Pidato Kenegaraan Jokowi Dikritik Ibarat Bayangan Cermin

Penulis : Aryo Bhawono

Karhutla

Rabu, 21 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pantau Gambut menyebutkan isi Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo  kebalikan dari kenyataan di lapangan. Seperti bayangan cermin dalam Fisika. Misalnya saja presiden menyebut soal kemampuan negara dalam ketangguhan iklim, nyatanya justru karhutla merajalela. 

Manajer Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, Wahyu A. Perdana, menyebutkan setidaknya tiga poin pidato yang berakhir pada antitesis, yakni soal ketangguhan dalam menghadapi perubahan iklim, Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang meningkatkan produktivitas pangan dalam negeri, dan keadilan restoratif. 

Soal ketangguhan menghadapi iklim perubahan iklim, menurut Wahyu. Indonesia justru semakin menjauhkan diri dari upaya menahan laju peningkatan suhu bumi di angka 1,5 derajat celsius seperti komitmen pemerintah dalam Perjanjian Paris. 

“Melampaui ambang batas suhu rata-rata bumi yang layak huni dengan membiarkan karhutla terus terjadi tentu saja bukan daya tahan menghadapi perubahan iklim,” kata dia dalam jumpa pers di Kantor Pantau Gambut, Jakarta pada Selasa (20/8/2024).

Presiden Jokowi saat menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR dan DPR, di Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2024. Dok. Setkab

Hingga penghujung masa pemerintahan Jokowi, Indonesia terus saja digempur oleh kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dua karhutla besar pun terjadi pada masa kepemimpinannya. 

Data yang dihimpun Pantau Gambut dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan kejadian kebakaran Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) seluas 1,3 juta hektare di tahun 2015. Karhutla besar kedua yang terjadi pada 2019 membakar 735.718 ha KHG. 

Sepanjang tahun 2023, Pantau Gambut menemukan area indikatif kebakaran hutan dan lahan di area KHG seluas 524.869 ha, angka yang mendekati 8 kali luas Provinsi DKI Jakarta. Sementara data terbaru, sebanyak 2.023 dari 6.284 titik panas yang tercatat, terjadi di wilayah milik perusahaan yang tersebar pada 229 KHG hingga Juli 2024.

Data kawasan konsesi yang terbakar pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Data: Pantau Gambut

Rumus berkebalikan juga berlaku pada pernyataan PSN sebagai faktor peningkat produktivitas pangan dalam negeri. Program Peningkatan Penyediaan Pangan Nasional Berbasis Food Estate justru menjadi sumber konflik alih-alih memenuhi kepentingan rakyat. Salah satu yang paling mencolok adalah program Food Estate di Kalimantan Tengah. 

Pemerintah hendak mengulangi kesalahan yang sama dengan melakukan perluasan di area eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG) sejuta ha untuk penanaman padi, singkong, dan jagung skala besar. Program serupa juga dilakukan di akhir masa orde baru dan gagal. Bahkan membuat karhutla yang berdampak bencana asap hingga negara tetangga. 

Pelaksanaan program ini sama sekali tidak melibatkan pengetahuan pangan lokal dan minim partisipasi masyarakat. Selain benih tanaman yang dipaksakan karena tidak sesuai dengan karakteristik lahan, penyerobotan lahan warga juga sarat terjadi. 

Analisis Pantau Gambut terhadap data KLHK menunjukkan, pada 2023 terdapat 91.352 ha lahan yang terbakar di area eks-PLG. Angka ini mendekati luas area terbakar di kawasan yang sama pada El-Nino 2019 yang mencapai 153.193 hektar. 

“Area yang seharusnya direstorasi tapi ditengarai malah menjadi area proyek Food Estate,” kata dia.

Presiden juga membanggakan penguatan restorative justice yang pada nyatanya disalahgunakan agar menjadi alasan untuk mengampuni para perusak lingkungan. Hal ini dapat dilihat pada pemutihan 3,3 juta hektare area perusahaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan2 berkat Pasal 110a dan Pasal 110b UU Cipta Kerja. Sebuah kawasan yang ilegal menjadi perkebunan sesuai dengan Pasal 92 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan danPemberantasan Perusakan Hutan.

“Praktik ini menjadi terlampau menyederhanakan konsep pertanggungjawaban hukum,” ucap Wahyu. 

Kegiatan ilegal tersebut seharusnya memberikan sanksi pidana kepada perusahaan. Nyatanya, perusahaan hanya perlu menyelesaikan sanksi administratif karena penerapan asas ultimum remidium pada UUCK. Asas yang mengedepankan sanksi administrasi sebelum sanksi pidana. 

Pengenaan sanksi administratif, kata dia, semestinya tidak serta merta menghapuskan tanggung jawab pidana terhadap korporasi yang selama ini beroperasi secara ilegal di dalam kawasan hutan.