MA Putus Kasasi Luhut x Haris-Fatia: JPU=TOLAK
Penulis : Aryo Bhawono
Hukum
Kamis, 26 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Mahkamah Agung memperkuat putusan bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti atas perkara dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), yang menjadi kuasa hukum keduanya, menyebutkan ada dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan serta jejaringnya.
Kasus Haris dan Fatia masing-masing teregister dalam perkara No 5712 K/Pid.Sus/2024 dan 5714 K/Pid.Sus/2024. Majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto bersama dua anggota majelis, Ainal Mardhiah dan Sutarjo, memutus kedua perkara, yakni menolak permohonan kasasi jaksa penuntut umum pada 11 September 2024.
“JPU=TOLAK,” tulis dokumen status perkara yang diperoleh redaksi.
Status perkara kasasi haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam perkara dugaan pencemaran nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan. Sumber: TAUD
Putusan kasasi ini menguatkan vonis bebas terhadap Fatia dan Haris pada putusan tingkat pertama di PN Jakarta Timur pada Januari lalu. Kala itu tiga majelis hakim yang diketuai oleh Cokorda Gede Arthana dengan hakim anggota Muhammad Djohan Arifin dan Agam Syarief Baharudin, menyebutkan perbuatan Haris dan Fatia, tidak memenuhi penghinaan kepada Luhut, baik secara pribadi maupun jabatan.
Hakim memutus bebas keduanya dari segala tuntutan maupun dakwaan karena tidak terbukti melanggar tindak pidana sebagaimana dituduhkan oleh JPU melalui Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Fatia dan Haris sebelumnya dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, setelah memaparkan penelitian 9 lembaga tentang bisnis militer di Blok Wabu melalui podcast NgeHAMtam di Kanal Youtube Haris Azhar. Kesembilan lembaga yakni YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia, dan Koalisi #BersihkanIndonesia.
Laporan itu sendiri berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua’.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mengatakan MA menunjukkan sikap menjaga marwah kebebasan sipil yang menjamin hak warga negara untuk memberikan kritik terhadap pejabat publik tanpa harus khawatir dipidana. Putusan ini juga menandakan pentingnya perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan sebagaimana dikenal dengan konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).
“Tak hanya itu, putusan ini juga sekaligus telah menyalakan harapan bagi orang-orang yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan khususnya di Papua,” ucap Asfinawati, salah seorang kuasa hukum, melalui rilis pers yang diterima redaksi.
Menurut mereka tabiat pejabat publik, seperti Luhut, melakukan kriminalisasi terhadap penelitian, pendapat, dan ekspresi yang sah, seharusnya tak perlu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Apalagi jika pejabat tersebut memiliki konflik kepentingan (conflict of interest).
Selain itu pada putusan tingkat pertama, fakta persidangan menunjukkan adanya conflict of interest oleh Luhut Binsar Panjaitan terkait praktik pertambangan di Papua. Fakta tersebut dilihat dari adanya penjajakan bisnis anak perusahaan LBP yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining. Luhut teridentifikasi sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahunnya mendapatkan laporan keuangan perusahaan, sehingga mustahil tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua.
Para kuasa hukum memandang terdapat dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan serta jejaringnya. Menurut mereka aparat penegak hukum harus segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait dugaan pelanggaran hukum tersebut. Lebih jauh, putusan ini sudah sepatutnya menjadi acuan bagi penegak hukum untuk memulai investigasi conflict of interest itu.
Pemerintah juga harus secara serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi berdasarkan kajian cepat yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua.”
Selain itu para kuasa hukum berharap putusan ini menjadi yurisprudensi bagi hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili kasus-kasus kriminalisasi terhadap para aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup.
Catatan mereka menunjukkan kasus kriminalisasi serupa terjadi di berbagai daerah. Seperti Daniel Fritz Tangkilisan pejuang yang berupaya melestarikan Karimunjawa, Muhriyono seorang petani Pakel yang merebut lahannya karena dirampas pihak swasta, hingga Sorbatua Siallagan, seorang ketua masyarakat adat yang melawan perampasan tanah adat di Simalungun hingga kini masih terus memperjuangkan keadilan.
“Atas kasus-kasus tersebut sudah sepatutnya para Majelis Hakim yang mengadili kasus kriminalisasi aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup berani memutus bebas sebagaimana dalam perkara Fatia dan Haris,” jelasnya.