Rifya Melawan Raksasa

Penulis : Ika CW, JAKARTA

Biodiversity Warriors

Senin, 30 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Posturnya mini saja. Tinggi 150 cm, berat 60 kg. Tapi ukuran tubuh, pada Rifya Rusdi, mahasiswa tingkat akhir Universitas Khairun Ternate, terlihat tak berhubungan dengan nyali. Apalagi jika amarahnya ikut campur, seperti yang ia pernah tunjukkan pada sebuah Jumat malam, akhir Oktober 2023.

Waktu itu ia dan sejumlah kawan-kawannya mendatangi acara Fagogoru di Gedung Dhuafa Center, Ternate. Di sana para tokoh masyarakat Tiga Negeri, yaitu Maba (Halmahera Timur) serta Patani  dan Weda (Halmahera Tengah), sedang menggelar musyawarah besar. Perhelatan ke-5 ini dibuka Gubernur Maluku Utara kala itu, Abdul Gani Kasuba. Menurut media, sekitar 2000 orang warga ikut menghadiri perhelatan tersebut.

Rifya dan kawan-kawannya datang bukan untuk ikut beracara, tapi untuk berdemonstrasi. Mereka menuntut penyelesaian berbagai masalah di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Maka Rifya datang membawa poster “Save Sagea”. Sagea adalah desa kelahirannya di Halmahera Tengah yang sedang terancam industri nikel. Kawan-kawannya ada yang membawa poster “Tolak PT Priven” hingga “Usut Tuntas Kasus Pembunuhan di Halteng dan Haltim.

Rifya dan seorang kawannya terlihat menonjol di antara para demonstran yang berhadapan dengan benteng aparat dan massa di depan Gedung Dhuafa. Soalnya dalam kelompok demonstran itu hanya mereka berdua yang perempuan.

Rifya Rusdi, Sagea. Foto: Dok Sagea.

Lalu suasana memanas. Massa mulai menyerang demonstran. Rifya didorong seorang lelaki bertubuh tinggi nan besar, membuat ia terpojok tanpa celah untuk meloloskan diri.

Pria itu menatapnya dengan tajam. “Kamu ini perempuan, tapi nakal sekali,” pria raksasa itu berkata.

Rifya balas menatap lelaki itu. “Terus kenapa kalau perempuan? Emangnya nggak bisa?”

“Kamu itu lebih baik di rumah!”

“Ngomong kayak gitu, kamu salah orang,” Rifya membalas.

Diintimidasi lelaki itu, alih-alih nyalinya menjadi ciut, tajinya malah tumbuh. “Mungkin karena saya marah sekali waktu itu,” ujar Rifya ketika menceritakan kembali peristiwa itu pada pertengahan Desember 2023.

Dia mengungkapkan, kemarahannya di Fagogoru tumbuh di Kantor Gubernuran beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu ia bersama sejumlah warga desa hendak menemui Gubernur untuk mengadukan soal pencemaran Sungai Sagea yang diduga akibat limbah tambang nikel. “Kami sudah jauh-jauh datang, jalan kaki jauh sekali, tiba di sana tidak ditemui Gubernur. Staf-nya mengatakan kalau Gubernur sudah pergi. Tapi, waktu kami pulang dari sana, kami lihat dia baru naik boat,” kata Rifya.

Sejak itu, ujarnya, ia mengerahkan segenap daya upayanya untuk aksi demo di depan Gubernur. Kemudian ada kesempatan bagus. Itu tadi, acara Fagogoru.

Air di Sungai sagea tampak merah kecoklatan. Foto: Save sagea

Tapi, sejatinya unjuk rasa bukan cara advokasinya yang utama. Perempuan kelahiran Juli 2002 ini lebih menyukai pengembangan kapasitas warga melalui sekolah komunitas. Dengan cara inilah ia ingin ikut menyelamatkan kampungnya dari tambang. “Jadi kami mau mengajak warga untuk ‘ayo kita belajar’ agar tidak dibodohi oleh pihak-pihak yang lain. Kalau kita sumber daya alamnya sudah direbut, sudah diambil, kita harus punya sumber daya manusia yang tidak bisa ditindas," kata dia.

Untuk itu ia mendirikan Sekolah Alam Sagea. Sekolah ini didirikan pada 2023, sebagai respon dari ancaman industri nikel di Teluk Weda yang makin nyata. Di teluk inilah, menurut Rifya, berdiri setidaknya lima perusahaan nikel besar, yang kegiatannya merentang dari hulu (tambang) hingga hilir (smelter).

Desa Sagea ada di sebelah timur kompleks industri nikel di Teluk Weda. “Yang nempel industri Desa Gemaf dan Lelilef. Di Gemaf dan Lelilef, kegiatan industri tambang telah menghancurkan desa,” ujar Rifya.

Di musim hujan, kedua desa itu banjir. Di musim kemarau berdebu. Sampah terlihat di mana-mana. Sungai-sungai mati, sementara sumur sudah tak bisa diminum airnya karena intrusi air laut. Demikian pula lautnya sudah dijauhi ikan. Adapun langitnya kerap tertutup kabut buatan, yang berasal dari debu cerobong PLTU dan smelter. "Kita tidak bisa menutup kemungkinan hal-hal itu terjadi di Sagea," kata Rifya.

Jadi, ujarnya, warga harus mengantisipasi agar kekhawatiran-kekhawatiran itu tak sampai terjadi di masa depan. “Bukan di masa depan sih, karena sekarang kita (Sagea) sudah dalam posisi yang tidak baik-baik saja,” ujarnya. Suaranya terdengar murung.

Dampak industri nikel, kata dia, sudah terasa di kampungnya. Anak-anak, misalnya, sudah tak mau kuliah. “Lulus sekolah mereka lebih memilih bekerja di pabrik lalu menikah. Makanya pernikahan dini meningkat.”

Kebun-kebun sudah sepi di kunjungan petani. “Hanya sebagian orang yang ke kebun. Bisa dihitungkan. Kebanyakan sudah lain, sebagian bergantung ke tambang, yang lain jadi kuli bangunan. Kalau ibu -ibu di sini jualan, kayak bikin jualan kue, nasi kuning,” ujar dia. “Jadi diskusinya dengan ibu-ibu kita sering ngomongnya soal gimana sekarang ini kita harus mempertahankan yang tersisa.”

Danau Legaelol, Sagea, Halmahera Tengah, ketika tak tercemar limbah tambang nikel. Dok: Koalisi SavaSagea

Telaga Legaelol Sagea yang berubah warna sejak aktivitas tambang nikel. Dok: Koalisi SavaSagea

Sayangnya, sekolah alamnya kemudian vakum ketika ia meninggalkannya untuk kuliah di Ternate. “Memang harus ada orang yang bisa mengarahkan sih,” kata dia.

Lalu, 14 Agustus 2023, air Sungai Sagea tiba-tiba berubah coklat dan pekat oleh lumpur. Padahal biasanya air sungai berwarna hijau-tosca-jernih, memamerkan dasarnya yang berbatu-batu dan di sana-sini ditumbuhi ganggang. Peristiwa itu membuat shock warga Sagea.

Sungai Sagea adalah sumber air minum. Warga juga menjadikannya sebagai tempat mandi hingga mencuci. Petani sagu yang tinggal beberapa mengandalkannya untuk menokok dan melarutkan pati pohon pangan itu. Warga juga biasa memancing ikan di sana.

Lebih ke hulu, sekitar 6 km dari pusat desa, ada Gua Bokimoruru. Di sinilah air sungai Sagea muncul ke permukaan. Indahnya bukan main, sehingga gua ini menjadi destinasi wisata favorit di Maluku Utara. Banyak warga mengandalkan hidup dari pariwisata ini.

“Waktu airnya tiba-tiba keruh, warga merasa sedih. Ibu-ibu menangis karena sungai itu kehidupan mereka, yang dipercayakan oleh leluhur untuk dijaga,” kata Rifya. "Aku sendiri tuh sampai... ya Allah jadi rusak gini."

Beredar kabar, penyebab keruhnya Sungai Sagea adalah aktivitas tambang nikel di hulu DAS Sagea. Rifya mempercayainya. “Karena peristiwa ini tak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan jika hujan lebat, warna sungai tak sampai berubah drastis. Sebentar juga kembali jernih, tidak berhari-hari seperti itu.”

Data juga bilang begitu. Menurut Forest Watch Indonesia dan Komunitas #Savesagea, hingga September 2023, telah terjadi deforestasi seluas 392 hektar di wilayah DAS Sagea.

Keruhnya Sungai Sagea membunyikan alarm bahaya bagi warga. Para pemuda Sagea merespon di berbagai platform, seperti #SaveSagea, Jaga Kampung, Sekolah Relawan Kampung. “Motornya Fakawele-nya Ka Adlun (Adlun Fikri, red.),” kata Rifya. Fakawele, dalam bahasa setempat, berarti perbaikan.

Sekolah perempuan pesisir Halmahera

Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera. Dok: Istimewa

Rifya ikut aktif di berbagai platform gerakan penyelamatan Sagea, lalu ia mengembangkan jalur lain karena ”ingin langsung ke tindakan,” ujarnya. Platform gerakan di kepalanya, lagi-lagi, sekolah komunitas. Tapi, kali ini bukan sekolah alam, melainkan sekolah perempuan. Melalui sekolah ini, ia berharap agar warga, khususnya perempuan, mengetahui apa yang harus dilakukan ketika dihadapkan dengan masalah-masalah lingkungan, masalah sosial, dan masalah apapun yang datang kemudian. “Jadi kita sudah bisa merespon,” kata dia.

Ada tujuan lainnya. Melalui sekolah ini, ia ingin meredam  pernikahan usia dini yang banyak terjadi di kampungnya. “Saya tak mau generasi setelah saya menikah di usia yang masih sangat kecil sekali. Karena ini berdampak sekali, sebab mereka kan masih di bangku sekolah. Masih SMA kelas 1, kelas 2, kelas 3. Bahkan ada yang SMP udah menikah,” kata dia. “Akibatnya anak-anak yang kini melanjutkan kuliah sudah sedikit sekali, karena banyak yang memilih menikah, kerja di perusahaan nikel.”

Di sela-sela peringatan 17 Agustus 2024 lalu, ia membicarakan gagasan pembentukan sekolah tersebut dengan teman-temannya. Lima kawannya—Nurhani yang juga sepupunya, Yuyun, Mutmainah, Dharma, dan Fitri—menyambut ide tersebut. Enam sekawan ini ada anak kuliahan seperti dia, ada yang sudah bekerja, dan ada yang menjadi aktivis Jaga Kampung.

Mereka lalu membawa gagasan ke para guru di Sagea dan orang-orang tua di kampung. Semua menyambutnya.

Pada 24 Agustus 2024, Sekolah Perempuan Pesisir Halmahera resmi berdiri. Kegiatannya di antaranya lapak baca, diskusi, hingga pengajian.

Kegiatan lapak baca berlangsung setiap pekan, dari Kamis hingga Ahad, dengan jeda di malam Jumat, karena setiap malam Jumat sekolah perempuan mengadakan pengajian. Lapaknya di ruang-ruang publik, seperti di kedai dekat sungai, di depan rumah camat, dan di taman kuliner. Lokasinya digilir.

Bukunya hasil pinjaman dari perpustakaan Fakawele. Ada pula milik  pribadi anggota. “Fakawele ada 20 buku, aku punya delapan buku, ada juga tambahan dari teman-teman,” kata Rifya.

Di lapak baca itu, para perempuan itu tak hanya membaca, karena ada presentasi dan diskusi mengenai buku-buku tersebut. Tapi diskusi bisa pula soal-soal di luar buku, terutama mengenai lingkungan, situasi perempuan, hingga soal kekerasan seksual.

Saat ini, kata Rifya, jumlah peserta Lapak Baca sebanyak 39 orang,  berdasarkan jumlah anggota di Whatsapp grup. “Awalnya, ketika baru berdiri, 36 orang,” ujar dia.

Tak berhenti di Sekolah Pesisir Perempuan, Rifya dan kawan-kawannya mendirikan sanggar pada Oktober lalu. Namanya Sanggar Bokimoruru. Kegiatannya berfokus pada kebudayaan, seperti tari-tarian dan pembuatan kerajinan tangan.

Masih ada lagi yang ingin dia lakukan?

Ditanya itu, dia tertawa. “Ya, segera lulus kuliah,” ujarnya. “Sesudah itu saya ingin membuat kebun mandiri dan buka kafe bagi Sekolah Perempuan. Jadi, komunitas punya dana mandiri untuk membiayai kegiatan-kegiatannya, tak perlu lagi meminta dari donatur atau patungan di antara kita.”

Di kebun yang nanti dikembangkan, ia ingin menaman aneka bahan pangan, termasuk tanaman obat lokal. “Soalnya tradisi ini terancam punah juga, padahal ini sumber obat yang murah.”

Penyebabnya karena tanaman ini nyaris hilang dari sekitar desa. “Sebelumnya kalau perlu daun-daun obat cukup mencari di sekitar desa saja, tidak terlalu jauh sampai jalan ke arah goa. Tapi sekarang kita sudah harus lebih jauh lagi, dam sudah ada beberapa lahandi sekitar jalan yang sudah dijual ke perusahaan,” ujarnya.

Di antara tanaman obat itu, misalnya, misalnya daun dan batang gofasa, temu lawak, daun kasuba, dan batang langsa. “Herbal ini biasa untuk perempuan remaja. Selesai datang bulan, dianjurkan minum obat ini. Kata ibu -ibu di sini, herbal ini harus minum (karena) perempuan, baik untuk kandungan," ujar Rifya.

Adapun kafenya nanti ia bayangkan akan punya ruang untuk sekretariat komunitas. “Pokoknya aku pengen ada tempat di mana orang-orang bisa mendapat manfaat,” kata dia.

Makin terancam


Rifya mengakui, ia makin mengkhawatirkan nasib desanya. Soalnya, tanda-tanda kerusakan akibat industri nikel kian terlihat pada Sungai Sagea. “Kini setiap minggu hampir pasti ada saatnya sungai berubah keruh,” ujarnya. “Jadi kayak gini: keruh selama dua-tiga hari, lalu jernih, lalu keruh lagi besoknya,” ujarnya.

Bahkan ia—tentu juga warga Sagea—sekarang bisa tahu keadaan sungai mereka tanpa harus melihatnya langsung. Soalnya, setiap kali sungai keruh, helikopter perusahaan tambang lewat di atas.

“Dia (helikopter) itu kayaknya ngecek tuh. Ini menurut saya, ya. Jadi, aku amati, kalau helikopter pas lewat di atas, airnya pas sedang tidak main-main. Jadi kayaknya kalau mereka ngecek airnya keruh, mereka (di hulu DAS) berhenti bekerja, kalau sudah jernih baru kerja lagi. Begitu terus. Itu asumsi aku sih. Asumsi liar,” ujarnya. “Tapi bahwa lumpur di Sungai Sagea itu berasal dari tambang nikel sudah bukan asumsi,” kata dia.

Menurut Rifya, foto-foto aktivitas tambang nikel di hulu DAS Sagea sudah beredar di antara warga. Dan ini membuat ia makin khawatir. “Jadi sekarang kita lagi memperjuangkan desa agar selamat dari tambang,” kata dia.

Ia mengatakan, meski yang dilawan kawan-kawannya perusahaan besar, yang beking besar, sementara yang mendukung perlawanan jumlahnya kecil saja, “tapi kita Bismillah saja,” ujarnya, tanpa nada takut. */**

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id