Walhi: Pernyataan Presiden Soal Konflik Lahan Warga Vs Korporasi Harus Dikawal

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Selasa, 07 Mei 2019

Editor : Redaksi Betahita

“Konsesi yang diberikan kepada swasta, maupun BUMN, kalau di tengahnya ada Desa atau Kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ, kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsesi . Siapapun pemilik konsesi itu, berikan, berikan kepada masyarakat, kampung, desa kepastian hukum. Saya sampaikan, kalau yang diberikan konsesi sulit-sulit, cabut konsesinya, saya sudah perintahkan ini, cabut seluruh konsesinya.”

-Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, pada Rapat Terbatas Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan-

Betahita.id – Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional Walhi mengatakan Pernyataan Presiden pada Jumat, 3 Mei 2019, di Rapat Terbatas patut diapresiasi. Namun kali ini Presiden Jokowi harus menaruh perhatian khusus pada persoalan tersebut.

Baca juga: Apa Kabar Pasal 66 UU PPLH?

Masyarakat adat Papua Barat berunjuk rasa di Jakarta, Kamis, 15 November 2018/ Betahita

“Jangan sampai, pernyataan ini sekadar mewarnai pemberitaan media belaka, ia harus menjadi pernyataan yang disertai kebijakan dan tindakan konkrit yang pelaksanaannya dipimpin oleh Presiden langsung,” katanya dalam konferensi pers di Kantor WALHI Senin, 6 Mei 2019 di Jakarta.

Presiden Joko Widodo pada Jumat, 3 Mei 2019 dalam pembukaan Rapat Terbatas “Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan” memberikan arahan tegas kepada para menterinya untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada rakyat dalam  konflik agraria yang terjadi.

Presiden bahkan secara tegas meminta untuk mencabut seluruh konsesi perusahaan swasta atau BUMN apabila pemegang hak konsesi mempersulit upaya percepatan pemulihan hak rakyat dalam konflik yang terjadi.

Berdasarkan catatan Walhi, pernyataan Presiden tersebut bukan merupakan pernyataan pertama guna merespon situasi konflik agraria dan sumber daya alam.

Hal seperti ini telah disampaikan Presiden dalam Janji Politik Nawa Cita Jilid I hingga adanya penerbitan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (Perpres RA).

Sayangnya, menurut Nur Hidayati, pada Rapat Terbatas kali ini  Presiden kembali terjebak dengan memberikan apresiasi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Abdul Djalil yang mencatatkan diri sebagai menteri  paling gagal dalam mendorong penyelesaian konflik agraria.

Hal ini bisa dilihat dari keengganan Kementerian ATR/BPN untuk menerbitkan paket regulasi penyelesaian konflik sebagaimana diamanatkan oleh Perpres Nomor 79/ 2017 tentang RKP 2018 dan Perpres RA.

Lebih buruk, Kementerian ATR/BPN juga dinilai Walhi enggan tunduk pada Putusan MA untuk membuka tranparansi data HGU, sehingga menghambat identifikasi tumpang tindih wilayah kelola rakyat dengan lokasi HGU bermasalah.

Catatan Konflik Agraria dan Sumber Daya Alam
Hingga 2018, Walhi mencatat terdapat 555 konflik/kasus agraria dan sumber daya alam yang dilaporkan kepada KSP. Adapun rinciannya dapat diihat dari olahan tabel di bawah ini.

SEKTOR JUMLAH VOLUME 1 JUMLAH VOLUME 2 TOTAL
Kasus Lahan (Ha) KK Kasus Lahan (Ha) KK Kasus Lahan (Ha) KK
Perkebunan 156 85.550,97 46.949 150 255.686,90 5.674 306 341.237,87 52.623
Kehutanan 85 98.176,85 32.263 78 148.569,88 4.304 163 246.746,73 36.567
Bangunan 11 1.252 2.400 22 1.008.278 8.056 33 2.259.936 10.456
Infrastruktur 7 856.536 407 12 1.432 224 19 2.288.536 631
Transmigrasi 4 4.557 3.427 13 2.395 1.198 17 6.952 4.625
Lainnya 4 996 13 26.948,97 1.901 17 27.944,97 1.901
TOTAL 267 191.389,01 85.446 288 436.041,03 21.357 555 627.430,04 106.803

Sumber Data: Olahan Laporan Konflik SDA ke KSP (Walhi)

Berdasarkan sebaran daerah dampingan WALHI di 20 provinsi, tercatat 487.595,42 hektar konflik agraria yang paling tidak melibatkan 58.094 jiwa (Riau, Sumsel dan Kalsel). Kondisi ini mengakibatkan rakyat tidak dapat Adapun rinciannya ialah:

1.Sektor Kehutanan, masyarakat di 7 provinsi di luar Pulau Jawa (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung dan Kalimantan Timur) tidak bisa memperoleh akses legal yang dimohonkan melalui Perhutanan Sosial dan/ atau terancam terusir dari kampungnya dengan luas wilayah konflik seluas 192.945,17 hektar. Sedangkan di Jawa (Jawa Barat dan Jawa Timur), konflik warga dengan Perhutani seluas 5122,5 hektar.

2.Sektor Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, tercatat konflik di 4 provinsi (DKI Jakarta, Bali, NTT dan Sulawesi Selatan) dengan luas 1.237 hektar.

3.Sektor Perkebunan, tercatat luas konflik di 10 provinsi (Aceh, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Maluku Utara) adalah 171.823,47 hektar.

4.Sektor Pertambangan migas, mineral dan batubara, tercatat terjadi konflik di 5 provinsi (Aceh, Bengkulu, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tengah) tidak hanya terancam terusir, namun masyarakat juga terancam perncemaran. Total luas wilayah konfliknya adalah 51.491, 78 hektar.

5.Infrastruktur energi, tercatat konflik di 5 provinsi (Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat) seluas 3.106 hektar.

Memperhatikan luasan konflik agraria dan sumber daya alam di atas, menurut Walhi sepatutnya Presiden Jokowi turun secara langsung mengakselerasi proses penyelesaian konflik yang berujung pada pemulihan hak rakyat dan keberlanjutan lingkungan hidup.

“Apabila Presiden tidak mau melihat rakyat mengalami kejadian penggusuran seperti yang dialami pada masa lalu, maka ia harus memimpin secara langsung perjuangan penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam yang terjadi di Indonesia. Terlebih kondisi ini sudah terjadi dari masa ke masa pemerintahan, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka,” ujar Ode Rahman, Kordinator Kampanye WALHI.

Evaluasi Perizinan dan Penegakan Hukum

Luas wilayah konflik agraria dampingan WALHI belum mencakup seluruh wilayah konflik  dampingan organisasi masyarakat sipil lain dan/ atau wilayah konflik yang rakyatnya melakukan perjuangan secara mandiri.

Perintah tegas Presiden untuk menyelesaikan konflik guna memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada masyarakat, tentunya harus didasarkan pada tindakan dengan dasar hukum yang jelas. Skema evaluasi perizinan secara menyeluruh berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta kondisi faktual konflk agraria dan sumber daya alam tentunya harus dilakukan.

Secara umum, dasar hukum evaluasi perizinan terkait dengan konflik tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Bahkan TAP MPR tersebut sebenarnya juga memerintahkan kepada Presiden untuk melakukan evaluasi keseluruhan peraturan perundangan yang tidak merefleksikan semangat pembaruan agraria dan sumber daya alam.

Secara teknis, terdapat beberapa peraturan teknis terkait konflik dan evaluasi perizinan di tingkat K/L. Hanya saja berbagai peraturan tersebut belum mampu mengakomodasi pemulihan hak rakyat dan keberlangsungan lingkungan hidup secara maksimal.

Guna melangsungkan perintah Presiden pada Rapat Terbatas, maka ia harus menerbitkan aturan yang menjadi dasar kementerian dan lembaga negara  untuk melaksanakan upaya percepatan penyelesaian konflik agraria dan sumber daya alam.

Selanjutnya, Presiden juga harus memimpin proses-proses penegakan hukum terhadap perusahaan dan penyelenggara negara yang memfasilitasi penerbitan perizinan yang tidak sesuai dengan kriteria peraturan perundangan dan tidak tunduk pada nilai kemanusiaan dan keberlanjutan lingkungan hidup.

Penegakan hukum yang tegas, baik secara perdata, pidana dan administrasi akan memberikan preseden ketegasan sekaligus efek jera terhadap praktik buruk pengelolaan dan penerbitan perizinan.

“Penerbitan dasar hukum yang lebih teknis dalam melakukan evaluasi perizinan industri eksraktif yang selama bertahun-tahun merampas sumber kehidupan rakyat harus dilakukan Presiden. Selanjutnya, Presiden selaku kepala negara harus memimpin proses penegakan hukum kepada perusahaan dan penyelenggara negara yang terlibat dalam praktik kotor proses penerbitan izin dan pengelolaan sumber agraria yang tidak ramah lingkungan dan kemanusiaan,” kata Nur Hidayati.

Rekomendasi WALHI

Merujuk pada pernyataan Presiden pada Rapat Terbatas 03 Mei 2019 dan paparan situasi konflik di atas, maka WALHI meminta kepada Presiden Republik Indonesia:

1.Membentuk Kelembagaan Khusus Reforma Agraria yang posisinya setingkat Kementerian yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden;

2.Menerbitkan Peraturan Pemerintah atau paling tidak Peraturan Presiden yang secara teknis mengatur mengenai dorongan evaluasi perizinan industri ekstratif berdasarkan persoalan konflik agraria dan sumber daya alam;

3.Mengganti para Menteri dalam Kabinet Kerja yang terlibat dalam konflik agraria dan sumber daya alam;

4.Memerintahkan kepada K/L evaluasi perizinan industri eksraktif secara menyeluruh berdasarkan persoalan konflik agraria dan sumber daya alam;

5.Menjatuhkan sanksi administratif berupa pencabutan izin secara keseluruhan kepada perusahaan- perusahaan yang tidak menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam yang berada di areal konsesinya;

6.Memerintahkan kepada Polri, KLHK dan Kejaksaan untuk menghentikan proses penegakan hukum terhadap rakyat akibat konflik agraria dan sumber daya alam.