Aksi Tolak Tambang Martabe di Rumah Orangutan Batang Toru

Penulis : Kennial Laia

Biodiversitas

Senin, 03 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Hampir 200 ribu dukungan datang dari berbagai belahan dunia untuk menuntut penghentian eksploitasi perusahaan emas di Ekosistem Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara. Masyarakat khawatir kegiatan perusahaan bernama PT Agincourt Resources Martabe Gold Mine ini akan menyebabkan deforestasi dan menghancurkan habitat orang utan. 

Sebanyak 190 ribu orang menandatangani petisi yang digalang oleh Walhi Sumatra Utara, Walhi Nasional, dan Satya Bumi. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) ini menyerahkannya secara langsung petisi tersebut kepada menteri kehutanan, menteri energi dan sumber daya mineral, dan pimpinan Agincourt Resources di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025.

Direktur WALHI Sumatera Utara Rianda Purba mengatakan, aktivitas tambang akan merusak Ekosistem Batang Toru, sehingga mengancam kelangsungan hidup orang utan tapanuli, spesies endemik dan termasuk paling langka di dunia.

"Tambang emas Martabe terletak di jantung Ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir bagi orang utan tapanuli. Dengan populasi yang kurang dari 800 individu, spesies ini sangat rentan terhadap kepunahan," kata Rianda dalam aksi damai yang juga digelar di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025. 

Masa aksi dari Aliansi Tolak Tambang Emas Martabe (LANTAM) melakukan protes damai di depan Kementerian ESDM di Jakarta, Kamis, 27 Februari 2025. Aksi ini menyerukan penghentian aktivitas tambang Martabe di Ekosistem Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara.

Orang utan tapanuli berstatus terancam punah dalam daftar merah Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Saat ini populasinya terancam berkurang akibat hilangnya tutupan hutan di Batang Toru. Dalam 15 tahun terakhir, deforestasi di sekitar tambang telah mencapai lebih dari 114 hektare, menurut pantauan Walhi Sumatra Utara. 

Menurut catatan Aliansi, saat ini PT Agincourt Resources, operator tambang emas Martabe, tengah berencana membuka lokasi penimbunan atau tailing management facility (TMF) baru di wilayah utara konsesinya.

Berdasarkan penelusuran dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT AR, total luas TMF mencapai 195,2 hektare. Jika ditotal dengan fasilitas tambahan, luas hutan yang akan dibuka mencapai 583 hektare. 

Rencana ini mendapat penolakan dari seluruh dunia. Menurut Aliansi, pembukaan lahan baru akan memperkecil fragmentasi atau pemisahan habitat yang kemudian meningkatkan kepunahan satwa, termasuk orang utan. 

Selain di Jakarta, aksi juga dilakukan serentak di Medan, Sumatera Utara di depan kantor United Tractors, dengan tuntutan yang sama. Sementara itu, Friends of the Earth (FoE) dan Ekō yang tergabung dalam koalisi internasional, menyampaikan petisi secara langsung kepada perusahaan induk Agincourt Resources, Jardine Cycle & Carriage Limited di London, Inggris. 

"Hari ini, 190.000 orang dari seluruh dunia mengirimkan pesan yang sangat jelas dan mendesak kepada Jardine Matheson dan Martabe: tidak ada jumlah emas yang sebanding dengan risiko terhadap masa depan orang utan paling langka di dunia,”  kata Direktur Kampanye Ekō, Fatah Sadaoui. 

“Orangutan Tapanuli bukan sekadar simbol, tetapi bukti nyata bahwa kehancuran keanekaragaman hayati akibat keserakahan korporasi bukanlah ancaman yang jauh di masa depan," ujarnya. 

Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi mengatakan, survei biodiversitas antara 2013 dan 2017 mengungkap, lokasi tambang Martabe merupakan habitat primata langka dan dilindungi seperti siamang, simpai, dan orang utan tapanuli. Daya jelajah orang utan sendiri berkisar antara 15 hingga 20 hektare, dengan jelajah harian sekitar 750 hingga 1.100 meter per hari. 

“Rencana pembangunan TMF walaupun berada di Area penggunaan lain (APL), namun secara tutupan lahan ini masih berupa hutan dan termasuk ke dalam area biodiversitas kunci Ekosistem Batang Toru,” kata Riezcy. 

“Sedangkan kegiatan penyiapan lahan untuk TMF ini akan membuka area berhutan menjadi area terbuka, sehingga ini akan berdampak terhadap pengurangan habitat orangutan, yang dapat menimbulkan kepunahan dalam jangka panjang,” ujarnya. 

Aliansi mencatat, potensi kehilangan pohon untuk kebutuhan pembangunan TMF mencapai sekitar 185.884 pohon. Pembukaan ini juga diproyeksikan akan merusak sumber air, mulai dari perubahan pola aliran sungai, peningkatan limpasan air permukaan, penurunan kualitas air permukaan, dan permukaan air tanah.

"Wilayah kerja perusahaan tambang tumpang tindih dengan hulu lima DAS utama yang menjadi sumber air bagi hampir 100.000 orang. Kerusakan ini berdampak langsung pada kualitas air dan ketahanan pangan masyarakat lokal," kata Rianda.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, ratusan ribu masyarakat yang bergantung dari hutan dan air di lanskap Batang Toru juga berpotensi terdampak aktivitas tambang tersebut. 

“Ada setidaknya 1200 hekare sawah yang bergantung dari air yang bersumber dari hutan Batang Toru, terancam hilang. Hal ini sangat kontradiktif dengan program swasembada pangan pemerintah,” kata Uli. 

“Maka jikalah Presiden Prabowo menganggap program swasembada pangan dari tangan petani benar-benar prioritas, harusnya presiden berani untuk mengevaluasi dan mencabut izin perusahaan yang beraktivitas di lanskap Batang Toru,” ujarnya.