Aksi Jeda Iklim Global di Jakarta Dinodai Intimidasi
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Iklim
Sabtu, 28 September 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aksi damai Global Climate Strike atau Jeda Iklim Global yang digelar di Taman Menteng, Jakarta, pada Jumat (27/9/2204), dinodai oleh aksi intimidasi. Pada sekitar pukul 13.00 WIB, para peserta Global Climate Strike, mayoritas terdiri dari kaum muda, yang sedang menggelar aksi tiba-tiba dibubarkan oleh sekelompok orang tak dikenal.
Berdasarkan pantauan koalisi masyarakat sipil, kelompok orang tak dikenal atau preman tersebut berulang-ulang berteriak 'bubar' dan merampas sejumlah properti aksi, seperti patung manekin, poster, dan dua unit pengeras suara (toa). Gerombolan seperti preman ini datang dari dua arah yang berbeda, pada waktu yang berbeda pula.
Ironisnya, perampasan tersebut terjadi tepat di depan aparat kepolisian yang bertugas. Alih-alih melindungi jalannya aksi damai, pihak kepolisian memilih untuk diam dan hanya menyaksikan tindak kekerasan tersebut tanpa melakukan upaya apapun untuk menghentikannya.
"Walaupun jelas terlihat adanya aksi intimidasi, perampasan, dan bahkan perselisihan antara preman dan peserta aksi, kepolisian tetap diam tanpa mengambil tindakan," kata Koalisi Global Climate Jakarta, dalam sebuah rilis, Jumat (27/9/2024).
Sikap pihak kepolisian ini kemudian menimbulkan tanda tanya besar bagi Koalisi. Mereka mempertanyakan fungsi pemberitahuan aksi kepada polisi jika pihak kepolisian tidak dapat menjamin keamanan peserta aksi Global Climate Strike. Menurut Koalisi, keberadaan polisi seharusnya bertujuan untuk melindungi hak-hak masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya, bukan sekadar menjadi penonton.
"Ini menambah catatan panjang tentang bagaimana masyarakat sipil sering kali menghadapi tindakan represif dan penyalahgunaan wewenang, termasuk pembiaran terhadap kekerasan yang mengancam keamanan. Sementara itu, aparat justru bergerak cepat dalam melindungi kepentingan para perusak lingkungan yang turut menyumbang krisis iklim," ujar Koalisi.
Menurut Koalisi, peristiwa ini juga mengindikasikan semakin memburuknya ruang demokrasi di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun terakhir. Ruang sipil, imbuh Koalisi, kini diintervensi dan dimanipulasi dengan skenario pembenturan antar masyarakat yang menimbulkan konflik horizontal.
Koalisi mengatakan, aparat kepolisian yang merupakan infrastruktur negara justru membiarkan perselisihan sipil terjadi di depan mata mereka. Koalisi menyebut hal ini menjadi sinyal jelas bahwa ruang demokrasi akan semakin terkikis di masa depan. Oleh karenanya, Koalisi mengecam tindakan kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara dengan mengutus kaki tangannya, yaitu gerombolan preman terhadap peserta Global Climate Strike.
"Sebuah bukti yang tidak bisa ditampik bahwa rezim telah mempertontonkan salah satu “7 Dosa Mematikan” yaitu Wrath (murka). Wrath menyimbolkan tindakan represif Raja Jawa terhadap kritik publik, pegiat iklim, dan aktivis HAM selama pemerintahannya," tutur Koalisi.
Menurut catatan KontraS, sambung Koalisi, peningkatan kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Kepolisian sepanjang Juli 2023-Juni 2024. Terdapat 645 peristiwa kekerasan dengan 759 korban luka dan 38 tewas, termasuk 35 kasus extrajudicial killing.
Selain itu, terjadi 75 pelanggaran kebebasan sipil, seperti pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang, dan intimidasi. Warisan budaya kekerasan Orde Baru, minimnya akuntabilitas, serta ego sektoral adalah penyebab utama masalah ini.
"Dengan ini kami menyerukan solidaritas dari seluruh elemen gerakan untuk mendukung dan berdiri bersama para peserta aksi. Kami juga mengecam tindakan kepolisian yang tidak memberikan perlindungan dan rasa aman, serta menuntut mereka untuk melindungi setiap peserta aksi dari gangguan dan intimidasi preman," ujar Koalisi.