faktor, tetapi sebagian besar karena perubahan pemanfaatan lahan, khususnya konversi habitat, seperti hutan, padang rumput dan bakau, menjadi sistem pertanian. Hewan seperti trenggiling, hiu, dan kuda laut sangat terpengaruh oleh perdagangan ilegal satwa liar, dan trenggiling bahkan jadi terancam punah karenanya. Analisis baru-baru ini menemukan bahwa kepunahan massal keenam satwa liar di Bumi semakin cepat. Lebih dari 500 spesies hewan darat berada di ambang kepunahan dan kemungkinan besar akan hilang dalam waktu 20 tahun.

Degradasi lingkungan—menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan—juga sedang terjadi di negeri ini. Survei Litbang KORAN SINDO yang dirilis tahun 2018, mengungkapkan 10 problem besar lingkungan Indonesia saat ini, yaitu masalah sampah, banjir, pencemaran sungai, pemanasan global, pencemaran udara, rusaknya ekosistem laut, krisis air bersih, kerusakan hutan, abrasi, dan pencemaran tanah. 

Dari 10 masalah lingkungan itu—selain masalah perubahan iklim—masalah sampah menjadi problem kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan beberapa kota besar lainnya di Indonesia. Rendahnya kesadaran publik dalam mengelola sampah, kurangnya manajemen pengelolaan sampah dari hulu (sumbernya) hingga hilir (Tempat Pembuangan Akhir atau TPA), dan lemahnya penegakan hukum meski sudah ada Undang-Undang No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah adalah benang kusut penanganan sampah Tanah Air.

Masalah berikutnya, adalah banjir. Selain tingginya curah hujan, banjir merupakan dampak yang dihasilkan dari berbagai permasalahan lingkungan lain seperti gunungan sampah, rusaknya hutan dan berubahnya fungsi sungai.

Indonesia masih menghadapi masalah pencemaran sungai yang sangat serius. Sungai Citarum adalah satu dari puluhan sungai di Indonesia yang tercemar berat. Pencemaran air sungai terjadi akibat ulah manusia yang membuang limbah atau sisa industri ke sungai. Permasalahan lain yang juga menjadi persoalan lingkungan adalah pemanasan global, yakni proses meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut dan permukaan bumi.

Ironinya, persoalan lingkungan tadi masih diperparah lagi dengan bencana hidrometeorologi maupun bencana geolagi yang cenderung meningkat setiap tahun. Selama tahun 2023 saja, Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat, setidaknya terjadi 4.894 kali bencana di Indonesia. Bencana banjir (1.144), Cuaca ekstrim (1.144), Tanah longsor (573), Karhutla (1.802), abrasi (31), gempa bumi (29), kekeringan (168), erupsi gunung api (93), tsunami tsunami (0).

Dampak dari bencana tersebut (1 Januari—29 Desember 2023), yaitu meninggal dunia (260 orang), hilang (33 orang), menderita dan mengungsi (8.741.542 orang), dan luka (5.761 orang). Adapun dampak dari kerusakan bencana, yaitu rumah rusak ringan 23.777 rumah, rusak sedang 5.246 rumah, dan rusak berat 4.021 rumah. Dengan begitu, total rumah rusak 33.044 rumah.

Pemimpin Prolingkungan

Berbagai persoalan lingkungan itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa  bumi kita tidak sedang-sedang baik saja. Solusinya, harus ada upaya konkret untuk menyelamatkan bumi ini dari ambang kehancuran atau kiamat lingkungan. Maka dari itu, yang kita butuhkan dan urgen untuk dilakukan saat ini adalah suatu perubahan besar, yakni perubahan yang mendasar—perubahan cara berpikir dan perubahan cara hidup—sebagaimana dikemukakan Reza A.A. Wattimena dalam bukunya, Filsafat Sebagai Revolusi Hidup.

Perubahan besar dalam pengelolaan lingkungan itu akan terwujud ketika seorang pemimpin mau peduli/pro pada lingkungan. Ketika sang pemimpin itu peduli maka akan lahir kebijakan yang pro-keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, pemilu mendatang adalah momen yang tepat untuk memilih pemimpin yang pro terhadap keberlanjutan lingkungan. Pemimpin yang punya visi dan misi lingkungan yang jelas dan terukur untuk menyelamatkan lingkungan Indonesia dari praktik-praktik pembangunan yang merusak lingkungan.

Emil Salim, tokoh lingkungan hidup internasional, penerima The Leader for the Living Planet Award dari Word Wide Fund (WWF) mengharapkan pemimpin yang terpilih itu adalah pemimpin yang mampu melihat interdependensi antara ekonomi, sosial, dan lingkungan. Untuk itu, menurut mantan Menteri Lingkungan (1978—1992) ini tipe pemimpin yang dibutuhkan saat ini adalah yang pemimpin yang ‘tidak bisu’. Meskipun pemimpin itu kurang memahami lingkungan secara  detail tetapi ia mempunya wawasan generalis. Dia bukan seorang tukang tapi dia bisa melihat keterkaitan antara masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Idealnya, tentu calon pemimpin yang memahami lingkungan. Demikian Emil Salim dalam suatu kesempatan (Majalah JENDELA, 2014).

Maka dari itu, dalam pilpres 14 Februari 2024, sangat relevan dan tepat kalau kita menggunakan isu lingkungan sebagai tonggak lahirnya pemimpin pro lingkungan. Pemimpin yang bisa membawa bangsa ini ini keluar dari berbagai krisis, tidak hanya krisis ekonomi, sosial, dan etika/moral tapi tak kalah penting juga keluar dari berbagai krisis lingkungan. Pemimpin yang memiliki komitmen tinggi untuk mewujudkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan mampu mencegah atau meminimalisasi terjadinya bencana lingkungan.

Pemimpin yang punya pengaruh atau ‘pemain’ di kancah internasional terkait isu-isu lingkungan. Pemimpin motivator yang mampu menggerakkan para pemimpin bangsa-bangsa untuk bersama-sama menyelamatkan bumi dari tragedi massal lingkungan. Dengan begitu, pemimpin yang terpilih nanti, tidak hanya menjadi presiden 277,7 juta penduduk Indonesia, tapi lebih dari itu pemimpin yang mempunyai pengaruh dan disegani di kancah internasional, khususnya dalam bidang lingkungan. Kita butuh pemimpin lingkungan yang mendunia.

Pemilih Cerdas Lingkungan

Untuk meraih mimpi besar lingkungan di tingkat global tadi, dalam momen pemilu mendatang kita dituntut untuk lebih cerdas memilih pemimpin pro lingkungan dan bisa membawa bangsa ini menuju gerbang kemakmuran dan punya pengaruh di kancah internasional.

Langkah cerdas yang perlu kita lakukan adalah sebelum memilih maka kenali visi dan misi ketiga paslon, yakni Anies Baswedan-Cak Imin, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Untuk itu, debat keempat kemarin menjadi salah satu referensi bagi kita untuk memilih siapa dari ketiga paslon tersebut yang paham dan punya komitmen yang serius untuk menuntaskan berbagai persoalan lingkungan di negeri ini.

Visi dan misi saja belum cukup. Langkah cerdas berikut yang perlu kita cermati dan cari tahu—dan ini sangat penting—adalah telusuri rekam jejak lingkungan ketiga paslon. Apakah para paslon itu tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan yang merusak atau mencemari lingkungan.

Dengan kata lain, apakah para kandidat capres dan cawapres itu tidak mempunyai ‘dosa lingkungan’ masa lalu. Hal ini bisa kita telusuri jejak digitalnya melalui pemberitaan di media masa yang kredibel di Internet atau dari sumber-sumber lainnya.

Memang tidak ada pemimpin yang sempurna atau tidak cacat lingkungan. Tapi kita tetap harus tetap mengambil suatu keputusan minus malum, yakni mengambil keputusan yang memiliki risiko paling minim.

Mengutip pernyataan Romo Franz Magnis-Suseno, guru besar Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, "Kita tidak sedang memilih pemimpin yang  terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.”  Dalam konteks lingkungan, tentu pemilu nanti merupakan ajang untuk memilih pemimpin yang punya komitmen kuat untuk lingkungan, minimal tidak membuat kondisi lingkungan semakin memburuk. 

Selain Visi dan Misi Lingkungan, rekam jejak lingkungan, hal terakhir yang perlu diketahui seorang pemilih cerdas lingkungan adalah tidak memilih paslon yang didukung kapital perusak lingkungan. Sebab, bukan hal yang mustahil ketika paslon yang dimodali kampanyenya itu menang, kelak mereka akan menuntut ‘upahnya’ paling tidak kegiatan usahanya tetap langgeng.

Terakhir, yang tak kalah pentingnya, bentuk kelembagaan lingkungan yang ditawarkan bila mereka terpilih. Apakah bentuknya masih seperti sekarang, KLHK, atau KLH pisah dengan Kehutanan? Sayangnya, dalam debat kemarin, hal ini tidak muncul. Idealnya, kelembagaan lingkungan terpisah dengan kehutanan, sehingga lembaga ini lebih powerfull, independen, dan lebih lincah bergerak mengatasi dan mengurusi lingkungan.

Sejatinya, lingkungan dan politik itu dua sisi mata uang. Bicara keberlanjutan lingkungan berarti bicara soal keberlanjutan kehidupan semua makluk hidup di bumi, tidak hanya manusia. Apalah artinya sistem demokrasi itu kita bangun kalau ‘rumah demokrasi’ (lingkungan) sebagai tempat kita tinggal hancur berantakan karena praktik demokrasi yang tidak prokeberlanjutan lingkungan.*