Ijon Politik Pilkada 2024 Ancam Lingkungan Hidup
Penulis : Aryo Bhawono
Lingkungan
Senin, 15 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Ijon politik diperkirakan marak pada pemilu kepala daerah (pilkada) 2024. Lingkungan hidup bakal jadi korban karena obral izin usaha ekstraktif merupakan bagian dari praktik ijon politik.
Pilkada 2024 serentak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota bakal digelar pada November 2024. Besarnya dana pemilu kerap membuat para kandidat melakukan praktek ijon dengan para pelaku bisnis ekstraktif yang memburu rekomendasi izin pengelolaan sumber daya alam maupun proyek pembangunan di daerah.
Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan besarnya dana untuk menjadi Bupati atau Walikota rata-rata Rp 30 miliar, sedangkan biaya menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.
Direktur Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF), Willem Pattinasarany, mengatakan praktek ijon pada saat pemilu menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi dan pelestarian lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia. Indikasinya adalah laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait transaksi janggal dari sekitar 100 calon legislatif jelang Pemilu 2024 yang mencapai Rp 51,47 triliun.
Proses demokrasi ini juga menjadi ajang pencucian uang dari kejahatan lingkungan dan kejahatan lainnya.
“Masyarakat untuk mulai peduli dan mulai menolak serangan fajar yang diberikan kandidat kepada mereka yang tidak seberapa dibandingkan dengan dampak kerusakan jangka panjang lingkungan, dan juga bahkan mengganggu kesehatan, infrastruktur pembangunan hingga mata pencaharian masyarakat itu sendiri,” kata dia melalui rilis pers.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyebutkan obral izin usaha ekstraktif yang mendorong kerusakan lingkungan harus diwaspadai menjelang pemilukada. Riset dan investigasi FWI bersama jaringan CSO di daerah menemukan 3 jalur obral izin kawasan hutan Indonesia, yakni pelepasan kawasan hutan, arahan pemanfaatan hutan, dan aktivasi ex HPH.
Hingga saat ini catatan lembaganya menyebutkan pelepasan kawasan hutan di 2021 di antaranya untuk perkebunan kelapa sawit dengan luasan sekitar 5,5 juta hektar. Sisanya itu untuk coklat, dan tebu. Total pelepasan Kawasan hutan di 2021 mencapai 5,9 juta hektare dengan provinsi terbesar pelepasannya ada di Provinsi Kalimantan Tengah dengan 1,16 juta hektare dan Provinsi Riau 1,14 juta hektare.
FWI juga menemukan total luas arahan pemanfaatan hutan produksi 2021 untuk izin baru sebesar 13,5 juta hektare dengan provinsi terbesar yaitu Provinsi Riau 1,8 juta hektare dan Provinsi Papua Selatan 1,16 juta hektare.
Sedangkan aktivasi Eks HPH yang bakal menjadi target penerbitan izin baru dapat ditemukan di Regional Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan total areal eks HPH seluas 35,8 juta hektare.
“Obral izin di tengah masa transisi pemerintahan daerah harus diwaspadai sebagai upaya penguasaan hutan dan lahan Indonesia yang dapat menghilangkan eksistensi masyarakat-masyarakat adat. Dan ke depan izin- izin ini akan menjadi driver deforestasi,” kata dia.
Koordinator Komunitas Pemilu Bersih (KoPi Bersih), Jeirry Sumampow, menekankan pentingnya menekan mahalnya biaya kampanye yang harus dikeluarkan oleh para kandidat. Negara harus mengambil alih tanggung jawab ini. Selain membuat para kandidat tidak mencari sumber dana yang ilegal untuk mencukupi biaya gerakannya dalam Pilkada juga akan membuat para kandidat bertarung dalam ide-ide pragmatis Pembangunan untuk memenangkan suara pemilih.
“Harus segera melakukan revisi UU kepemiluan serta penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu harus berani membuat aturan dan memberikan punishment yang tegas kepada para kandidat yang melanggar. Tidak lagi menjadikan jabatan komisioner mereka sebagai ajang transaksional dengan para kandidat,” ucap dia.
Ketua Lembaga Studi Visi Nusantara Maju (Vinus), Yusfitriadi, menyebutkan tata kelola pemilu harus transparan dan akuntabel. Paling tidak hal ini dapat mencegah praktik ijon politik.
Saat ini, kata dia, indikasi ijon politik yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu kepada kandidat dan gerbong pendukungnya juga menjadi ajang tidak netralnya proses pemilihan umum yang diadakan.
“Adanya like and dislike, serta ketidaknetralan dalam setiap pengambilan keputusan penyelenggara pemilu menjadikan demokrasi cacat dan hanya menghasilkan pemimpin-pemimpin korup yang akan merusak bangsa,” kata dia.
Mereka pun mendorong gerakan green democracy untuk mendorong proses pemilihan kepala daerah bersih dari money politics, ‘lebih murah” dan menghasilkan pemimpin yang memiliki visi dan misi pembangunan ekonomi hijau di daerah.