Dituding Terlibat Konflik Kepentingan di Bisnis Batubara, Ini Kata Luhut

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Kamis, 20 Desember 2018

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan dinilai mempunyai konflik kepentingan politik yang besar di bisnis batubara, demikian laporan terbaru yang dikeluarkan oleh Greenpeace, Auriga, JATAM, dan ICW hari ini di Jakarta, Senin, 17 Desember 2018.

Baca juga: Koalisi LSM: Bisnis Batubara Sumber Dana Kampanye Politik

Dalam siaran persnya, Greenpeace menyatakan, sektor pertambangan batubara menjadi komoditas politik dan sumber pendanaan kampanye politik di Indonesia selama 20 tahun terakhir, baik di tingkat nasional maupun daerah. Keterkaitan yang erat dengan kebijakan dan regulasi pemerintah, royalti, pajak, serta infrastruktur pemerintah, mendorong sektor ini terpapar korupsi politik.

Laporan yang bertajuk “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batubara” ini mengungkap bagaimana elite politik atau politically exposed persons menyatukan kepentingan bisnis dan politik di sektor pertambangan batu bara. Terdapat elite politik dengan konflik kepentingan politik yang besar di bisnis batubara, contohnya seperti Luhut Binsar Pandjaitan yang membawahi sektor pertambangan dan energi, merupakan pemegang saham PT Toba Sejahtera. Perusahaan ini memiliki sejumlah anak perusahaan yang terlibat dalam pertambangan batubara dan PLTU. Beberapa politically-exposed persons (PEPs) lainnya terhubungkan dengan kelompok bisnis ini, termasuk anggota keluarga Luhut, mantan menteri serta pejabat tinggi lainnya, dan pensiunan jenderal.

“Elite nasional bersekongkol dengan elite daerah dalam bisnis batubara. Ini merupakan lanskap baru di mana desentralisasi membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih politis dan meningkatkan kekuasaan diskresioner para pejabat daerah, dan kedua hal ini meningkatkan risiko terjadinya korupsi,” kata Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara. “Sektor batu bara telah mendanai dan secara bersamaan mengotori politik dan demokrasi di Indonesia yang merugikan rakyat Indonesia.”

Ilustrasi PLTU batu bara/Dok.ICEL

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menepis tudingan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyebut ia melakukan korupsi politik atau penyalahgunaan wewenang melalui perusahaan batu bara di bawah Toba Sejahtra Group. Ia mengaku, selama empat tahun belakangan tidak terlibat apapun dengan bisnis Toba Sejahtra.

Hal ini dikatakan Luhut menjawab pertanyaan awak media di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (17/12) malam. Luhut menjelaskan satu-satunya urusan yang dilakukannya saat ini hanya mengurus pemerintahan, bukan Toba Sejahtra. “Tidak ada (kepentingan politik), kalau ada tindak saja. Saya pun (siap) ditindak kalau salah,” kata Luhut seperti dikutip katadata.

Luhut menjanjikan tidak ada korupsi politik atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukannya. Apalagi jika tindakan tersebut diketahui anak buah yang melihat dirinya berbisnis ke sana-sini di luar urusan utamanya sebagai menteri. “Masa saya tidak malu sudah tua begini, malu dong,” ujarnya.

Faktor-Faktor Pendorong Korupsi

Menurut laporan koalisi LSM tersebut, terdapat beberapa faktor yang meningkatkan risiko korupsi dalam tiap tahapan proses pertambangan. Kelemahan dalam sistem  pencegahan korupsi, juga pada aspek yudisial secara umum menurunkan kemampuan pemerintah untuk dapat mendeteksi, mencegah, dan menghukum koruptor secara efektif. Proses pengambilan  keputusan  yang  sangat  terpolitisasi dan  kekuasaan  diskresioner  yang dipegang oleh pejabat negara juga meningkatkan faktor risiko terjadinya korupsi. Faktor lainnya adalah tata kelola dalam sektor pertambangan seringkali tidak memiliki pembagian peran dan tanggung  jawab yang jelas.

Firdaus Ilyas dari Indonesia Corruption Watch menyatakan, “Buruknya pengawasan menjadikan pengelolaan SDA Indonesia khususnya batubara, rentan untuk dikorupsi. Lemahnya penegakan hukum membuat bisnis batubara menjadi “bancakan” oknum pengusaha dan penguasa”. “Dari sisi ekonomi penerimaan negara dari batubara tidaklah seberapa dibandingkan dampak lingkungan dan kepentingan generasi mendatang, oleh sebab itu sudah saatnya kita melepaskan diri dari ketergantungan pada batubara”.

Koordinator JATAM, Merah Johansyah mengatakan bahwa melalui korupsi politik, Pilkada dan Pemilu hanya menjadi ajang merebut kuasa dan jabatan serta menangguk kekayaan. Pesta demokrasi lima tahunan ini juga menjadi kesempatan bagi para pebisnis batubara melakukan praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan politik demi melanggengkan usaha mereka di daerah. Apalagi politisi dan sekaligus pebisnis batubara berada di kedua kubu kandidat capres pemilu 2019.

“Korupsi politik melalui kongkalikong politisi dan pebisnis batubara ini menyebabkan masyarakat harus berhadapan langsung dengan berbagai masalah yang ditimbulkan oleh industri kotor ini.” Mulai dari penggusuran lahan, perampasan wilayah adat, kriminalisasi, krisis pangan dan air, ancaman kesehatan, tindakan kekerasan aparat negara, sampai lubang-lubang tambangnya juga menyebabkan anak-anak tewas,” lanjutnya.

“Operasi serampangan PT. ABN perusahaan tambang batubara yang terhubung dengan bisnis keluarga Menteri Luhut Panjaitan dalam laporan ini, awal Desember ini telah menyebabkan 41 jiwa harus mengungsi, 17 rumah retak dan hancur, dan membuat jalan utama Desa Sanga-sanga dan Muara Jawa terputus di Sanga-sanga, Kabupaten Kutai Kartanegara,” menurut Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kaltim melengkapi.

Coalruption, atau korupsi batubara telah dan sedang menghancurkan kesejahteraan Indonesia. Praktik ini mencemari lingkungan, mematikan, merusak reputasi dan melemahkan demokrasi Indonesia melalui praktik korupsi politik. Korupsi politik di sektor batubara harus diakhiri dengan mengakhiri ketergantungan kepada komoditas tersebut untuk masa depan Indonesia yang lebih baik: energi dan politik yang bersih.