Beleid Rezim Jokowi Soal Tambang untuk Ormas Resmi Digugat di MA
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Rabu, 02 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Tim Advokasi Tolak Tambang, yang terdiri dari para tokoh, akademisi, dan beberapa lembaga swadaya masyarakat, secara resmi mendaftarkan permohonan judicial review (JR) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 (PP 25/2024) terkait pemberian prioritas izin tambang bagi organisasi masyarakat keagamaan ke Mahkamah Agung (MA), pada Selasa (1/10/2024).
Dalam permohonannya, Tim Advokasi Tolak Tambang mendalilkan bahwa PP 25/2024 bukan hanya cacat secara hukum, namun juga berpotensi menjadi arena transaksi (suap) politik. Pemberian izin tambang tanpa lelang tersebut, jelas menyalahi Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Tim Advokasi meminta ormas keagamaan untuk tetap fokus pada pembinaan dan pelayanan umat.
Judicial review ini diajukan oleh 18 pemohon, yang terdiri dari 6 kelembagaan dan 12 perorangan. Enam kelembagaan dimaksud yakni, Lembaga Naladwipa Instutute for Social and Cultural Studies, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Perserikatan Solidaritas Perempuan, Perkumpulan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah, Trend Asia, Yayasan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional.
Adapun 12 pemohon perorangan yaitu, Asman Aziz, Wakil Sekretaris Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Provinsi Kalimantan Timur; Buyung Marajo, Koordinator Forum Himpunan Kelompok Kerja-30 (FH Pokja 30); Dwi Putra Kurniawan, Dewan Pengurus Wilayah Serikat Petani Indonesia Kalimantan; Inayah Wahid, warga yang peduli dengan lingkungan hidup.
Selanjutnya, Kisworo Dwi Cahyono - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan, Mareta Sari - Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Masduki - pengajar di Universitas Islam Indonesia dan Inisiator Forum Cik Di Tiro, Rika Iffati Farihah - Wakil Ketua I Pengurus Pimpinan Wilayah Fatayat Nahdlatul Ulama Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berikutnya, Sanaullaili, anggota Bidang IV Kajian Politik Sumber Daya Alam, Lembaga Hikmah, dan Kebijakan Publik, Pimpinan Pusat Muhammadiyah; Siti Maemunah, anggota Badan Pengurus Jaringan Advokasi Tambang Nasional; Trigus Dodik Susilo, Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Trenggalek; dan Wahyu Agung Perdana, Kepala Bidang Kajian Politik Sumber Daya Alam Lembaga Hikmah, dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Untuk gugatan ini, ada sebanyak 12 orang yang duduk sebagai kuasa hukum para pemohon, yakni Denny Indrayana, Wasingatu Zakiyah, Muhamad Isnur, Muh. Jamil, Edy Kurniawan, Teo Reffelsen, N.W. Satrio Kusuma Manggala, Yulianto Behar Nggali Mara, Yuwono Andreas Victor Christian, Zainal Arifin, Muhamad Raziv Barokah, dan Tareq Muhammad Aziz Elven.
Dalam sebuah keterangan tertulis, Tim Advokasi Tolak Tambang mengatakan, bermaksud untuk menyelamatkan ormas keagamaan dari pusaran energi kotor pertambangan, sehingga dapat kembali kepada khittahnya, serta untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dari kerusakan.
"Kami harus menyelamatkan ormas keagamaan ini, mengapa? Karena kalau dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk kedepannya. Di mana, lahan tambang akan selalu dijadikan alat transaksi untuk pembungkaman politik oleh pemerintah," kata Raziv Barokah, perwakilan kuasa hukum para pemohon, dalam sebuah keterangan tertulis, Senin (1/10/2024).
"Ke depannya, bisa jadi giliran ormas-ormas yang lain, seperti ormas di bidang industri, profesi, dan lain sebagainya. Oleh karenanya, Tim Advokasi Tolak Tambang, akan terus mengawal perjuangan ini," imbuhnya.
Tim Advokasi berpandangan, selain akan merusak lingkungan sekitar, pemberian izin tambang bagi ormas keagamaan tersebut juga berpotensi besar memicu konflik horizontal antara masyarakat adat dan ormas terkait. Selain itu, sangat tidak tepat, bila izin tambang diberikan kepada ormas keagamaan yang secara kelembagaan tujuannya bukan untuk mencari keuntungan, melainkan bersifat sosial yang jauh dari nilai-nilai bisnis.
Salah satu pemohon, Wahyu Agung Perdana, menuturkan, sebagai warga negara dan sekaligus anggota Persyarikatan Muhammadiyah, upaya judicial review terhadap PP 25/2024 merupakan bagian dari Jihad Konstitusi. Pemberian konsesi kepada ormas keagamaan pada sektor batu bara yang hanya mencakup wilayah eks PKP2B (Pasal 83A ayat 2), dengan jangka waktu penawaran terbatas lima tahun (Pasal 83A ayat 6), bukan saja hanya menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dan sosial yang signifikan, tetapi juga berpotensi kuat menjadi bentuk "risywah politik".
"Hal ini bertentangan dengan Teologi al-Maun Hijau Muhammadiyah, yang mengutamakan perlindungan lingkungan dan menolak ekstraktivisme, sesuai dengan prinsip Dar’ul Mafasid Muqaddamun ala Jalbil Mashalih," di mana mencegah keburukan dan kerusakan harus didahulukan daripada mengejar manfaat dan keuntungan,” kata Wahyu.
Tim Advokasi Tolak Tambang berharap kepada Mahkamah Agung agar mengabulkan permohonan ini untuk seluruhnya, dan menuntut ormas keagamaan untuk tidak terlibat dalam kegiatan bisnis pertambangan tersebut, serta berharap bahwa ormas keagamaan dapat kembali kepada tujuan semula masing-masing ormas, yakni untuk membina dan memberikan perlindungan umat.