Sorbatua Siallagan: Saya Bukanlah Penjahat dan Pelaku Kriminal
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Hukum
Sabtu, 10 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - "Parhatian so tarajun, hu atas so ra mukkit, hu toru so ra monggal, ikkon si tikkos ni ari, si jujur ni ninggor,” ucap Sorbatua Siallagan, membacakan sebuah pepatah Batak yang mengartikan tentang perlakukan yang adil bagi seluruh manusia. Pepatah itu ia bacakan sebagai penutup saat membacakan Nota Pembelaan (peldoi) kasus kriminalisasi yang ia alami, di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Simalungun, Rabu (7/8/2024).
Sorbatua duduk di kursi biru, tepat menghadap hakim ketua, yang telah berulang kali menyidangkan dirinya, karena dituduhkan melakukan pembakaran lahan dan menduduki kawasan hutan negara serta izin konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Hari itu, Sorbatua Siallagan kembali bersidang dengan agenda pembacaan Nota Pembelaan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap dirinya dan Komunitas Adat keturunan Ompu Umbak Siallagan.
Sorbatua Siallagan selama ini menjadi bagian dari perjuangan Masyarakat Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan untuk menuntut tanah adatnya, yang tumpang tindih dengan izin konsesi PT TPL. Namun, karena aktivitas berladang yang ia lakukan di atas tanah itu, dia dilaporkan oleh PT TPL. Sorbatua diculik oleh aparat Polda Sumatera Utara pada Maret lalu, dan telah menjalani persidangan di PN Simalungun.
Di hadapan majelis hakim Kakek berusia 65 tahun itu, mengeluarkan secarik kertas, lalu ia membacakan pembelaan pribadinya yang ditulis tangan. “Di usia yang sudah 65 tahun ini, saya dituduh membakar hutan dan menguasai hutan negara tanpa izin. Saya tegaskan, sejarah dan faktanya kami Komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah lebih dulu ada di Dolok Parmonangan," kata Sorbatua.
Sorbatua menegaskan, ia tidak pernah melakukan kejahatan dan ia bukanlah pelaku kriminal. Ia bilang, kalaulah karena kejadian yang dituduhkan, yang meskipun tak pernah ia lakukan ini menjadikannya sebagai seorang terdakwa, Sorbatua mengaku berserah diri kepada putusan majelis hakim. "Dan di atas segala itu, saya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa dan para leluhur."
Sorbatua melanjutkan, ia dan Komunitas Masyarakat Adat Ompu Siallagan akan selalu memperjuangkan tanah adat mereka, untuk nantinya pesan-pesan leluhurnya bisa diteruskan ke generasi mereka selanjutnya. "Saya hidup dan mati di atas tanah adat kami."
Apapun yang terjadi, kata Sorbatua, tak akan menyurutkan perjuangan yang ia dan komunitas adatnya lakukan untuk selalu memperjuangkan dan mempertahankan tanah adat dari perampasan dan klaim pihak lain. "Karena itu adalah “tona” dari leluhur kami," kata Sorbatua, sebelum akhirnya membacakan petatah Batak itu.
Saat Sorbatua membacakan pledoi-nya itu di hadapan hakim dan jaksa, Berliana Manik, istri dari Sorbatua Siallagan yang tepat duduk di belakangnya, mengeluarkan air mata. Setiap kali persidangan, Berliana berangkat subuh bersama komunitas adat yang lain dari kampungnya di Dolok Parmonangan, yang berjarak 20 Km ke PN Simalungun. Berliana selalu setia menyemangati sang suami dalam setiap kali bersidang.
Begitu juga solidaritas dari komunitas masyarakat adat dan mahasiswa yang setiap kali sidang mereka selalu terlibat. Mereka menyampaikan aspirasi di hadapan pengadilan sebelum sidang dimulai. Berbagai aksi teatrikal dan lagu-lagu penyemangat dilantunkan untuk menyuarakan aspirasi terhadap kasus kriminalisasi yang dihadapi oleh Sorbatua Siallagan dan Komunitas Adat Keturunan Ompu Umbak Siallagan.
Hendra Sinurat, kuasa hukum Sorbatua Siallagan, dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) menyampaikan, tuntutan JPU tidak dapat diterima, karena undang-undang yang digunakan tidak memiliki kekuatan mengikat, sehingga bertentangan dengan asas legalitas, serta dalam fakta persidangan tidak ditemukan bukti yang jelas dan meyakinkan.
Dari fakta-fakta persidangan, kata Hendra, tidak ditemukan bukti jelas bahwa Sorbatua melakukan pembakaran hutan seperti yang didakwakan pada dakwaan pertama. "Serta menduduki kawasan hutan sebagaimana dalam dakwaan kedua, karena seperti disampaikan dalam pledoi pribadinya, beliau tidak menduduki kawasan siapapun. Dia sehari-hari menguasai wilayah adatnya sendiri," katanya.
Dalam Nota Pembelaan (pleidoi) yang dibacakan di persidangan, mereka juga menduga proses hukum yang dilakukan terkesan dipaksakan dan melanggar hak asasi. "Kami menganggap pada proses upaya hukum ini terdapat upaya membungkam terdakwa selaku pemangku masyarakat adat. Dengan demikian proses hukum Terdakwa diduga merupakan tindakan kriminalisasi yang dilakukan oleh negara," ujar Hendra.