LIPI: Permen Siti Soal Ulin dan 9 Kayu Langka Perlu Ditinjau

Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Konservasi

Kamis, 05 Maret 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Kehutanan (LHK) Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi, dianggap perlu dilakukan peninjauan ulang.

Dalam Peraturan Menteri, yang mengubah PermenLHK Nomor P.20 Tahun 2018 tersebut, terdapat 10 jenis tumbuhan  yang mengalami perubahan status perlindungan. Dari yang sebelumnya berstatus dilindungi dalam PermenLHK No. P.20 Tahun 2018, kini menjadi tidak dilindungi.

Sepuluh jenis tumbuhan dimaksud yakni, Agathis borneensis atau damar pilau, Dipterocarpus cinereus atau palahlar mursala, Dipterocarpus littolaris atau palahlar nusakambangan, Upuna borneensis atau upan, Vatica bantamensis atau kokoleceran, Beilschmiedia madang atau medang lahu, Eusideroxylon zwageri atau ulin, Intsia palembanica atau kayu besi maluku, Koompassia excelsa atau kempas kayu raja dan Koompassia malaccensis atau kempas malaka.

Plt. Kepala Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Djoeni Setijo Rahajoe mengatakan, LIPI memandang perubahan status perlindungan 10 jenis tumbuhan dalam penerbitan PermenLHK No. P.106, perlu dilakukan peninjauan ulang kembali. Terlebih, LIPI merupakan lembaga yang mengeluarkan rekomendasi untuk menyertakan 10 jenis tumbuhan itu agar masuk ke dalam daftar dilindungi, dalam PermenLHK Nomor P.20 Tahun 2018 yang terbit sebelumnya.

Salah satu Pohon Koompassia excelsa atau Kempas kayu raja atau Tapang, yang masih berdiri tegak yang berada di dalam areal salah satu perkebunan kelapa sawit di pedalaman hutan Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Berdasarkan PermenLHK P.106/2018, Pohon Kempas kayu raja yang biasa jadi tempat bersarang lebah madu ini statusnya kini tidak dilindungi,/Foto: Betahita.id

Evaluasi tersebut bukan tanpa sebab. Menurut Djoeni Setijo Rahajoe, alasan LIPI merekomendasikan 10 jenis tumbuhan tersebut masuk dalam daftar tumbuhan dilindungi PermenLHK No. P.20 sebelumnya, dikarenakan beberapa jenis dari 10 jenis tumbuhan tersebut memenuhi kriteria  sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Yakni sebagai jenis endemik atau memiliki persebaran terbatas. Beberapa lainnya tergolong jenis yang populasinya mengalami penurunan tajam.

“Berdasarkan rekaman herbarium yang tersimpan di Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan beberapa literatur yang berkaitan, jenis-jenis tersebut tercatat dari lokasi-lokasi yang saat ini kemungkinan besar lahannya telah beralih fungsi,” kata Djoeni Setijo Rahajoe, Selasa (30/4/2019).

Djoeni Setijo Rahajoe mengungkapkan, jika suatu tumbuhan tertentu dianggap layak untuk tidak disertakan dalam daftar jenis dilindungi, maka perlu ada catatan atau dokumentasi lain yang menjelaskan kehadiran atau populasinya di tempat-tempat lain. Selain yang tercatat di koleksi herbarium sebelumnya dan diperkirakan dalam waktu yang akan datang keberadaannya masih akan terjaga.

“Oleh karena kami tidak mendapatkan informasi yang memadai perihal ini, maka kami pada posisi belum dapat memberikan rekomendasi agar 10 jenis tersebut layak dikeluarkan dari daftar perlindungan.”

LIPI Tidak Berikan Rekomendasi 

Lebih lanjut Djoeni Setijo Rahajoe menuturkan, peluang perubahan daftar tumbuhan dilindungi diakuinya selalu terbuka. Baik untuk menyertakan suatu jenis ke dalam daftar maupun mengeluarkannya. Hal tersebut dapat dilakukan apabila didukung data dan informasi yang memadai untuk melakukan justifikasi terutama data in situ.

Namun Djoeni menegaskan, pihak LIPI belum pernah memberikan rekomendasi yang mendasari perubahan PermenLHK No.P.20 Tahun 2018 menjadi PermenLHK No. P.92 Tahun 2018, kemudian menjadi PermenLHK No. P.l06 Tahun 2018. Dijelaskannya, sempat ada koordinasi antara KLHK dengan LIPI, terkait perubahan status perlindungan 10 jenis tumbuhan. Namun hal itu belum tuntas dilakukan.

“Sempat ada pertemuan dengan beberapa pihak, namun belum sampai ada rekomendasi dari LIPI untuk mengeluarkan 10 jenis tersebut karena data dan informasi yang diperlukan sebagai dasar untuk mengeluarkannya belum tersedia.”

Terpisah, Kepala Sub Direktorat Sumberdaya Genetik, Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH), Moh. Haryono mengatakan, terkait perubahan status perlindungan 10 jenis yang ditetapkan melalui PermenLHK No. P.106 Tahun 2018. Direktorat KKH telah meminta rekomendasi kepada LIPI. Namun hingga PermenLHK No. P.106 Tahun 2018 diundangkan pada 21 Januari 2019, rekomendasi dari LIPI tersebut tak juga didapatkan.

“Direktur KKH Kementerian LHK telah meminta rekomendasi ke LIPI. Dan LIPI telah memberi arahan upaya pelestarian terhadap 10 jenis tumbuhan tersebut. Memang bukan rekomendasi tapi surat yang isinya semacam arahan. LIPI lambat memberi rekomendasi sesuai permintaan yang disampaikan dir KKH,” kata Haryono, Selasa (30/4/2019).

Sementara, dalam Surat Sekretariat Jenderal Kementerian LHK, Nomor S/64/HUMAS/PP/HMS.3/2/2019, Perihal Penjelasan KHLK Terkait Perubahan Status Perlindungan 10 Jenis Kayu. Kementerian LHK menyebutkan, berdasarkan surat Plt. Kepala Pusat Penelitian Biologi UPI Nomor. B-414/IPH.1/KS.02.04/1/2019 pada tanggal 30 Januari 2019, yang ditujukan kepada Direktur KKH, Direktorat Jenderal KSDAE KLHK. LIPI selaku pemegang Otoritas Keilmuan memberi peluang untuk dilakukannya evaluasi terhadap status perlindungan jenis-jenis dimaksud. Jika tersedia data dan informasi tambahan yang mendukung koreksi atas penetapan status sebelumnya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup yang kini juga menjabat pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Bambang Hendroyono, membantah kabar bahwa lembaganya mengeluarkan kayu ulin dari daftar dilindungi tanpa rekomendasi. Menurut dia, sudah ada kajian dari Kementerian Lingkungan Hidup sebelum mengeluarkan kayu tersebut sehingga bisa dieksploitasi.

"Jadi kami tidak mengeluarkan tanpa dasar," ujarnya ketika ditemui wartawan di Kantor Staf Presiden, pertengahan  2019.