Komitmen Moratorium Sawit Masih Dipertanyakan

Penulis : Redaksi Betahita

Sawit

Jumat, 16 November 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Analisis Greenpeace yang terangkum dalam laporan “Hitung Mundur Terakhir” menemukan bahwa sejumlah perusahaan minyak sawit mendapatkan bahan baku dari kelompok-kelompok perusahaan yang menghancurkan hutan dan melakukan penyerobotan lahan dari komunitas lokal.

Baca juga: Greenpeace Tuding Sawit untuk Biskuit Ini Rusak Habitat Orangutan

“Ini jelas pelanggaran komitmen NDPE,” kata Kiki Taufik Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace dalam siaran persnya, Kamis, 15 November 2018

Lahirnya Inpres Moratorium Sawit melalui  Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, , menurut Kiki, secara tidak langsung mengakui adanya permasalahan di sektor kelapa sawit.

Minat berkebun sawit secara mandiri desa-desa di Sintang rendah. Hal tersebut disebabkan karena pengetahuan dan kemampuan petani yang kurang dan pasar hasil produksi kebun sawit rakyat yang terbatas./Foto: Betahita

Persoalan utama terletak pada sejumlah pedagang minyak sawit yang masih terkait praktik perusahaan hutan. Masih banyak perusahaan masih belum melaksanakan prinsip NDPE atau non deforestasi, piet (gambut) dan eksploitasi dalam menggarap bisnis sawit.

Pemerintah dan DPR harusnya menyoroti dan mengawasi perilaku pedagang minyak sawit, karena akibat tindakan mereka, komoditas sawit Indonesia  tengah menghadapi risiko penurunan penjualan drartis ke negara-negara Uni Eropa. Kondisi ini tidak menguntungkan karena telah menjadi sumber penghidupan 22 juta warga Indonesia.

Jika kelapa sawit ditanam dengan mengedepankan pelestarian alam, tanpa merusak hutan atau lahan gambut dan bebas dari konflik sosial maka alam menjadi solusi bagi permasalahan kesejahteraan ekonomi rakyat. Indonesia akan menjadi yang terdepan di dunia dalam sektor industri minyak sawit.

“Intinya Greenpeace berkampanye untuk mengakhiri deforestasi, bukan mengakhiri minyak sawit,” katanya.

Melarang ekspor sawit tidak sama dengan mengakhiri deforestasi. Faktanya, perkebunan kelapa sawit adalah tanaman yang sangat efisien terhadap penggunaan lahan. Artinya satu hektar kelapa sawit lebih banyak menghasilkan minyak nabati dibanding tanaman lain seperti bungamatahari maupun soya.

Sekarang, menurut Kiki, banyak perusahaan konsumen pengguna sawit besar di dunia yang telah berjanji untuk mengakhiri peran mereka dalam deforestasi pada 2020. Waktu terus berjalan bagi mereka untuk memenuhi janji. “Kita perlu meminta pertanggungjawaban mereka sambil terus mendorong pemerintah untuk segera meningkatkan peran dalam melindungi hutan memerangi perubahan iklim,” katanya.