AZWI Kritik Kehadiran Industri Indonesia di Kongres Plastik Dunia
Penulis : Gilang Helindro
Sampah
Minggu, 28 April 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) dalam pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) keempat di Ottawa, Kanada, menyoroti kehadiran industri plastik dan kimia dalam proses negosiasi.
Senior Advisor Nexus3, Yuyun Ismawati dalam keterangan resminya menyatakan kehadiran industri berpotensi membahayakan tercapainya tujuan dari perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
“Khususnya, terkait penghapusan bahan-bahan kimia berbahaya aditif plastik. Bahan tersebut penyebab masalah kesehatan publik,” kata Yuyun dikutip Minggu, 28 April 2024.
Berdasarkan daftar sementara peserta konferensi (Provisional List of Participants) yang terdistribusi via email, sekitar 4000 orang mengikuti INC-4. Peserta terdiri atas delegasi negara anggota (member states). Ada pula peserta peninjau yang terdiri dari organisasi lingkungan, saintis, hingga entitas bisnis, termasuk korporasi minyak bumi, gas, petrokimia, asosiasi industri kimia, industri alternatif plastik, dan FMCGs (Fast Moving Consumer Goods).
Dari data peserta sementara di Sekretariat INC, ada 44 orang Delegasi Republik Indonesia (DELRI). Berdasarkan analisis cepat Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), setidaknya ada empat orang anggota DELRI yang berasal dari industri plastik. Contohnya, Chandra Asri Petrochemical (CAP) dan Green Hope.
Representasi produsen plastik tersebut terdaftar sebagai pejabat dan ahli dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menjadi anggota resmi DELRI.
“Kehadiran dua produsen plastik dalam DELRI dapat memperlemah posisi pemerintah dalam negosiasi terkait pembatasan produksi plastik,” kata Yuyun.
Abdul Gofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, kehadiran perwakilan industri plastik menunjukkan konflik kepentingan dalam mencapai perjanjian yang kuat dan mengikat. Apalagi, industri tersebut menjadi bagian dari delegasi negara.
“Para negosiator, termasuk pemerintah Indonesia harus belajar dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Pengendalian Tembakau (UNFCTC) yang didukung WHO, berhasil menghalangi kepentingan komersial dan keterlibatan industri tembakau dalam proses negosiasi,” ungkap Ghofar.
Menurutnya, pemerintah Indonesia seharusnya melibatkan sejumlah kementerian lainnya. Misalnya, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan perwakilan saintis yang dapat memberikan dukungan substantif pada proses penyusunan perjanjian internasional tentang plastik.