Kontradiksi Reforestasi x Food Estate Hashim di COP29 Baku

Penulis : Kennial Laia

Hutan

Rabu, 13 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengumumkan inisiatif baru tentang reforestasi lahan kritis di Indonesia. Hal ini disampaikan di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa/Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan, oleh pengusaha sekaligus ketua delegasi Indonesia di forum tahunan tersebut, Hashim Djojojadikusumo. 

“Inisiatif baru yang ingin saya umumkan hari ini, Presiden Prabowo telah menyetujui program reboisasi besar-besaran di hutan kita yang rusak parah,” kata Hashim saat peresmian pembukaan Paviliun Indonesia di Baku, Azerbaijan, Senin, 11 November 2024.

Dalam transkrip pidato yang diperoleh redaksi, Hashim mengutip data Kementerian Kehutanan (sebelumnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), yang mencatat adanya lahan kritis seluas 12,7 juta hektare akibat kebakaran hutan sejak 1992. Lahan ini, menurut Hashim, akan menjadi target reforestasi yang mempertimbangkan keanekaragaman hayati. 

“Apa yang ingin kami lakukan adalah menciptakan kembali hutan… Ini menjadi komitmen kami, dan akan kami lakukan seiring berjalannya waktu, seluas 12,7 juta hektare,” kata Hashim. 

Spanduk Food Estate Feeding Climate Crisis! dibentangkan di atas lahan food estate di Kalteng. Foto: Greenpeace Indonesia

Pengkampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, yang turut hadir pada acara pembukaan Paviliun Indonesia di COP29, mengatakan pernyataan Hashim memiliki dua hal yang saling bertentangan. 

“Ada komitmen reforestasi, namun di saat bersamaan membolehkan pembukaan lahan skala besar dan deforestasi. Padahal reforestasi membutuhkan upaya besar dan lama dibandingkan menjaga hutan tersisa,” katanya melalui pesan tertulis kepada redaksi. “Jadi, kebijakan ini jauh dari komitmen mitigasi iklim.” 

Pembukaan lahan tersebut merujuk pada program food estate atau lumbung pangan dalam pidato pembukaan Hashim di COP29. Hashim mengatakan program lumbung pangan sangat diperlukan untuk menjaga kedaulatan pangan Indonesia dari guncangan eksternal, seperti pandemi Covid-19 dan perang Rusia di Ukraina. “Hal ini meyakinkan para pemimpin baru Indonesia bahwa ketahanan pangan adalah prioritas utama. Program (ini) sudah dimulai, tapi ada kesalahpahaman bahwa Indonesia sedang merusak hutan kita,” katanya. 

“Indonesia akan menciptakan kembali, merevitalisasi, dan meremajakan hutan yang terdegradasi. Ini sudah menjadi program yang akan memitigasi permasalahan apapun yang mungkin timbul akibat apa yang disebut dengan deforestasi,” kata Hashim. 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian menilai pernyataan Hashim sebagai pola pikir offsetting. “Pernyataan itu seolah-olah pemerintah ingin mengatakan, mau menyeimbangkan penghancuran hutan akibat food estate dengan reforestasi yang dijanjikan,” katanya. 

“Tetapi ada hal yang harus dilihat, bahwa hutan yang dihancurkan di Papua itu kan hutan alam, yang belum tentu digantikan dengan reforestasi lahan kritis 12,7 juta hektare. Jadi tidak boleh atas nama ketahanan pangan hutan kita dihancurkan,” katanya. Terkait reforestasi itu, Uli mengatakan pemerintah harus transparan membuka data dan detail lokasinya. 

Menurutnya, praktik food estate yang ada saat ini dilakukan dalam skala besar dengan aktor utama korporasi, sehingga menyerupai proyek penguasaan tanah. “Masyarakat tidak menjadi aktor utama, justru menjadi korban terdampak yang dipaksa untuk keluar dari wilayahnya,” kata Uli. 

Kabar terbaru, pemerintah telah memulai proyek food estate di Kabupauten Merauke, Papua Selatan, dengan luas 2 juta hektare. Proyek ini menerima penolakan publik karena dibangun di atas hutan alam dan tanah ulayat yang dikelola masyarakat adat Papua. Awal November lalu, Presiden Prabowo Subianto mengunjungi proyek lumbung pangan di Kampung Telaga Sari, Distrik Kurik, Merauke, Papua Selatan. Dia menyatakan program food estate akan menjadi penopang dalam mencapai target swasembada pangan.  

Menurut Uli, proyek ini tidak sejalan dengan komitmen iklim pemerintah. “Dampak lingkungannya juga sangat jelas. Kita melihat bagaimana perusakan dan hilangnya fungsi hutan di Papua. Dan ini sebenarnya kontradiktif dengan komitmen iklim. Tidak mungkin menahan laju iklim jika deforestasi juga terus berjalan,” kata Uli. 

Food estate dari masa ke masa 

Program lumbung pangan di Indonesia pertama kali diperkenalkan pada era Orde Baru. Pada 1995, Presiden Soeharto menginisiasi proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 Juta Hektare di Kalimantan Tengah, yang mengubah lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi. Proyek ini kemudian dinyatakan gagal, dan lahan PLG ini menjadi langganan kebakaran hutan. 

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beberapa program food estate dijalankan, termasuk Merauke Integrated Energi Estate (MIFEE), yang membuka hutan alam seluas 1,2 juta hektare pada 2008. Lokasi ini dilaporkan sebagai hutan sagu masyarakat adat. 

SBY juga membuka program Food Estate Bulungan di Kalimantan Utara pada 2011, hingga meluas ke Kalimantan Timur. Luas lahannya mencapai 300 ribu hektare untuk petani transmigrasi. Pada 2013, program cetak sawah 100 ribu hektare atau Food Estate Ketapang di Kalimantan Barat dibuka, di mana hanya 100 hektare yang berhasil dikelola. Sementara itu Food Estate Bulungan hanya mampu mencetak 1.024 hektare sawah dari total 300 ribu hektare yang telah dibabat.  

Pada masa pemerintahan Joko Widodo, food estate kembali dikembangkan pada 2015, yakni komoditas padi di Merauke dengan target 1,2 juta hektare. Pada 2021, Jokowi membangun program serupa di Kalimantan Tengah, dengan komoditas padi dan singkong. Investigasi media dan laporan masyarakat sipil melaporkan bahwa program ini gagal. 

Selain Merauke dan Kalimantan Tengah, Jokowi juga menetapkan program lainnya di sejumlah tempat, termasuk Keerom, Papua, seluas 10 ribu hektare untuk komoditas jagung. Kemudian Nusa Tenggara Timur untuk pengembangan komoditas jagung dan sorgum, dan Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara, untuk produksi bawang putih, bawah merah, kentang, kubis, dan cabai. Adapun program lumbung pangan untuk komoditas mangga digagas pada 2022 di Gresik, Jawa Timur, dengan target tanam di 1.000 hektare lahan.