Luhut: Sejumlah Proyek Pembangkit Listrik di Jawa Ditunda Demi Perkuat Rupiah

Penulis : Redaksi Betahita

Energi

Jumat, 07 September 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut B Pandjaitan mengatakan pemerintah memutuskan untuk menunda sejumlah proyek pembangunan listrik di Pulau Jawa. Hal ini guna menenangkan nilai tukar mata uang dollar AS dan memperkuat nilai tukar rupiah.

“Kami reschedule beberapa proyek listrik mungkin enam bulan atau satu tahun. Kami mau menenangkan dulu masalah currency ini,” kata Luhut melalui keterangan resminya di Jakarta, Kamis (6/9).

Penundaan sambung Luhut, dilakukan sebagai upaya untuk mengendalikan impor komponen yang menyebabkan defisit transaksi perdagangan, dan membuat nilai tukar rupiah terus melemah. Menko Kemaritiman mensinyalir perusahaan pembangkit listrik tidak menaati kewajiban pemenuhan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sehingga impor komponen melambung.

Lebih jelasnya, Luhut tidak menyebutkan proyek mana saja yang akan ditunda. Ia hanya memastikan jumlahnya nanti dibatasi oleh proyek-proyek kelistrikan yang belum mencapai penyelesaian pembiayaan atau financial close. “Jadi yang sudah financial close akan terus (berjalan),” tegas Luhut.

Proyek kelistrikan yang belum mencapai financial close diperkirakan mencapai sekitar 15.200 MW, yang awalnya ditargetkan selesai pada 2019. Namun akhirnya ditunda hingga 2021-2026. Penundaan pembangunan proyek pembangkit listrik ini diyakini tidak akan mempengaruhi target kelistrikan yang kini akan mencapai pada akhir 2019.

Sedangkan mengenai pertumbuhan ekonomi sebagai alasan untuk pembangunan banyak PLTU, menurut IEEFA, ekonomi berkembang tak hanya soal pengadaan listrik. Pembangunan ekonomi terutama di daerah terpencil perlu pendekatan yang komprehensif.

Sementara itu, analis Institute for Energy and Financial Analysis (IEEFA) Elrika Hamdi menyoroti dampak kebijakan batubara terhadap tarif litrik dan subsidi kepada PLN. Tahun ini, subsidi untuk PLN naik jadi Rp59,9 triliun dari Rp45 triliun karena kenaikan harga BBM dan batubara plus nilai tukar rupiah yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat.

Risikonya, jika PLN terus bergantung pada bahan bakar fosil, akhirnya PLN tetap bergantung pada harga komoditas yang naik turun.

Dari pemodelan IEEFA terhadap subsidi PLN untuk lima tahun sejak 2017, dengan asumsi harga BBM dan batubara naik 10% pada 2018, 5% pada 2019, selebihnya kenaikan flat, pada 2021 akan terjadi subsidi lebih banyak, 46%. Diperkirakan, pada 2020-2022—andai rencana penambahan PLTU seperti pencanangan 35.000 megawatt-pembangunan PLTU selesai (COD) dan PLN harus membayar semua daya Independent Power Producer (IPP) sesuai Power Purchase Agreement (PPA).