10 Tahun Tertunda, Kasus Tumpahan Minyak Montara Kembali Mendapat Perhatian

Penulis : Redaksi Betahita

Hukum

Jumat, 12 April 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id - Kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor, yang turut mencemari perairan Indonesia, memasuki babak baru. Pemerintah Indonesia menyatakan akan meminta Pemerintah Australia agar turut bertanggung  jawab menyelesaikan kasus yang melibatkan perusahaan minyak dan gas PTTEP Australasia yang berbasis di Perth, Australia.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman sekaligus Ketua Task Force Montara Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan timnya akan berangkat ke Canberra untuk bertemu dengan perwakilan pemerintah Australia. Task Force Montara, yang dibentuk Agustus 2018 lalu, akan bernegosiasi selama periode 22-27 April 2019.

“Kami akan meminta pemerintah Australia menyiapkan pejabat-pejabat untuk duduk bersama menyelesaikan kasus Montara ini. Kita akan berusaha mencari solusi terbaik untuk kasus pencemaran Laut Timor yang sudah berumur 10 tahun ini,” kata Purbaya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 11 April 2019.

Lebih lanjut Purbaya mengatakan akan menggunakan instrumen dalam United Nations Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang mengatur hukum laut internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendesak keterlibatan serius Pemerintah Australia dalam kasus tumpahan minyak yang telah merugikan ribuan petani rumput laut di Indonesia.

Ledakan di anjungan minyak di lapangan Montara lepas pantai Australia pada 2009. Doc. abc.net.au

Purbaya berpendapat bahwa Australia yang sudah meratifikasi UNCLOS sebagai Negara harus melindungi aktivitasnya dan bertanggung jawab bila terjadi pencemaran lingkungan di negaranya maupun negara sekitarnya.

“Jelas bahwa di article 194 bahwa state (Negara) terlibat di sini. Jadi jangan bilang lagi kalau itu hanya tanggung jawab swasta. Pemerintah/Negara juga harus bertanggung jawab,” tegas Purbaya.

Purbaya menyatakan sebelumnya pihaknya telah beberapa kali berkorespondensi dengan Pemerintah Australia, akan tetapi prosesnya berjalan lambat. Maret lalu, pihaknya mendapatkan respon dari Pemerintah Australia yang kemudian berujung pada pertemuan dua pekan mendatang.

Upaya lain yang dilakukan Task Force Montara adalah mengirimkan surat ke Sekretariat Kabinet (Setkab), meminta agar seluruh Kementerian/Lembaga menjadikan kasus Montara sebagai pertimbangan prioritas ketika hendak menjalin kerjasama dengan Pemerintah Australia. Purbaya berharap cara ini menggaet lebih banyak perhatian, terutama penyelesaian kasusnya.

Dalam kasus ledakan minyak Montara, sebenarnya terdapat empat entitas yang terlibat dan bertanggungjawab.  Dilansir dari Antara, Ketua Tim Advokasi Rakyat Korban Pencemaran Laut Timor Ferdi Tanoni menyebut  “PTTEP (PTT Exploration and Production), perusahaan migas dari Norwegia dan Amerika Serikat serta Pemerintah Australia.”

Secara spesifik, dalam kasus ini, Pemerintah Australia merupakan regulator ladang Montara. PTTEP Australasia (Ashmore and Cartier) Pte. Ltd., perusahaan yang terlibat dalam pengoperasian ladang Montara, mendapat izin dari Pemerintah Australia dan beroperasi dalam yurisdiksi Australia.

Kasus tumpahan minyak Montara bermula pada 21 Agustus 2009 ketika anjungan minyak di lapangan Montara milik perusahaan asal Thailand tersebut meledak. Akibatnya, sekitar 23,5 juta liter minyak mengalir tanpa henti ke Laut Timor selama 74 hari, dan turut mengotori pesisir Indonesia.

Untuk menanggulangi petaka tersebut, Pemerintah Australia melalui Australia Maritime Safety Authority (AMSA) menyemprotkan sejumlah besar bubuk kimia yang sangat beracun yakni dispersant jenis Corexit 9872 A ke Laut Timor sebagai upaya menenggelamkan sisa tumpahan minyak Montara ke dasar laut. Celakanya, dalam 1×24 jam, semua ikan besar dan kecil mati.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 mencatat bahwa 29 hari setelah ledakan, tumpahan minyak merembet sekitar 110 kilometer dari pesisir Namodale, Rote Ndao serta 121 kilometer dari Oetune, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Pada 28 September 2009, melalui citra satelit Terra-MODIS, tumpahan minyak kembali terdeteksi mendekati perairan Indonesia, sekitar 47 kilometer dari Rabe, Kupang dan 65 kilometer dari Batuidu, Rute Ndao, NTT. Akibatnya, lebih dari 100.000 petani rumput laut dan nelayan terdampak pencahariannya.

Menunggu hasil gugatan di Australia

Dalam kesempatan yang sama Ferdi Tanoni mengatakan hingga saat ini proses pengadilan di Australia melawan PTTEP Australasia masih bergulir. Pihaknya masih menunggu hasil peradilan di Negara Kanguru, yang akan diputus  Juni mendatang.

Sebelumnya, masyarakat korban pencemaran Laut Timor melayangkan gugatan class action ke Pengadilan Federal Australia melawan PTTEP Australasia. Pihaknya menuntut ganti rugi sebesar 635 juta dolar Australia. Namun, menurut Ferdi, angka tersebut masih terbatas pada dua kabupaten dari 13 kabupaten yang terdampak.

“Angka dalam gugatan itu kurang lebih kerugian yang harus dibayar PTTEP ke dua kabupaten. Padahal ada 13 kabupaten. Mei nanti kita akan negosiasi dulu dengan perusahaan minyak yang meminta. Kita lihat bagaimana hasilnya. Apakah selesai di situ atau tidak,”kata Ferdi, Kamis, 11 April 2019.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga pernah mengajukan gugatan melawan PTTEP di Pengadilan Jakarta Pusat. Gugatan itu kemudian dicabut dengan alasan administrasi dan kurangnya bukti.

Purbaya mengatakan saat ini pihaknya tengah mengumpulkan bukti atau sampel untuk memperkuat gugatan di dalam negeri ke depan. Purbaya mengatakan bahwa selama ini sampel kurang. Dari 31 sampel yang dibutuhkan, hanya 11 sampel yang terpenuhi. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidaksinkronan pembiayaan jasa analisis sampel.

“Tapi sekarang sudah kita bereskan. Begitu beres (analisis laboratorium) nanti, ini siap untuk diajukan lagi,” kata Purbaya seraya menambahkan analisis laboratorium tersebut selesai bulan ini.

Bukti baru tersebut kemungkinan akan meningkatkan angka gugatan ganti rugi masyarakat terdampak, lebih tinggi dari angka dalam class action. Purbaya mengatakan Pemerintah Indonesia sedang menghitung angka kerugian dengan bukti-bukti segar tersebut.

Akan tetapi, gugatan di dalam negeri akan lebih dahulu melihat perkembangan proses peradilan di Australia. Purbaya mengatakan bahwa pihaknya menunda layangan gugatan hingga putusan di sana, sebagai salah satu strategi untuk mendukung Pemerintah Australia. Juga, menghindari kekacauan yang mungkin akibat adanya dua gugatan di dua negara dalam waktu bersamaan.

“Kalau menang, kita akan jadikan bukti untuk memperkuat gugatan yang di dalam negeri,” kaytanya.