Pakar: Konflik Agraria Bak Api dalam Sekam

Penulis : Redaksi Betahita

Agraria

Minggu, 16 Juni 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Menyikapi perkembangan konflik tanah antara PT Salonok Ladang Mas (SLM) dengan masyarakat Kalteng, pakar lingkungan DR Elviriadi menyebut konflik agraria ibarat bara dalam sekam.

Baca juga: PT Salonok Ladang Mas Dituding Garap Lahan Warga

Konflik agraria tak pernah berakhir selagi pemberian konsesi tak memperhatikan hak masyarakat. Pemerintah disarankannya meninjau seluruh wilayah perijinan di Indonesia, re-verifikasi tata batas secara fair.

Menurutnya, kasus-kasus konflik agraria meluas hampir semua daerah di tanah air, tetapi yang muncul hanya beberapa titik. Ibarat puncak gunung es, di bawahnya ada kawah besar yang sewaktu waktu bisa meletus.

Tampak dari atas kondisi lahan yang telah dibuka oleh PT SLM di sekitar Bukit Batu Gadur, Desa Sembuluh 1, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Sebagian lahan di sekitar daerah Bukit Batu Gadur diduga digarap tanpa adanya ganti rugi kepada para pemilik lahan./Foto: Doc. Save Our Borneo

Elviriadi mendesak pemerintah segera membentuk Tim Resolusi Konflik Agraria yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Selama ini hanya diserahkan kepada unit kerja di bawah kementerian ATR/BPB dan KLHK.

Itu sangat tidak efektif lantaran banyak konflik kepentingan. Berbagai regulasi juga tak berjalan, katanya saat dihubungi Selasa, 11 Juni 2019 dari Jakarta. Sebelumnya Betahita memuat laporan tentang konflik agraria di sejumlah daerah. Memang belum ada penyelesaian yang berarti.

Elviriadi menyayangkan pemerintah justru membuat Badan Restorasi Gambut (BRG) dan skema hutan kemasyarakatan lainnya. Ini berpotensi mengaburkan prioritas, sedangkan konflik agraria bisa sangat membahayakan masyarakat.

Ia menambahkan, jika hak tanah masyarakat yang tumpang tindih dengan swasta raksasa dikembalikan, jauh lebih besar dan urgen daripada restorasi gambut, skema perhutanan sosial, TORA dan program lainnya. Izin di lahan gambut juga berada di lahan sengketa dengan masyarakat. Bila ini diurai, Karhutla tak terjadi dan Pembentukan BRG tak relevan.

“Contohnya perlawanan tak pernah surut  Ruslan di Pulau Padang Kabupaten Meranti Riau, itu kan lahan gambut dalam. Masyarakat menanam tanaman adaptif gambut, kok di konversi dengan tanaman industri yang merusak gambut,” kara Elviriadi.

Elviriadi memastikan, jika lahan gambut maupun lahan mineral yang bersengketa agraria cepat ditangani Tim Khusus Resolusi Konflik, maka keseimbangan penguasaan lahan terwujud. Bencana ekologis dan konflik sosial bisa mereda.