Mengendalikan Lahan Kritis DAS Bengawan Solo

Penulis : Ir.Aryanti,M.Si, Pegiat Lingkungan Tinggal di Yogyakarta

Opini

Senin, 26 Februari 2024

Editor : Yosep Suprayogi

PERMASALAHAN kerusakan lingkungan terutama lahan kritis di wilayah DAS Bengawan Solo akan memberikan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan karena adanya peningkatan kebutuhan untuk mendukung kehidupan dan sebagai akibat dari berbagai jenis pemanfaatan sumber daya lahan yang kurang bijaksana di wilayah tersebut.  

Lahan Kritis di Wilayah DAS Bengawan Solo dominan pada bagian Hulu  (lahan agak kritis 49,32%, sangat kritis 12,63% dan potensial kritis 11,23%).  Kondisi lahan kritis berdasarkan klasifikasi lahan kritis, yakni Lahan Tidak Kritis dominan di Kota Surakarta 100%,  Lahan Agak Kritis dominan di Kabupaten Wonogiri 53,76%, Lahan Sangat Kritis dominan di Kabupaten Wonogiri 9,78% dan Lahan Potensial Kritis dominan di Kabupaten Bojonegoro 11,01% dan Blora 10,8%.  

Lahan Kritis di Wilayah DAS Bengawan Solo dominan pada bagian Hulu. 

Jika dilihat pola ruang pada Lahan Kritis, maka peruntukan pertanian di wilayah DAS Bengawan Solo yang berada di lahan sangat kritis  masuk pada kategori sangat tinggi berada di Kabupaten Wonogiri (12.293,63 ha), sedangkan sembilan kabupaten lain masuk kategori sangat rendah.  Sedangkan yang berada di lahan potensial kritis yang masuk kategori tinggi  ada dua daerah yakni Kabupaten Wonogiri (8.131,38 ha) dan Bojonegoro (8.934,40 ha), kategori rendah yakni Sragen (2.364,75 ha), Blora (2.613,00 ha), Tuban (3.688,34 ha) dan Ngawi (3.698,07 ha).  Untuk kategori sangat rendah terdapat pada 4 (empat) daerah yakni Lamongan (178,64 ha), Gresik (697,17 ha), Karanganyar (954,14 ha) dan Sukoharjo (1.006,28 ha).

Ecoton bersama Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) melakukan riset kesehatan sungai di enam Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. 12-17 Desember 2023. Foto: Ecoton

Penyebab Kerusakan Lahan

Pertanyaannya, mengapa lahan bisa menjadi kritis di Jawa.  Apakah karena wilayah di Jawa, peruntukannya tidak sesuai dengan pemanfaatan lahan dan tidak memperhatikan kemampuan lahan dan daya dukung? Nah, hal ini yang mau dieksplorasi dalam tulisan ini.

Perlu diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menimbulkan berbagai dampak di antaranya peningkatan kebutuhan lahan baik untuk pemukiman, sarana infrastruktur, dan lahan pertanian. Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan dan daya dukung akan menyebabkan permasalahan penurunan kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem.

Pemanfaatan lahan yang tidak memperhatikan kemampuan lahan dan daya dukung akan menyebabkan permasalahan penurunan kualitas lingkungan dan keseimbangan ekosistem.

Tahun 2022 Pusat Pengendalian Ekoregion Jawa atau P3E Jawa-KLHK, melakukan evaluasi pengendalian kerusakan lahan kritis. Wilayah yang dievaluasi adalah di wilayah Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Kota Surakarta Sragen, dan Blora) dan wilayah Provinsi Jawa Timur (Kabupaten Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan Gresik).

Laju pertumbuhan penduduk 2020-2021 di wilayah DAS Bengawan Solo yang masuk kategori cepat (2%) adalah Kabupaten Ngawi, kategori sedang (1-2%) adalah Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, dan Tuban.  Sedangkan Kabupaten Wonogiri, Surakarta, Blora, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik masuk kategori Lambat (<1%)

Selain itu, pemanfaatan ruang di kawasan budidaya, khususnya untuk sektor pertanian dan industri, dapat berkontribusi pada degradasi lahan baik berupa pengurangan status lahan secara fisik, kimia dan atau biologi sehingga menurunkan kapasitas produksi dan mendorong terjadinya lahan kritis. Kondisi perluasan lahan pertanian subsisten yang mengakibatkan lahan pertanian meningkat 18,7 persen, dan menurunnya bahan organik tanah serta 80 persen lahan pertanian mengalami erosi. 

Persentase luas kawasan peruntukan pertanian dalam RTRW di wilayah DAS Bengawan Solo yang masuk kategori tinggi (66,68-100%) adalah Gresik, kategori sedang (33,34-66,67%) ada 7 daerah yakni Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Bojonegoro, Lamongan dan Tuban.  Sedangkan daerah yang masuk kategori rendah (0-33,33%) adalah Surakarta, Blora dan Ngawi. 

Untuk kawasan peruntukan industri, yang masuk kategori tinggi  adalah Sukoharjo dan Lamongan.  Sedangkan untuk kategori sedang hanya Wonogiri dan kategori rendah adalah Karanganyar, Sragen dan Tuban.  Terdapat 5 (lima) kabupaten/kota yang tidak ada didalam peta RTRW yang dikaji.

Perubahan penutup lahan ditetapkan sebagai salah satu tekanan penyebab terjadinya peningkatan kebutuhan lahan.  Perubahan luas penutupan lahan pertanian di wilayah DAS Bengawan Solo yang masuk kategori sedang (50-70%) hanya 1 daerah yakni Kabupaten Gresik,  sedangkan kabupaten yang lain masuk kategori sangat rendah (0-25%).

Untuk perubahan penutupan lahan permukiman terdapat 4 kategori, yakni kategori sangat tinggi (Wonogiri dan Blora), kategori tinggi (Sragen, Bojonegoro dan Tuban), kategori rendah (Sukoharjo, Karanganyar, Ngawi) dan kategori sangat rendah (Kota Surakarta, Lamongan dan Gresik).

Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya juga akan berkontribusi terhadap timbulnya lahan kritis di suatu daerah. Hal ini menyebabkan perbedaan luas kawasan peruntukan dalam RTRW dan kondisi aktual di lapangan menjadi salah satu aspek yang ditetapkan sebagai tekanan dalam analisis DPSIR kerusakan lahan.

Luas kawasan peruntukan permukiman pada DAS Bengawan Solo apabila dibandingkan dengan luasan penutup lahan aktualnya mayoritas masuk ke dalam kategori belum terlampaui.  Hasil berbeda ditunjukkan pada kawasan peruntukan pertanian dimana mayoritas luasannya masuk ke dalam kategori sudah terlampaui (Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Bojonegoro dan Blora) apabila dibandingkan antara peruntukan dalam RTRW dengan kondisi aktual berdasarkan penutupan lahan. Hal ini diakibatkan karena sebagian besar daerah yang menjadi lokus kajian merupakan lumbung-lumbung pangan.

Dampak Lahan Kritis

Lahan kritis akan menyebabkan terganggunya fungsi lahan sebagai media pengatur tata air, perlindungan banjir dan/atau sedimentasi di wilayah hilir. Dampak lahan kritis mengakibatkan penurunan fungsi konservasi, fungsi produksi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Lahan kritis juga berkaitan erat dengan munculnya berbagai jenis kejadian kebencanaan Tahun 2020-2021. 

Evaluasi ini difokuskan dengan berbagai jenis kejadian kebencanaan di wilayah DAS Bengawan Solo akibat kerusakan lahan kritis diantaranya banjir (sangat tinggi di Kabupaten Gresik 30 kejadian), tanah longsor (sangat tinggi di Kab.Karanganyar 40 kejadian) dan bencana kekeringan (sangat tinggi di Kab.Blora di 52 desa).

Respon yang dilakukan oleh 11 kabupaten/kota terhadap upaya pengendalian kerusakan lahan antara lain yaitu, upaya terhadap mitigasi bencana, Upaya Pemerintah Pusat dalam Penanganan Lahan Kritis, Upaya Pemerintah Provinsi dalam Penanganan Lahan Kritis, Upaya Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Penanganan Lahan Kritis, Upaya Pemda dalam Penanganan Dampak Pertanian di Lahan Kritis dan Upaya Pemda dalam Penanganan Dampak Industri di Lahan Kritis. 

Respons daerah terhadap upaya pengendalian kerusakan di wilayah DAS Bengawan Solo sudah cukup responsif hingga sangat responsif. 

Berdasarkan evaluasi ini, respons daerah terhadap upaya pengendalian kerusakan di wilayah DAS Bengawan Solo sudah cukup responsif hingga sangat responsif  karena sudah sebagian menjawab permasalahan secara kualitas dan kuantitas seluruh aspek baik faktor pendorong, tekanan, kondisi lingkungan maupun terhadap dampak yang ditimbulkan.  Namun, belum efektif dan masih perlu disikapi masalah kerusakan lahan dengan rekomendasi/pilihan kebijakan berifat regulasi dan teknis yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah.

Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi pengelolaan lahan kritis di DAS  Bengawan Solo, pertama, perlu menetapkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam bentuk regulasi terkait perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sehingga diharapkan mampu menahan laju konversi lahan dan mampu menopang ketahanan pangan (Kabupaten Wonogiri, dan Kota Surakarta).

Kedua, pemanfaatan Kajian Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) dalam pengambilan kebijakan.

Ketiga, penyusunan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) mengakomodir aspek lingkungan melalui pelaksanaan KLHS serta dilengkapi dengan database spasial sehingga zona kawasan yang akan dikendalikan alih fungsi dapat ditetapkan secara jelas.

Keempat, perlu mengembangkan system agroforestry.  

Kelima, perlu dilakukan program penanganan lahan kritis yang berbasis pada kegiatan masyarakat (community based development) dengan melibatkan kerjasama dengan multipihak (pemerintah, masyarakat, Perguruan Tinggi dan LSM).

Keenam, perlu mengembangkan kegiatan bina desa rehabilitasi lahan dan penghijauan yang diprioritas pada desa rawan longsor, lahan marginal dan kritis oleh pemerintah daerah didukung akademisi dan NGO dalam rangka optimalisasi pengelolaan Kawasan (berorientasi ekonomi dan ekologi).

Ketujuh, perlu mengembangkan program pohon asuh dengan sistem donasi oleh pihak tertentu  

Kedelapan, mendorong prinsip pelaksanaan industri hijau, pelaksanaan sosialisasi dan pengawasan pada industri untuk memastikan persentase minimal penghijauan di kawasan peruntukan industri dapat tercapai.

Kesembilan, mendorong pelaksanaan prinsip green economy agar setiap pembangunan bisa menjaga fungsi ekologis.

Kesepuluh, melaksanakan pengawasan dan pembatasan pertumbuhan kawasan baik kawasan permukiman, kawasan pertanian maupun kawasan industri yang luasannya saat ini telah melebihi rencana peruntukannya.

Kesebelas, meningkatkan area penghijauan (program RHL) yang harus mempertimbangkan efektifitas waktu pelaksanaan, sehingga kegiatan penanaman dapat dilakukan tepat waktu, tepat sasaran dan sesuai dengan karakteristik lokal iklim wilayah.   

Kedua belas,  Diperlukan adanya sistem penanggulangan bencana akibat lahan kritis yang terpadu dimulai dari tahap pra bencana, sistem tanggap darurat, serta pembenahan pasca bencana.