Emisi Metana Dilupakan Jangan, Kata Ilmuwan
Penulis : Kennial Laia
Perubahan Iklim
Kamis, 01 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Emisi global metana, gas yang sangat memanaskan bumi, meningkat pada tingkat tercepat dalam beberapa dekade, sehingga memerlukan tindakan segera untuk membantu mencegah peningkatan krisis iklim yang berbahaya, sebuah studi baru memperingatkan.
Emisi metana bertanggung jawab atas setengah dari pemanasan global yang pernah terjadi, dan telah meningkat secara signifikan sejak sekitar tahun 2006. Levelnya juga akan terus meningkat sepanjang sisa 2020-an kecuali ada langkah-langkah baru yang diambil untuk mengekang polusi ini, demikian kesimpulan makalah baru tersebut. Penelitian ini ditulis oleh lebih dari selusin ilmuwan dari seluruh dunia dan dipublikasikan pada Selasa, 30 Juli 2024.
Makalah yang diterbitkan di jurnal Frontiers in Science ini menyatakan dunia benar telah berfokus pada karbon dioksida sebagai penyebab utama kenaikan suhu global. Meski demikian, hanya sedikit upaya yang dilakukan untuk mengatasi metana, meskipun gas tersebut memiliki kekuatan pemanasan 80 kali lebih besar dibandingkan CO2 pada 20 tahun pertama setelah mencapai atmosfer.
“Tingkat pertumbuhan metana semakin cepat, dan hal ini mengkhawatirkan,” kata Drew Shindell, ilmuwan iklim di Duke University dan penulis utama studi tersebut, Selasa, 30 Juli 2024. “Situasinya cukup datar hingga sekitar 20 tahun yang lalu dan hanya dalam beberapa tahun terakhir kita mengalami pembuangan metana dalam jumlah besar. Hal ini membuat upaya mengatasi pemanasan antropogenik menjadi lebih menantang,” ujarnya.
Sejauh ini pada tahun 2020-an, emisi metana global biasanya meningkat sekitar 30 juta ton setiap tahun dibandingkan dekade sebelumnya, dan rekor emisi metana tahunan dipecahkan pada tahun 2021 dan 2022. Meskipun tidak ada alasan yang jelas mengenai hal ini, para ilmuwan menunjuk sejumlah faktor.
Metana berasal dari pengeboran dan pemrosesan minyak, gas, dan batu bara, dengan maraknya fracking (penyedotan gas dengan metode hidraulika patahan), yang menyebabkan banyaknya proyek gas baru pada abad ini. Gas ini juga dihasilkan dari peternakan, terutama melalui sendawa sapi, dan peningkatan peternakan, serta peningkatan produksi padi, yang juga berkontribusi terhadap hal ini.
Sementara itu, peningkatan panas global turut menyebabkan penguraian bahan organik di lahan basah lebih cepat sehingga melepaskan lebih banyak metana.
Pada 2021, AS dan Uni Eropa mempelopori inisiatif baru, yang disebut Global Methane Pledge, yang berkomitmen untuk mengurangi emisi metana secara kolektif sebesar 30% pada 2030. Skema ini kini telah diperluas ke 155 negara namun hanya 13% emisi yang tercakup, berdasarkan kebijakan saat ini dan hanya 2% pendanaan iklim global yang digunakan untuk mengurangi emisi metana, menurut makalah baru tersebut.
“Saya rasa target tersebut masih belum tercapai, dan kita harus melipatgandakan upaya untuk mencapainya,” kata Shindell.
Meskipun CO2 dapat bertahan di atmosfer selama ratusan atau ribuan tahun, kecuali jika dihilangkan, metana merupakan ancaman yang berumur pendek. Jika seluruh emisi metana segera dikurangi, 90% akumulasi metana akan hilang dari atmosfer dalam waktu 30 tahun, sehingga memberikan cara yang lebih cepat untuk mengurangi pemanasan global dibandingkan hanya berfokus pada karbon dioksida.
“Metana adalah faktor terkuat yang dapat kita tarik dengan cepat untuk mengurangi pemanasan antara sekarang dan tahun 2050,” kata Shindell. “Ada respons yang sangat cepat terhadap pemotongan ini. Kita telah melihat suhu bumi begitu panas sehingga jika kita ingin menghindari dampak yang lebih buruk, kita harus mengurangi gas metana. Mengurangi CO2 akan melindungi anak cucu kita – mengurangi gas metana akan melindungi kita saat ini.”
Makalah baru ini menguraikan sejumlah tindakan yang harus diambil oleh negara-negara, termasuk menghubungkan upaya pengurangan CO2 dan gas metana dengan lebih baik serta mengidentifikasi proyek pengurangan gas metana yang paling efektif dalam kondisi tertentu.