Pembatasan Produksi Nikel Perlu Segera Dilakukan
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Tambang
Senin, 16 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan pembatasan produksi nikel dengan segera. Sebab, pembatasan ini menjadi momentum perbaikan tata kelola industri nikel demi mewujudkan transisi energi berkeadilan dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial penting untuk dilakukan.
Desakan itu sebagai respons terhadap rencana pembatasan produksi nikel demi menaikkan harga jual di pasar, seperti disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno, baru-baru ini. Namun demikian, Tri tidak merinci pasti kapan penerapan kebijakan ini diimplementasikan.
AEER menganggap harga komoditas dan produk derivatif nikel mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir. Sementara fasilitas pemurnian di tanah air masih berjuang untuk menjamin kebutuhan produksi bijih nikel global.
“Dengan pembatasan produksi ini, industri nikel diharapkan memperbaiki tata kelolanya agar mekanisme transisi energi menuju energi hijau dapat mewujudkan secara berkeadilan,” kata Pius Ginting, dalam sebuah rilis, Jumat (13/12/2024).
Pius menguraikan, implementasi program transisi energi selama ini tak memperhatikan aspek berkeadilan. Aspek lingkungan dan sosial terabaikan oleh aktivitas-aktivitas pertambangan nikel di Indonesia.
Berdasarkan hasil riset AEER pada 2024, terjadi masalah perburuhan pada industri nikel. Masalah-masalah ini selalu bersumber dari usaha perusahaan meraup keuntungan dengan menyerap tenaga buruh murah.
Eksploitasi tenaga buruh, lanjut Pius, terjadi melalui penekanan upah dan perpanjangan jam kerja, buruknya standar K3, serta tindakan-tindakan sepihak perusahaan seperti pemotongan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan pemberian sanksi kepada para buruh.
“Dalam periode waktu 2023 hingga 2024, terdata 36 pekerja tewas dan 47 terluka saat bekerja,” ujar Pius.
Infografis rentetan kecelakaan kerja di industri nikel di Sulawesi Tengah Desember 2023-Agustus 2024. Sumber: AEER.
Selain itu, hasil riset AEER juga menemukan bahwa kondisi lingkungan dan ekonomi juga terdampak akibat kehadiran industri nikel di Morowali dan Morowali Utara. Industri ini mengakibatkan degradasi lingkungan, seperti pencemaran air, yang memengaruhi produktivitas pertanian dan perikanan.
Pius mengungkapkan, banyak petani dan nelayan yang terpaksa menjual tanah mereka atau meninggalkan pekerjaan tradisional mereka dan bekerja di industri nikel dengan kondisi kerja yang buruk dan upah rendah.
Aktivitas pertambangan nikel pun menghasilkan limbah industri dan perlu mendapatkan perhatian. Sekitar 1,5 ton limbah dihasilkan dari satu ton nikel yang diolah. Saat ini, di Morowali disediakan lokasi seluas 600 hektare yang digunakan untuk menampung limbah industri tersebut.
Pius menilai, tata kelola penggunaan energi listrik juga perlu diperhatikan. Karena, ketersediaan teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidroelektrik di wilayah Sulawesi menawarkan peluang besar untuk menggantikan penggunaan batu bara dengan alternatif yang lebih ramah lingkungan.
“Sebagai catatan penting, batu bara merupakan sumber energi pembangkit listrik yang selama ini digunakan industri nikel,” ucapnya.
Lebih jauh Pius menjelaskan, Pulau Sulawesi memiliki sebagian besar potensi energi terbarukan di Indonesia, terdiri dari angin 11 gigawatt (GW), matahari 27 GW, tenaga air 5 GW dan panas bumi sebanyak 3 GW. Secara total kapasitas energi terbarukan ini adalah 45 GW.
Kapasitas ini mampu menghasilkan energi listrik besar 119 TWh, atau mencapai 78% dari kebutuhan energi Sulawesi sebesar 153 TWh pada 2060 (Draf RUKN Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2023). Artinya, terdapat selisih 22% dari perkiraan kebutuhan energi yang tidak dipasok oleh energi terbarukan.
“Tingkat produksi mineral di wilayah Sulawesi harusnya dibatasi sebesar daya dukung energi terbarukan,” kata Pius.