Polusi Udara Jakarta Makin Memburuk

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Kamis, 15 Agustus 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Polusi mengepung udara Jakarta. Selama sepekan terakhir, rata-rata indeks kualitas udaranya berada di titik 146,5 US AQI dalam kategori tidak sehat bagi kelompok rentan.

Sedangkan berdasarkan penghitungan PM2.5 berada di angka 57,3 µg/m3 dalam kategori tidak sehat. Dengan angka tersebut, Jakarta dinobatkan sebagai salah satu ibu kota dengan tingkat pencemaran udara tertinggi di dunia.

Baca juga: Laporan IPCC Terbaru: Perubahan Iklim Semakin Ancam Keberlangsungan Peradaban Manusia

Anindita Nur Annisa, Research Assistant WRI Indonesia dalam penelitiannya mengatakan pencemaran udara menjadi masalah serius.

Jarak pandang terganggu dari Gedung Tempo daerah Palmerah, Foto/Yosep

Menurutnya, dampak pencemaran udara terhadap kesehatan melalui partikel yang bernama Particulate Matter (PM) 2,5 yang berarti partikel berukuran 2,5 mikrometer. partikel ini bisa masuk dalam pembuluh darah dan menyebar keseluruh tubuh.

Jika partikel PM 2,5 terhirup akan menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan mulai dari masalah pernafasan, kardiovaskular, sistem peredaran darah, sampe sistem reproduksi. Beberapa contohnya yaitu stroke, penyakit jantung. Dok/WRI

Jika partikel PM 2,5 terhirup akan menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan mulai dari masalah pernafasan, kardiovaskular, sistem peredaran darah, sampe sistem reproduksi. Beberapa contohnya yaitu stroke, penyakit jantung. Dok/WRI

Untuk ukuran PM 10, kata Anindita manusia masih bisa bertahan, dengan defense mechanism sendiri seperti batuk, dan bersin.

Permasalahan kesehatan mulai dari masalah pernafasan, kardiovaskular, sistem peredaran darah, sampai sistem reproduksi. Beberapa contoh seperti stroke, penyakit jantung.

“Orang sering menganggap bahwa pencemaran udara adalah masalah yang berbeda dari perubahan iklim. Padahal keduanya saling berkaitan,” katanya dalam laporan berjudul Kualitas Udara dan Jakarta.

Tingginya tingkat polusi udara disebabkan oleh emisi gas buang kendaraan, pembakaran industri, pembakaran rumah, dan pembangkit listrik. Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menerbitkan Instruksi Gubernur tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam instruksi tersebut, terdapat tujuh strategi untuk menekan tingkat polusi udara. Beberapa di antaranya seperti perluasan ganjil-genap, peralihan ke moda transportasi umum, dan mengoptimasikan penghijauan.

Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengapresiasi instruksi Gubernur yang dikeluarkan bertepatan dengan sidang perdana gugatan warga tentang polusi udara Jakarta pada 1 Agustus 2019.

Baca juga: Jakarta Jadi Kota dengan Polusi Tertinggi

Menurut Bondan, ini menunjukkan respons dari Gubernur DKI Jakarta mengenai polusi udara setelah mendapatkan banyak perhatian publik dan warganet. Instruksi Gubernur tersebut juga mengharuskan adanya monitoring dan pengendalian polusi udara dari pembangkit listrik.

Ketika Green House Gases (GHG) semakin banyak di udara, menyebabkan bumi semakin panas dan mencapai level yang berbahaya, fenomena ini dianggap sebagai “polusi udara”. Doc/WRI

Doc/WRI

Tingkat polusi udara di beberapa kota besar lainnya pun tak kalah tinggi. Serang dan Bandung berindeks 144,7 dan 147,1 US AQI masuk dalam kategori tidak sehat bagi kelompok rentan. Kemudian diikuti Pekanbaru dengan indeks 105,9 US AQI dan masuk dalam kategori yang sama. Surabaya menjadi salah satu kota besar dengan tingkat polusi sedang, lebih rendah dibandingkan kota-kota lainnya yakni di angka 93,6 US AQI.

Penelitian yang dilakukan Greenpeace Indonesia juga mengindikasikan adanya abu batu bara pada udara Jakarta. Greenpeace membuat pemodelan perangkat lunak (software) Calmet Calpuff.

Pemodelan itu memperhitungkan baku mutu emisi dari 12 PLTU yang berlokasi dalam radius 100 kilometer di luar Jakarta. Selusin pembangkit itu tersebar di 11 lokasi. Tujuh unit di antaranya sudah beroperasi.

Hasil pemodelannya, konsentrasi debu halus pembakaran batu bara yang selama ini berembus ke Jakarta berada pada angka 15 µg/m3. Nilainya diperkirakan meningkat menjadi 20 µg/m3 setelah pemerintah merealisasi pembangunan lima PLTU baru dalam radius yang sama.

“Artinya, kalau lihat Jakarta, dalam kondisi maksimal bisa saja pembakaran PLTU menyumbang 20 µg/m3,” kata Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Ariyanu.

Berdasarkan kesimpulan Greenpeace, konsentrasi debu halus batu bara ukuran 15-20 µg/m3 di Jakarta hampir mencapai 30 persennya.

Hasil pemodelan Greenpeace memang masih di bawah baku mutu PM 2,5 yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yakni 65 µg/m3. Masalahnya, menurut Bondan, baku mutu versi Kementerian Lingkungan Hidup itu tak pernah diperbarui selama 20 tahun.

Bondan lantas membandingkannya dengan baku mutu versi Badan Kesehatan Dunia (WHO). Badan ini menetapkan ambang batas debu halus di udara harian tak boleh lebih dari 25 µg/m3. “Standar nasional tiga kali lipat lebih lemah dibanding standar WHO,” kata dia. *

Gubernur DKI Anies Baswedan seperti dikutip Tempo.co juga telah meminta PT PLN untuk memeriksa cerobong pembangkit listriknya. Anies berharap asap dari pembakaran batu bara dari cerobong PLN tidak memberikan dampak besar pada polusi udara Jakarta.

Berdasarkan data Walhi dan Greenpeace, 10 PLTU batu bara yang berpotensi menyumbang polusi udara di DKI Jakarta adalah PLTU Lestari Banten Energi berkapasitas 670 MW, PLTU Suralaya unit 1-7 berkapasitas 3.400 MW, PLTU Suralaya unit 8 berkapasitas 625 MW, PLTU Labuan unit 1-2 berkapasitas 600 MW, PLTU Merak Power Station unit 1-2 berkapasitas 120 MW, PLTU Lontar unit 1-3 berkapasitas 945 MW, PLTU Lontar Exp. berkapasitas 315 MW, PLTU Babelan unit 1-2 berkapasitas 280 MW, PLTU Pindo Deli dan Paper Mill II berkapasitas 50 MW, PLTU Pelabuhan Ratu unit 1-3 berkapasitas 1.050 MW.