Sent: Surat Kekhawatiran Deforestasi di Papua ke Meja Uni Eropa

Penulis : Aryo Bhawono

Deforestasi

Kamis, 06 Maret 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Dua puluh dua organisasi masyarakat sipil Indonesia mengirimkan surat kepada petinggi Uni Eropa soal ancaman deforestasi 2 juta hektare di Papua. Deforestasi ini juga turut menjadi ancaman bagi masyarakat adat Malind dan Yei yang tinggal di kawasan itu. 

Organisasi masyarakat sipil itu di antaranya adalah Pusaka, Walhi, Satya Bumi, Huma, TuK Indonesia, Trend Asia, dan Link AR Borneo. 

Surat ini ditujukan kepada Wakil Presiden Eksekutif untuk Transisi Bersih, Adil, dan Kompetitif, Teresa Ribera; Perwakilan Tinggi untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan serta Wakil Presiden Komisi Eropa Kaja Kallas; Komisaris untuk Lingkungan, Ketahanan Air, dan Ekonomi Sirkular Kompetitif, Jessica Roswall; Komisaris untuk Kemitraan Internasional, Jozef Síkela; dan Komisaris untuk Keamanan Perdagangan dan Ekonomi, Hubungan Antar Lembaga, dan Transparansi, Maroš Šefčovič.

Mereka meminta Komisi Eropa mempertimbangkan krisis deforestasi dan ancaman hak-hak masyarakat adat di Papua dalam proses penilaian risiko negara dan bagian-bagiannya dalam skema Benchmarking Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR). 

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bersama sejumlah pejabat pemerintahan dan militer saat berkunjung ke lokasi PSN Merauke, 19 Agustus 2024. Foto: Pusaka Bentala Rakyat.

“Berdasarkan skema ini, Uni Eropa akan mengklasifikasikan negara atau wilayah sebagai berisiko rendah, standar, atau tinggi terhadap deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia. Penetapan ini harus dilakukan sebelum 30 Juni 2025,” tulis mereka dalam pernyataan sikap bersama yang diterima redaksi pada Senin (2/3/2025).

Pasal 29 EUDR menyatakan bahwa penilaian risiko harus mempertimbangkan tingkat deforestasi dan ekspansi lahan pertanian. 

Lebih lanjut, tulis mereka, Pasal 29 Ayat (4) Poin (d) mengharuskan Komisi Eropa untuk memperhitungkan keberadaan perundangan yang melindungi hak asasi manusia, hak masyarakat adat, penanganan korupsi, serta transparansi dari data-data yang dibutuhkan dalam memenuhi ketentuan EUDR.

Catatan pemberitaan Betahita menyebutkan ancaman terhadap 2 juta ha hutan Papua sendiri tak lepas dari proyek PSN Merauke seluas pada Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) untuk proyek cetak sawah baru seluas sejuta hektare dan perkebunan tanaman tebu dan bioetanol. Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di 13 distrik, seluruhnya berada di wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei. 

Diperkirakan lebih dari 50 ribu penduduk asli yang berdiam di 40 kampung sekitar dan dalam lokasi proyek akan terdampak oleh proyek PSN Merauke.

Food Estate Merauke terbagi dalam tiga proyek. Pertama, proyek pengembangan perkebunan tebu dan bioetanol yang dikelola 10 perusahaan dan didukung Kementerian Investasi/ Kepala Badan Penanaman Modal dengan pemberian izin dengan lahan seluas lebih dari 500.000 ha. Perusahaan ini dimiliki dan dikontrol dua pengusaha dan perusahaan perkebunan raksasa dunia yakni Martias Fangiono dan anaknya Wirastuty Fangiono yang menguasai First Resources Group dan/atau FAP Fangiono Agro Plantation (FAP) Agri Group, dan Martua Sitorus, pemilik dan pendiri KPN Corp. Group. 

Kedua, proyek optimalisasi lahan (Oplah) pertanian melalui mekanisasi pertanian, pembuatan saluran irigasi, pemberian alat mesin pertanian (alsintan) pada enam distrik yakni Distrik Kurik, Tanah Miring, Merauke, Semangga, Jagebob dan Malind, dengan lahan seluas 40.000 ha dan akan diperluas hingga 100.000 ha, yang dikelola oleh Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, TNI, petani, dan mahasiswa Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan). 

Ketiga, proyek cetak sawah baru dikelola oleh Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, dan perusahaan swasta Jhonlin Group milik Haji Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, dengan lahan seluas sejuta ha.