Catatan Akhir Tahun Jikalahari: Siak Terbaik, Penanganan Karhutla Membaik

Penulis : Redaksi Betahita

Hukum

Selasa, 15 Januari 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Jikalahari melansir Catatan Akhir Tahun  2018. Made Ali, Koordinator Jikalahari mengatakan, pihaknya memberi penilaian “Baik dan Buruk” terhadap performa Propinsi dan 12 Kabupaten/Kota yang merespon kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan.

Baca juga :  Catatan Akhir Tahun, Elviriadi: Ini 3 Tantangan Siti Nurbaya di 2019

“Kasus yang terjadi di satu daerah, apa respon kepala daerah? Respon itu dalam bentuk tindakan dan kebijakan. Namun, apakah respon itu memperbaiki krisis lingkungan hidup dan kehutanan? Ini yang kami telisik,” kata Made Ali, saat di hubungi Selasa, 15 Januari 2019.

Menurut Made, berdasarkan bagaimana pemerintah daerah menyikapi persoalan lingkungan hidup dan kehutanan di Kabupaten/Kota, Jikalahari mengapresiasi Siak sebagai kabupaten terbaik dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup dan kehutanan yang terjadi dan Kabupaten Rokan Hilir sebagai kabupaten terburuk dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup dan kehutanan yang terjadi.

Jikalahari melansir Catatan Akhir Tahun 2018. Made Ali, Koordinator Jikalahari mengatakan, pihaknya memberi penilaian “Baik dan Buruk” terhadap performa Propinsi dan 12 Kabupaten/Kota yang merespon kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan.

Penilaian ini dilakukan berdasarkan jumlah hotspot tertinggi sampai terendah, luas areal kebakaran, jumlah korban terdampak banjir, luas deforestasi, hutan alam yang tersisa dan respon daerah terhadap kasus-kasus tersebut. Jikalahari menemukan komitmen pemerintah daerah dan pusat dalam memperbaiki krisis lingkungan hidup dan kehutanan, untuk kebakaran hutan dan lahan sinergi pusat dan daerah menunjukkan progres.

Sepanjang 2018 kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di Riau. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah, selama 2018 kebakaran terjadi di Riau seluas 5.776 hektare.

“Namun untuk menghentikan banjir, pemerintah pusat dan daerah tidak menunjukkan progres apapun selain menetapkan siaga darurat,” kata Made Ali, “akibatnya enam orang meninggal terkena dampak banjir dan masyarakat terdampak mencapai 24.631 jiwa.”

Sepanjang 2018 Jikalahari mencatat keselamatan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat dan tempatan tidak menjadi prioritas dalam Perda No 10 Tahun 2018 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau 2018-2038, illegal logging, pencemaran sungai, konflik agraria, konflik satwa dan lambannya penegakan hukum terhadap kasus - kasus lingkungan hidup dan kehutanan yang mengakibatkan kebakaran dan banjir terus terjadi.

“Lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi dan cukong, review korporasi HTI dan sawit di atas lahan gambut dan ruang kelola masyarakat juga menunjukkan perlambatan, padahal komitmen untuk memperbaiki itu semua indah di atas kertas,” kata Made.

Sejak 2016 - 2018 Jikalahari telah melaporkan 140 korporasi baik HTI maupun sawit kepada aparat penegak hukum untuk dilakukan upaya penegakan hukum karena diduga telah melakukan pelanggaran tindak pidana kehutanan baik perambahan kawasan hutan, karhutla maupun korupsi. Hingga saat ini korporasi yang dilaporkan Jikalahari belum banyak ditindaklanjuti. Selain itu juga ada kasus SP3 Illegal logging yang dilakukan oleh 14 korporasi HTI dan 20 koprorasi korupsi kehutanan di Riau. Saat ini sudah memasuki satu dekade namum belum ada tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum. Padahal 14 korporasi terbukti melakukan penebangan hutan alam.

Jikalahari juga menyoroti lambannya restorasi gambut di Riau. Berdasarkan Perpres No 1 tahun 2016 tentang BRG, seharusnya restorasi yang dilakukan sudah 488.840 ha lahan atau 60% dari target 814.734 sejak 2016. Namun sampai saat ini BRG baru mampu melakukan restorasi seluas74.451 ha atau 9.1% dari target. Realisasi Perhutanan Sosial sampai saat ini baru 88.009 ha dari 1.093.686 ha atau sama dengan 8 persen.

Di samping itu, Jikalahari merangkum kebijakan-kebijakan di daerah maupun pemerintah pusat. Ada 9 kebijakan terkait lingkugan hidup dan kehutanan seperti Inpres No 8 tentang Moratorium Sawit, Perpres No 54 tentang Stranas PK, Perpres No 77 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, Perpres No 86 tentang Reforma Agraria, Perda No 6 tentang Penyelenggaraan Perkebunan, Perda No 10 tentang RTRWP Riau dan Perda 14 tentang Pedoman Pengakuan Masyarakat Hukum Adat, “kebijakannya progresif, namun bagaimana implementasinya? Politik tindakan perbaikan krisis lingkungan hidup dan kehutanan belum nyata dirasakan masyarakat.”

Upaya-upaya dan inisiatif yang dilakukan Jikalahari dalam mendorong perluasan ruang kelola rakyat, pemberdayaan masyarakat dan kelompok perempuan, meningkatkan anggaran untuk perbaikan lingkukangan dan kehutanan dalam mendorong perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Riau juga terangkum dalam catatan akhir tahun ini.