Musim Kriminalisasi Datang ke Morowali

Penulis : Aryo Bhawono

Hukum

Senin, 04 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pembangunan kawasan industri nikel PT Huabao Industrial Park (PT IHIP) di Morowali, Sulawesi Tengah, diikuti dengan merebaknya kriminalisasi terhadap warga. Protes penggunaan jalan untuk tambang oleh IHIP berujung kriminalisasi terhadap warga. 

Pada 10 Oktober 2024 lalu, lima orang warga Desa Ambunu yakni, Abdul Ramadhan A, Hasrun, Moh Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms, dan Rifiana Ms mendapat surat panggilan dari Polda Sulawesi Tengah sebagai saksi. Surat No B/989/X2024/Ditreskrimsus tanggal 4 Oktober 2024 menyebutkan mereka dimintai keterangan atas tindakan pidana terganggunya fungsi jalan yang digunakan oleh PT Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG) berdasarkan peraturan UU No 38 Tahun 2004 pasal 63 ayat 1 (junto) pasal 12 ayat 2.

Surat pemanggilan merupakan imbas atas aksi blokade jalan oleh masyarakat pada rentang  11 – 23 Juni 2024, di Desa Topogaro dan Desa Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah. Aksi ini merupakan protes terhadap PT BTIIG yang mengklaim sepihak jalan desa yang sehari hari digunakan oleh masyarakat.

Sebelumnya, pada 20 Juni 2024 lima orang warga Desa Tondo dan Topogaro dilaporkan ke Polda Sulteng atas aksi blokade serupa. Mereka antara lain Rahman Ladanu, Wahid/ Imran, Hamdan, Safaat, dan Sadam. Polisi menggunakan dalih tindakan itu merupakan upaya menghalangi usaha pertambangan dalam UU No 3 tahun 2020 pasal 162 tentang Pertambangan dan Minerba.

Spanduk pemblokiran jalan PT IHIP di Morowali, Sulteng. Foto: Walhi

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Sulteng, Moh. Taufik, menyebutkan kriminalisasi ini merupakan bagian dari konflik agraria dan kerusakan lingkungan akibat pembangunan kawasan industri nikel tersebut. Warga terlibat konflik dengan perusahaan akibat tanahnya dirampas paksa dengan berbagai macam modus. 

“Konflik memuncak pada tahun 2022 hingga 2024 ketika lahan masyarakat seluas 14 Ha yang berisi sawit di Desa Ambunu, digusur pada malam hari tanpa sepengetahuan pemiliknya serta jalan desa, akses utama masyarakat ke kebun kini digunakan untuk jalan hauling perusahaan,” kata dia melalui rilis pers. 

Menurutnya hadirnya PT IHIP di Kecamatan Bungku Barat Kab Morowali memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan. Praktek hilirisasi khususnya nikel menciptakan penurunan kualitas kesehatan warga, kehilangan keanekaragaman hayati, penurunan kualitas ekosistem laut, penurunan ekonomi warga. Apalagi operasi industri ini didukung dengan infrastruktur yang masih menggunakan PLTU captive.

Pengampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, Yusman, menyebutkan meningkatnya perlawanan masyarakat dalam mempertahankan haknya, membuat perusahaan melakukan upaya pembungkaman dengan cara, melakukan kriminalisasi dan gugatan hukum kepada orang – orang yang dinilai sebagai pelopor dalam perlawanan tersebut.

Pada kasus pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga sebenarnya dipicu oleh klaim yang dilakukan PT IHIP yang menyampaikan jalan desa yang digunakan sebagai jalan hauling  adalah milik sah PT BTIIG, berdasarkan MoU tukar guling aset dengan Bupati Morowali yang  ditandatangani pada tanggal 11 Maret 2024.

“Padahal Jalan desa yang terhubung dari Topogaro ke Dusun Folili ke Dusun Sigendo dan Ambunu jauh sebelumnya, sudah di gunakan oleh masyarakat masih berbentuk jalan tanah setapak untuk ke kebun. Serta akses menuju ke Gua Vavompogaro (situs budaya) bersejarah bagi masyarakat sekitar,” jelasnya.

Namun protes warga ini justru berbuah pembungkaman. Tak hanya ancaman pidana saja, lima orang warga Desa Topogaro yang sebelumnya dipanggil polisi, kembali digugat perdata dengan tuntutan 14 miliar atas kerugian penutupan jalan selama tiga hari dan pencemaran nama baik perusahaan.

Berdasarkan MoU tanggal 11 Maret 2024, dalam point (b), ternyata jalan desa di Desa Wosu, Umpanga, dan Larobenu telah menjadi milik PT Huabao Industrial Park yang diuraikan dalam 10 pasal perjanjian. Kesepakatan ini akan meningkatkan konflik antar masyarakat dengan perusahaan nantinya, sebab MoU tersebut tidak pernah melibatkan masyarakat sama sekali. 

Kawasan Industri Huabao Industrial Park dikendalikan penuh oleh PT Zhensi Holding Group melalui Bahosua Taman Industri Investment Group (BTIIG). Komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51 persen Beijing Shengyue Oriental Investment Co., Ltd 10,28 persen, PT Kejayaan Emas Persada 27,45 persen, dan PT Himalaya Global Investment 11,27 persen. 

Nilai investasi proyek ini sebesar Rp 14 triliun, untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, yang merupakan bahan baku penting untuk stainless steel serta baterai kelas atas.

Luas kawasan PT IHIP sebesar 20.000 Ha di Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larobenu dan Wosu dengan metode pembangunan dua tahap. Tahap satu yang sedang berjalan di Desa Tondo, Topogaro, dan Ambunu. Pembangunan kawasan ini sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama  internasional berkualitas tinggi di bawah “One Belt, One Road Initiative”.

Manajer Kampanye Tambang dan Energi Eknas Walhi, Fanny Tri Jambore, menyebutkan praktek perampasan lahan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, tidak ubahnya seperti zaman penjajahan. Masyarakat dibuat tidak ada pilihan lain, sementara pemerintah turut serta melindungi kepentingan perusahaan dan mengabaikan hak masyarakat. 

Koalisi Anti SLAPP yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil menuntut perlindungan hak warga, keamanan, dan kebebasan warga untuk menyampaikan haknya tanpa takut akan intimidasi atau ancaman hukum. Selain itu, pemerintah harus mengkaji ulang kebijakan hilirisasi mineral, khususnya terkait peningkatan produksi nikel, dengan mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan kesehatan warga. 

Koalisi ini terdiri dari WALHI Nasional, Greenpeace, WALHI Sulteng, Perkumpulan AEER, Jatam Sulteng, Yayasan Tanah Merdeka (YTM), dan Pengacara Hijau Sulawesi Tengah. 

Manajer Operasi dan Program Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Siti Zulaika, menyebutkan kriminalisasi ini menjadi ironi karena terjadi di tengah tren peningkatan produksi nikel dari tahun 2020 hingga 2024. Daerah yang kaya nikel ini justru ditimpa ancaman. Padahal mineral kritis ini memiliki peran dalam transisi energi  seperti lithium, kobalt, nikel, dan tembaga adalah komponen esensial dalam teknologi energi terbarukan dan kendaraan listrik. Ketika keadaan darurat iklim semakin meningkat, permintaan akan mineral yang penting untuk teknologi energi terbarukan seperti panel surya, turbin angin, dan kendaraan listrik (EV) meningkat.

Laporan Global Critical Minerals Outlook 2024 memperlihatkan bahwa implementasi teknologi energi ramah lingkungan di tingkat global telah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Sebagai contoh, kapasitas pemasangan Solar PV telah meningkat sebesar 85% dari tahun 2021 hingga 2023, sementara sektor kendaraan listrik juga menunjukkan pertumbuhan yang stabil, dengan peningkatan sebesar 60% dalam jumlah mobil listrik pada tahun 2023.

Rencananya, mereka akan menggelar aksi di kantor PT BTIIG di World Capital Tower, Jl. DR. Ide Anak Agung Gde Agung, Kuningan, Jakarta Selatan.