Tagih Hak Plasma Sawit, Kepada Desa Tempayung Dikriminalisasi

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat Adat

Jumat, 24 Januari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat adat di Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng), diduga dikriminalisasi. Ketua komunitas adat, sekaligus Kepala Desa Tempayung, Syachyunie (47 tahun), terancam dipidana karena mengakomodasi masyarakat adatnya yang melakukan pemasangan portal adat, demi menagih pemenuhan hak kebun plasmanya kepada PT Sungai Rangit Sampoerna Agro.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kobar, Mardani, yang mendampingi kasus masyarakat adat ini mengatakan, Syachyunie dituduh sebagai dalang pemortalan akses perkebunan sawit PT Sungai Rangit, yang dilakukan masyarakat adat di Desa Tempayung. Kasus Syachyunie ini sudah mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun. Ia didakwa melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Mardani mengatakan Syachyunie tidak patut dipidana. Karena Syachyunie hanya menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai kepala desa untuk mengakomodir kehendak komunal masyarakat Tempayung untuk mendapatkan hak mereka untuk segera dilaksanakan oleh PT Sungai Rangit Sampoerna Agro

“Syachyunie, sebagai kepala desa dan sebagai anggota dari komunitas masyarakat adat sebenarnya hanya mengakomodasi dan ikut memperjuangkan tuntutan warga Tempayung. Ini peran yang memang seharusnya ia lakukan sebagai pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warganya,” kata Dani, Kamis (23/1/2025).

Sejumlah masyarakat adat dari Desa Tempayung, menyuarakan desakan agar ketua komunitas adat sekaligus Kepala Desa Tempayung, Syachyunie dibebaskan, dari upaya kriminalisasi, di depan Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun, Rabu (22/1/2025). Foto: Istimewa.

Selain Syachyunie, imbuh Dani, Polres Kobar juga melakukan pemanggilan kepada 4 anggota masyarakat adat Tempayung lainnya, terkait kasus yang sama yakni soal pemortalan. Dani memperkirakan, tidak menutup kemungkinan nasib 4 warga Tempayung ini akan berakhir sama seperti kepala desa mereka yang dikriminalisasi.

Dani menjelaskan, PT Sungai Rangit Sampoerna Agro telah beroperasi di Desa Tempayung hampir 30 tahun. Luas kebunnya mencapai lebih dari 5 ribu hektare di wilayah Tempayung. Sementara, kebun kemitraan plasma di sana hanya seluas sekitar 336 hektare. Artinya hanya sekitar 6% persen saja kebun plasma di sana, jauh dari ketentuan pemerintah, sebesar 20%.

“Proses hukum terhadap Syachyunie yang disebut sebagai dalang di balik aksi pemortalan akses kebun sawit perusahaan itu berlebihan. Ini patut dicurigai sebagai proses hukum yang berbau pesanan, hanya untuk meredam upaya masyarakat menuntut keadilan agraria,” ujar Dani.

Menurut Dani, ratusan warga Tempayung yang membuat portal adat di sejumlah titik di kebun sawit perusahaan itu adalah perjuangan bersama. Itu dilakukan sebagai wujud kekecewaan warga akibat pihak perusahaan yang tak pernah mendengarkan permintaan warga yang sudah disampaikan beberapa kali sebelumnya oleh pihak desa.

Dani berpendapat, jika perusahaan merasa rugi secara ekonomi dengan penutupan akses kebun sekitar lima bulan di Desa Tempayung, itu tak sebanding dengan kerugian masyarakat Tempayung yang sudah kehilangan ribuan hektare ruang hidupnya untuk pembukaan kebun perusahaan. Sementara manfaat yang didapat warga dari keberadaan perusahaan malah jauh dari mereka.

‘“Alih-alih bersikap akomodatif terhadap tuntutan warga, di lapangan ketika berhadapan dengan warga, staf perusahaan malah menunjukkan sikap tidak menghormati adat, sebagaimana disampaikan masyarakat,” tutur Dani.

Dani bilang, kasus realisasi plasma sawit antara warga Tempayung dan perusahaan ini sebenarnya juga sudah dalam penanganan mediasi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat. Sehingga sangat disayangkan apabila upaya mediasi ini harus berakhir di meja hijau, dengan korban kriminalisasinya adalah masyarakat adat.

“Ini menambah deretan kegagalan mediasi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam penanganan konflik tenurial dan agraria yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan besar swasta,” katanya.

Dipasangi gelang pelacak

Mardani menjelaskan, Syachyunie pertama kali dijemput polisi di Bandara Iskandar, Pangkalan Bun, saat pulang perjalanan dinas dari Jakarta pada Jumat, 27 September 2024. Ia dibawa ke markas Polres Kobar di Pangkalan Bun, diperiksa kemudian dijadikan tersangka.

Saat itu Syachyunie tidak ditahan, karena permintaan Pengurus Daerah AMAN Kobar dan jaminan dari Camat Kotawaringin Lama. Namun, status tersangka tetap melekat padanya. Sebagai gantinya Syachyunie dikenakan wajib lapor.

Syachyunie, lanjut Dani, bersama tokoh-tokoh adat dan tetua kampung Tempayung pernah meminta kepada Polres Kobar untuk dihentikan penyidikan kasusnya. Bahkan ia pernah bersurat dengan lampiran tanda tangan masyarakat yang mendukungnya, meminta kepolisian mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) sebelum pelaksanaan Pilkada 2024.

Tapi pihak Poles Kobar tak menggubris. Sepekan pasca-Pilkada, tepatnya pada 5 Desember 2024, kasus Syachyunie dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kobar. Ia lalu ditetapkan sebagai tahanan rumah.

Dani mengatakan, reputasinya yang baik sebagai kepala desa dan bertahun-tahun sebelumnya sebagai sekretaris desa, juga tak pernah melanggar hukum, tak membuat Syachyunie mendapatkan perlakuan yang lebih pantas. Sebagai tersangka, sambung Dani, Syachyunie diperlakukan layaknya seorang kriminal.

“Sebuah gelang pelacak dengan teknologi GPS dipasang di pergelangan kakinya oleh kejaksaan. Pemasangan gelang pelacak pada pergelangan kaki Syachyunie ini kami nilai sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak manusiawi oleh Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat,” katanya.

Peristiwa yang menimpa masyarakat dan Kepala Tempayung ini bukan merupakan kasus kriminalisasi pertama yang terjadi di Kalteng. Koalisi Keadilan untuk Tempayung mencatat terhitung sejak lima tahun belakangan ini, ada beberapa konflik yang terjadi di Kalteng yang berkaitan dengan masyarakat adat, konflik berupa perampasan wilayah adat dan hutan adat, intimidasi, kriminalisasi.

Yang terparah salah satunya adalah penembakan kepada masyarakat adat di Komunitas Adat Bangkal, dalam konflik realisasi plasma antara masyarakat adat dengan PT HMBP I. Konflik yang terjadi sekitar 1 tahun belakangan ini sempat menjadi perhatian luas masyarakat di Kalteng. Sebab buntut dari konflik ini adalah terjadinya perlakuan penembakan oleh aparat polisi kepada Masyarakat Adat Bangkal, dengan dalih aparat menjaga keamanan di perusahaan PT HMBP I.

Koalisi menuturkan, tuntutan agar perusahaan memenuhi kewajiban pembangunan kebun plasma sawit sebesar 20% ini bukan hanya terjadi di Tempayung saja, tapi juga di banyak tempat. Maraknya tuntutan pemenuhan kewajiban 20% tersebut menunjukkan rendahnya tingkat kepatuhan perusahaan dalam memenuhi komitmen pemenuhan hak-hak masyarakat.

“Situasi seperti ini jika tidak segera diselesaikan oleh pemerintah akan menimbulkan ledakan serupa di banyak tempat,” kata Koalisi Keadilan untuk Tempayung dalam sebuah rilis.

Penyebab konflik dan kasus kriminalisasi

Dalam rilis tersebut, Koalisi menilai bahwa konflik tenurial dan agraria yang terjadi antara masyarakat adat Tempayung dengan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro terjadi disebabkan oleh beberapa persoalan, salah satunya karena hilangnya wilayah adat dan ruang-ruang penghidupan masyarakat adat akibat pemberian konsesi perizinan dari pemerintah kepada korporasi.

Kemudian karena kewajiban perusahaan, termasuk kemitraan, plasma, dan sebagainya, yang tidak diberikan sepenuhnya kepada masyarakat adat Tempayung oleh PT Sungai Rangit Sampoerna Agro, dan tidak berjalannya proses pengawasan dan evaluasi perizinan oleh Pemerintah Kabupaten Kobar terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan kewajibannya.

Koalisi menganggap penetapan Syachyunie, sebagai tersangka merupakan sebuah kriminalisasi yang dilakukan oleh PT Sungai Rangit Sampoerna Agro. Jika perkara Kepala Desa Tempayung ini terus dilanjutkan atau bahkan diputus bersalah oleh majelis hakim nantinya, maka ini menjadi preseden buruk bagi Pemerintah Kabupaten Kobar.

“Tidak menutup kemungkinan akan terjadinya kriminalisasi yang sama terhadap kepala desa lainnya yang menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai kepala desa di Kotawaringin Barat,” kata Koalisi.

Koalisi menilai konflik tenurial dan agraria yang terjadi di Tempayung maupun kriminalisasi terhadap Kepala Desa Tempayung ini terjadi akibat dari abainya Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam memberikan pengakuan dan perlindungan formal melalui regulasi daerah bagi masyarakat adat di Kotawaringin Barat.

Selain itu, kriminalisasi Syachyunie ini juga memperlihatkan bahwa dalam situasi konflik yang terjadi antara masyarakat dengan korporasi, aparat keamanan dalam hal ini Polres Kotawaringin Barat, lebih cenderung berpihak kepada perusahaan dibanding masyarakat.

Atas beberapa persoalan penyebab konflik antara Komunitas Adat Tempayung dan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro di atas, Koalisi kemudian meminta Syachyunie dibebaskan dari kriminalisasi. Sebab sebagai orang yang sedang memperjuangkan hak-hak masyarakat tak pantas dikriminalisasi.

Koalisi juga menuntut pertanggung-jawaban Pemerintah Kabupaten Kobar untuk memberikan jaminan dan perlindungan bagi semua kepala desa di Kobar dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, serta meminta agar serius menyelesaikan konflik agraria di Tempayung dan di desa-desa lain di Kobar.

“Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat dalam hal menyelesaikan konflik, harus menyelesaikannya sampai ke akar masalah, dengan output berupa keadilan bagi masyarakat, bukan berpihak kepada korporasi,” tulis Koalisi.

Ada beberapa tuntutan lainnya yang disampaikan Koalisi, yakni:

  • Kepada pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten, untuk segera melakukan pengawasan dan evaluasi perizinan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro yang diduga abai menjalankan kewajibannya.
  • Kepada kepolisian, agar segera menarik seluruh anggotanya dari pengamanan PT Sungai Rangit Sampoerna Agro, maupun di perusahaan lainnya di Kobar.
  • Menuntut PT Sungai Rangit Sampoerna Agro memberikan kebun plasma yang menjadi hak warga Tempayung seluas 20% dari luas kebun perusahaan di Desa Tempayung.
  • Mendesak Pemerintah Kabupaten Kobar segera mengesahkan rancangan peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Kobar, dan menetapkan pengakuan bagi komunitas adat di Kobar.
  • Meminta pemerintah, melalui kementerian terkait, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap tingkat kepatuhan perusahaan sawit dalam memenuhi kewajiban pembangunan 20% kebun plasma untuk masyarakat, seperti tertuang dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Koalisi Keadilan untuk Tempayung, sendiri merupakan gabungan sejumlah organisasi masyarakat sipil, yaitu Komunitas Adat Tempayung, Pengurus Besar AMAN, Pengurus Daerah AMAN Kobar, Pengurus Wilayah AMAN Kalteng, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng, Save Our Borneo, Progress Palangka Raya, Sawit Watch, Barusan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kobar, dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN).