Dilema Daerah Kaya Hutan Dalam Mengelola Hutan Secara Lestari

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Selasa, 18 September 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Sistem transfer fiskal saat ini belum menghargai pilihan dan upaya kabupaten yang kaya hutan berkomitmen menjaga hutan dan memulihkan hutan. Pembagian dana alokasi umum juga belum mendorong daerah kaya hutan untuk mengelola hutan secara lestari.

Dibanding wilayah lain, daerah ini kerap kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Menyoal kondisi ini, Akademi Ilmu Pemgetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmuan Muda Indonesia selenggarakan konferensi bertema “Transfer Fiskal untuk Kabupaten Kaya Hutan” di Jakarta, Selasa (18/9).

Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro ketua AIPI mengatakan konferensi ini sejalan dengan AIPI, mendorong pemanfaatan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, termasuk dalam pembuatan kebijakan.

Harapannya, konferensi ini memghasilkan poin-poin rekomendasi kebijakan berbasis bukti dari hasil riset sekaligus memperhatikam aspirasi kabupaten-kabupaten kaya hutan terhadap mekanisme yang ideal dalam pandangan mereka.

Konferensi yang digelar Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Akademi Ilmu Muda Indonesia (AIMI) mengangkat berbagai persoalan yang dihadapi wilayah kaya hutan, sekaligus menawarkan solusi ekonomi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pusat riset perubahan iklim Universitas Indonesia (RCCC UI).

Senada dengan itu, Dr Sony Mumbunan mengatakan daerah kaya hutan harus menjaga hutan dan sumber dayanya sebagai sarana penyerapan karbon dan pengaturan iklim, nantinya ini akan dinikmati semua kalangan termasuk luar daerah tersebut.

Menurutnya, untuk mengelola hutan ini bisa diwadahi melalui dorongan keuangan, memberi Dana Alokasi Umum yang adil. Luas tutupan hutan primer dan sekunder agar menjadi indikator wilayah dalam penghitungan DAU.

Sony menegaskan, mereka tidak bisa menjadikan hutan sebagai sumber pendapatan daerah dengan membuka perkebunan sawit atau aktivitas pertambangan.

Disatu sisi, kabupaten bersangkutan harus menanggung biaya menjaga hutan. Manfaat dan biaya yang tidak sepadan ini menjadi salah satu alasan mengapa hutan sulit dijaga dan sumber daya hutan terus menerus mengalami degradasi.

“Saat ini, kabupaten kaya hutan yang menyatakan diri sebagai kabupaten konservasi, kabupaten hijau, atau kabupaten lestari menanggung beban biaya menjaga hutan, tanpa kompensasi apapun,” katanya.

Simulasinya kata Sony, dengan memasukkan luas hutan primer dan sekunder dalam indikator luas wilayah perhitungan DAU, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara memperoleh DAU 2016 sebesar Rp 807,83 miliar bisa mendapat DAU Rp 915 miliar. Kemudian simulasi daerah luas hutan lebih kecil, Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah, tambahan DAU hanya berkisar Rp 9,77 miliar.

"Hakekat perhitungan DAU bersifat zero-sum, penambahan indikator dan bobot berarti DAU naik untuk daerah tertentu sekaligus DAU turun untuk daerah lain karena jumlah keseluruhan DAU tetap sama," kata Sonny.

Dana Alokasi Umum dijadikan cara untuk menyepadankan biaya dan manfaat perlindungan hutan bagi kabupaten-kabupaten kaya hutan. Tutupan hutan baik hutan primer maupun hutan sekunder, diusulkan menjadi salah satu aspek penentu besaran DAU yang diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal ini diharapkan dapat mendorong perlindungan hutan yang lebih maksimal.

Dengan demikian berbagai manfaat ekologis hutan seperti menjaga cadangan air, stabilitas tanah, dan ketahanan pangan dapat terus dinikmati generasi mendatang. Skema ini telah digunakan di sejumlah negara, antaranya India dan Brasil.