WALHI: Ancaman LBP Keluar dari Kesepakatan Paris Lampaui Presiden dan DPR

Penulis : Redaksi Betahita

Sawit

Senin, 01 April 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pada 27 Maret 2019, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan membuat pernyataan di media bahwa pemerintah Indonesia mengancam akan keluar dari Kesepakatan Paris,

Pernyataan tersebut sebagai reaksi atas keluarnya Delegated Act Komisi Eropa terkait penggunaan sawit untuk biofuel. Komisi Eropa memutuskan bahwa budi daya kelapa sawit mengakibatkan deforestasi berlebihan dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan. Padahal saat ini, Indonesia menggunakan sawit sebagai bahan biosolar.

Baca juga: Heboh Akademisi Hutankan Sawit, Pakar: Paradoks

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengecam pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman tersebut, Menurut Walhi, pernyataan tersebut serampangan, tanpa berpikir panjang dan keliru. “Presiden Joko Widodo harusnya menegur Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman atas pernyataannya tersebut,” katanya.

Ilustrasi- Heboh reaksi pemerintah Indonesia atas rencana tolak produk sawit Uni Eropa menarik perhatian publik. Parlemen Eropa menilai Produk Sawit Indonesia merusak lingkungan serta mendorong laju deforestasi.

Manajer Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Walhi, Yuyun Harmono, mengatakan, ancaman Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan hanya mewakili kepentingan korporasi sawit.

“Reaksi itu tindakan keliru, apa yang disampaikan menteri koordinator kemaritiman ini kontradiktif. Itu mewakili korporasi sawit,” katanya dalam konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta, Jumat 29 Maret 2019.

Keterlibatan Indonesia dalam Kesepakatan Paris merupakan komitmen Presiden Joko Widodo sebagaimana disampaikan pada COP 21 UNFCCC di Paris, Indonesia akan terlibat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang merupakan masalah global.

Indonesia juga berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan Internasional pada tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC).

Menurutnya, keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan Paris merupakan salah satu wujud pelaksanaan Nawa Cita yang menjadi prioritas Presiden Joko Widodo yaitu bentuk peningkatan peran global yang mengamanatkan peningkatkan kerja sama internasional dalam mengatasi ancaman terhadap umat manusia termasuk perubahan iklim. Karena itu,  tidak bisa serta-merta seorang menteri menyatakan keluar dari Kesepakatan Paris karena hal itu bertentangan dengan komitmen Presiden.

Selain itu, Kesepakatan Paris tersebut juga telah diratifikasi melalui UU No 16 Tahun 2016 oleh DPR-RI. Dalam sistem hukum nasional Indonesia, ratifikasi perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pejanjian Internasional.

Ratifikasi perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang atau Peraturan Presiden. Paris Agreement sebagai dasar hukum upaya antisipasi perubahan iklim baik dalam lingkup global maupun nasional disahkan dalam bentuk Undang-Undang.

Dalam Naskah Akademik yang mendasari ratifikasi Kesepakatan Paris disebutkan bahwa pengendalian perubahan iklim merupakan amanat konstitusi bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Negara memberikan arah dan berkewajiban memastikan agar pembangunan yang dibutuhkan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial.

Dengan adanya kesadaran akan ancaman dari dampak-dampak negatif perubahan iklim, pengendalian dan penanganan perubahan iklim bukan merupakan suatu beban bagi Negara, namun menjadi suatu kebutuhan.

Dengan demikian komitmen Negara dalam menangani perubahan iklim juga tidak sekedar komitmen Internasional namun merupakan agenda nasional. Artinya pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selain bertentangan dengan komitmen Presiden Joko Widodo, juga melangkahi kewenangan DPR-RI karena pernyataan tersebut tidak atas persetujuan parlemen.

Selain itu, Indonesia terletak di wilayah geografis yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Secara umum kenaikan suhu rata-rata di wilayah Indonesia diperkirakan sebesar 0,5 - 3,92 °C pada tahun 2100 dari kondisi periode 1981-2010.

Kenaikan suhu tersebut mengakibatkan penurunan ketersediaan air, perubahan produktivitas tanaman, hilangnya keanekaragaman hayati yang merupakan aset tidak ternilai yang dimiliki Indonesia sehingga akan memberikan dampak pada kesehatan, kematian, ketahanan pangan, pola migrasi, ekosistem alami dan kesejahteraan ekonomi, baik di tingkat lokal maupun nasional.

Wilayah Indonesia dengan jumlah pulau lebih dari 17.000, dan hampir 65 % penduduk tinggal di wilayah pesisir, menyebabkan wilayah Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim, khususnya yang disebabkan oleh kenaikan permukaan air laut serta penggenangan akibat banjir di wilayah pesisir atau rob. Frekuensi kejadian cuaca ekstrim yang normalnya 5-7 tahun dengan adanya perubahan iklim menjadi lebih sering 3-5 tahun.

La Nina menimbulkan dampak berupa banjir akibat curah hujan yang tinggi sementara El Ninomenimbulkan dampak berupa kekeringan ekstrim akibat rendahnya curah hujan.

Menurutnya ancaman terhadap keselamatan rakyat akibat dampak perubahan iklim ini menjadi prioritas pemerintah terutama Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman untuk memastikan 65% rakyat yang hidup di pesisir selamat dari dampak perubahan iklim, bukan mengancam keluar dari dari Kesepakatan Paris hanya demi membela kepentingan korporasi sawit.