Kegiatan Ilegal Ancam Hutan TN Kerinci Sebelat - Forest Guardian

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Hutan

Rabu, 05 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Perambahan dan illegal logging dilaporkan terjadi di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya di wilayah Desa Pal 7, Kecamatan Bermani Ulu Raya, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Hal tersebut berdasarkan temuan tim Forest Guardian Bengkulu mengenai pola deforestasi yang terjadi, serta keterlibatan berbagai pihak dalam aktivitas ilegal yang mengancam kelestarian hutan TNKS di wilayah Bengkulu.

Forest Guardian (FG) adalah kumpulan anak muda di 4 Provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Bengkulu yang mendedikasikan diri untuk menjaga hutan agar tetap lestari, adil, dan berkelanjutan. Terbentuknya komunitas ini didorong kepedulian anak muda terhadap keselamatan hutan dan lingkungan. Forest Guardian telah melakukan kerja-kerja kampanye kreatif dan diskusi bersama para pemangku kebijakan, sebagai upaya menghambat laju deforestasi di kawasan TNKS.

Menurut hasil analisis spasial yang dilakukan tim Forest Guardian Bengkulu, dengan menggunakan data dari Global Forest Watcher (GFW) yang di-overlay dan memvalidasinya dengan citra planet, dalam kurun waktu 2001-2023, khusus deforestasi di Desa Pal 7 angkanya sebesar 768,5 hektare. Yang berarti rata-rata sekitar 33,41 hektare hutan hilang setiap tahunnya akibat perambahan dan aktivitas ilegal lainnya.

“Ini mengakibatkan Desa Pal 7 menjadi salah satu desa penyanggah kawasan TNKS yang mengalami tingkat deforestasi tertinggi di Bengkulu,” kata Egi Saputra, anggota Forest Guardian Bengkulu, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (4/3/2025).

Kegiatan ilegal, termasuk perambahan dan pembalakan liar, masih terjadi di kawasan TNKS, khususnya di Desa Pal 7, di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Foto: Forest Guardian Bengkulu.

Egi, yang juga Direktur Genesis Bengkulu, menuturkan bahwa investigasi lapangan mengungkap perambahan di TNKS didorong oleh kurangnya lahan pertanian di luar kawasan hutan serta daya tarik tanah subur yang dapat meningkatkan hasil panen pertanian hingga dua kali lipat dibandingkan lahan di luar kawasan. Proses perambahan dilakukan dengan membuka lahan baru, yang sering kali dilakukan dengan cara membayar pekerja untuk menebang pohon dengan tarif per harinya Rp150.000 per orang.

“Mayoritas perambah hutan adalah masyarakat pendatang yang berasal dari Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur yang sudah menjadi masyarakat Desa Pal 7 dan desa sekitar,” ujarnya.

Di sisi lain, lanjut Egi, praktik illegal logging di TNKS juga masih berlangsung. Modus operandi yang terungkap menunjukkan adanya rantai suplai yang melibatkan tukang gesek kayu dan depot yang menampung kayu ilegal. Dimulai dari adanya pesanan yang diterima oleh depot kayu bersamaan dengan uang muka yang dibayarkan, lalu pihak pemesan diminta untuk menunggu 1 pekan.

Selanjutnya, setelah kayu siap, 1 pekan kemudian, pihak pemesan bisa mengambil kayu sembari melakukan pelunasan. Kayu-kayu yang dijual dari hasil illegal logging diangkut pada malam hari melalui jalur Trans 25 yang berada di Desa Pal 7.

“Salah satu depot kayu yang teridentifikasi menampung hasil kayu ilegal berlokasi di Desa Pal 8, depot ini diduga dimiliki oleh seorang anggota aparat hukum aktif. Hal ini memperkuat dugaan adanya keterlibatan aparat dalam melindungi praktik ilegal ini,” ucap Egi.

Egi melanjutkan, hasil investigasi juga mengungkap bahwa aktor yang terlibat dalam aktivitas ilegal ini terdiri dari berbagai tingkatan, mulai dari petani, perangkat desa, hingga aparat hukum. Selain itu, lemahnya pengawasan dari Balai TNKS semakin memperparah situasi. Patroli yang dilakukan masih bersifat terbuka, sehingga memungkinkan informasi bocor dan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menghindari razia.

Selain perambahan dan illegal logging, imbuh Egi, ditemukan pula praktik perburuan liar serta jual beli lahan dalam kawasan TNKS, yang membuat semakin cepatnya laju kerusakan hutan. Aktivitas ini tidak hanya mengancam ekosistem hutan hujan tropis yang kaya biodiversitas, tetapi juga dapat berdampak pada perubahan iklim dan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Forest Guardian Bengkulu mendesak pemerintah daerah, Balai TNKS, serta aparat penegak hukum untuk meningkatkan pengawasan dan tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku perambahan dan illegal logging.

“Selain itu, diperlukan juga upaya kolaboratif antara berbagai pihak untuk memastikan kelestarian TNKS agar tidak lagi masuk salah satu daftar hutan hujan tropis dengan status terancam,” kata Egi.

Kepala Balai TNKS, Haidir, tidak menampik adanya kegiatan ilegal di kawasan TNKS, dan berdasarkan hasil patroli pengamanan yang dilakukan, memang ditemukan sejumlah kegiatan ilegal dalam kawasan TNKS, seperti penambangan dan pengeboran, pembalakan liar, perburuan satwa, dan yang terbanyak adalah penggunaan kawasan.

Selama beberapa tahun terakhir, lanjut Haidir, sebanyak 21 tersangka pelaku kegiatan ilegal telah dan tengah diproses hukum. Beberapa di antaranya yakni Usnadi yang divonis 2 tahun dan denda Rp250 juta subsider penjara 6 bulan pada 2020, Safuan divonis 1 tahun 6 bulan denda Rp200 juta subsider 1 bulan kurungan penjara, Iwan dengan vonis 7 bulan penjara dengan denda Rp2,5 juta subsider 1 bulan penjara, dan yang masih diproses persidangan terdakwa Amelka Hetin dan Amrul.

“Tapi ya tidak semua pelaku bisa kita tangkap. Tapi beberapa (tersangka pelaku) sudah diproses,” kata Haidir.

Haidir menjelaskan, ada sekitar 334 desa yang berada di sekitar kawasan TNKS, yang berlokasi di Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu dan Sumatera Barat. Desa-desa tersebut merupakan pintu gerbang masuk ke kawasan konservasi tersebut.

Untuk itu, sejak beberapa tahun lalu pihaknya melibatkan masyarakat desa sekitar dalam pengawasan dan pengamanan kawasan. Khususnya sepanjang 2023, kegiatan patroli pengamanan kawasan dilakukan sepanjang 4.441,98 km, melibatkan 638 orang.

“Kalau kita tidak bermitra dengan masyarakat desa, maka kita pasti akan keteteran. Kita bermitra dengan membentuk masyarakat mitra polhut (MMP), perempuan peduli lingkungan (PPL), kemitraan konservasi dan lain sebagainya. Pelibatan masyarakat desa itu efektif.,” ujar Haidir.

Lebih lanjut Haidir menjelaskan, selain melibatkan masyarakat desa sekitar pihaknya juga akan menambah personel polhut untuk memperkuat pengawasan di lapangan. Saat ini jumlah personel polhut di TNKS berjumlah sekitar 87 orang, dan tahun ini akan ada penambahan polhut sekitar 40 orang.

Haidir menjelaskan, pihaknya juga gencar melakukan penandaan batas kawasan TNKS. Tujuannya untuk memastikan masyarakat dan pihak terkait mengetahui secara jelas batas kawasan TNKS untuk mencegah klaim atau pemanfaatan yang tidak sesuai dengan peraturan.

“Juga sebagai peringatan terhadap aktivitas ilegal seperti perambahan, perburuan liar, atau penebangan hutan yang dapat merusak ekosistem taman nasional,” ujar Haidir.

Soal deforestasi, Haidir menjelaskan, kehilangan hutan alam di TNKS mengalami peningkatan sejak 2015 dan puncaknya pada 2017 sebesar 6.252 hektare, akibat perambahan dan kebakaran hutan. Tapi deforestasi mengalami penurunan tajam pada 2020 dan tetap berada pada tingkat yang relatif rendah hingga 2023. Dalam periode 2021-2023 angka deforestasi terlihat stabil dengan sedikit variasi.

Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Forest Watch, lanjut Haidir, pada 2024 tren deforestasi di TNKS menunjukkan pola 2024 tren deforestasi di TNKS menunjukkan pola yang serupa dengan sumber lainnya. Dalam periode 2001 hingga 2023 (22 tahun), TNKS mengalami kehilangan tutupan hutan seluas 77.800 hektare, setara dengan penurunan sebesar 5,7 persen sejak 2000.

“Meskipun terjadi lonjakan kehilangan tutupan hutan yang signifikan pada tahun 2017, tren deforestasi cenderung stabil pada tahun-tahun berikutnya hingga 2023, dengan kecenderungan penurunan deforestasi di kawasan TNKS,” ujar Haidir.