Belajar Transisi Energi sampai Norwegia
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Energi
Senin, 08 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pemerintah dinilai perlu memacu transisi energi dengan beralih dari ketergantungan pada energi fosil yang padat emisi gas rumah kaca (GRK) ke energi terbarukan, untuk menurunkan emisi di sektor energi secara signifikan dan mencapai target netral karbon pada 2060 atau lebih cepat.
Untuk itu, Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara lain, seperti Norwegia, yang telah berhasil mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan hampir mencapai 100 persen energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan.
Dalam seminar bertajuk “Norway and Indonesia Energy Seminar and Business Exchange on Green Transition”, Terje Aasland, Menteri Energi Norwegia, menyatakan Pemerintah Norwegia, sebagai anggota International Partners Group (IPG) untuk Just Energy Transition Partnership (JETP) sangat mendukung tujuan pengurangan emisi Indonesia yang ambisius untuk mencapai target NZE.
Ia menekankan, selain menerapkan kebijakan dan kerangka kerja yang ketat mengenai emisi gas rumah kaca dan standar lingkungan, penting juga untuk menyoroti peran utama perusahaan dalam mengenali peluang untuk solusi ramah lingkungan dan berkelanjutan.
"Saya menantikan ambisi pemerintah Indonesia untuk mencapai NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat, dengan fokus pada sektor energi. Untuk mendekarbonisasi energi, Norwegia sedang mengembangkan teknologi ramah lingkungan yang baru, seperti CCUS, hidrogen, dan lainnya,” ujar Aasland, dalam sebuah pernyataan resmi, 4 Juli 2024.
Masih dalam seminar itu, Ketua Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Bambang Brodjonegoro, mengatakan meskipun Indonesia bergantung pada energi batu bara, peralihan ke energi terbarukan sangat penting. Apalagi, Indonesia berkomitmen pada Persetujuan Paris.
Ia berharap Indonesia dapat belajar dari Norwegia dalam mengelola cadangan batubara dan mempersiapkan transformasi ke energi terbarukan. Setidaknya, kata Bambang, ada tiga hal yang harus dipersiapkan untuk transisi energi, yaitu pengembangan energi terbarukan, pembangunan infrastruktur transmisi, dan menjadi produsen penyimpanan energi.
"Dengan Norwegia, Indonesia dapat mengembangkan teknologi, serta membangun kemitraan komersial dan bisnis di bidang energi terbarukan dengan menyediakan pendanaan jangka panjang dan lebih murah,” ujar Bambang.
Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, manyatakan bahwa transisi energi memiliki implikasi yang signifikan terhadap industri bahan bakar fosil, termasuk menurunnya permintaan bahan bakar fosil dan meningkatnya tekanan dari pemerintah, investor, pelanggan, dan masyarakat untuk mengurangi emisi. Selain itu, juga melibatkan inovasi untuk tetap kompetitif di pasar.
Oleh karena itu, ia menekankan, para pelaku usaha, khususnya di sektor minyak dan gas, perlu memitigasi implikasi tersebut dengan menyesuaikan strategi operasi dan investasi mereka untuk mengatasi ketidakpastian permintaan dan teknologi saat ini dan di masa depan. Untuk membatasi suhu di bawah 1,5 derajat Celcius, negara-negara harus mengadopsi kebijakan dan langkah-langkah untuk mengurangi emisi dan meningkatkan ketahanan.
"Hal ini termasuk menerapkan pajak karbon, mensubsidi teknologi rendah karbon, dan menghapus infrastruktur bahan bakar fosil secara bertahap. Jika bisnis gagal melakukannya, maka membawa risiko terhadap reputasi mereka,” ucap Fabby.