LIPI: Ada Spesies Baru di Balik Krisis Keanekaragaman Hayati

Penulis : Redaksi Betahita

Konservasi

Senin, 14 Oktober 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – The Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) menyatakan satu juta spesies di dunia terancam kepunahan. Beberapa penyebab kepunahan tersebut di antaranya perubahan fungsi lahan, eksplotasi satwa liar, perubahan iklim, polusi dan serta invasi spesies asing.

Baca juga: Julang Sulawesi dan Pohon Raja, Maskot Hari Cinta Satwa dan Puspa 2018

“Kondisi ini menjadi ancaman serius bagi populasi satwa endemik Indonesia yang belum terekspos,” ujar Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Atit Kanti di Cibinong, Bogor, Selasa, 8 Oktober 2019.

Namun di tengah kabar mengkahawatirkan itu, LIPI menemukan spesies satwa baru ketika melakukan penelitian keanekaragaman hayati.

infografis_katak/LIPI

Megophrys-nasuta_Amir-Hamidy_LIPI

infografis_katak/LIPI

Atit menjelaskan, penemuan spesies baru katak dan burung dari hasil ekspedisi yang dilakukan oleh peneliti LIPI memberi angin segar di tengah krisis keanekaragaman hayati tersebut.

“Temuan satwa baru tersebut akan menjadi data base untuk melengkapi data kehati, khususnya fauna yang sangat penting untuk proses pembangunan keanekaragaman hayati berkelanjutan di Indonesia,” ujar Atit.

Dia menjelaskan, penemuan spesies baru tahun 2015-2019 hampir 50% merupakan kontribusi utama peneliti LIPI.

Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi mengungkapkan selama rentang waktu 2015-2019 capaian temuan spesies satwa baru LIPI terus meningkat. “Hingga Oktober 2019 telah ditemukan 32 spesies endemik baru di Indonesia. Angka ini kami pastikan akan terus bertambah, karena proses identifikasi temuan masih terus berlangsung,” ungkap Cahyo.

Saat ini amphibi menduduki posisi kedua spesies terbanyak yang ditemukan LIPI setelah gastropoda.

Katak tanduk Kalimantan dan kodok wayang dari Sumatera

Salah satu temuan teranyar adalah katak tanduk Kalimantan (Megophrys kalimantanensis). Katak jenis baru tersebut baru saja dideskripsikan oleh tim peneliti dari LIPI; Kyoto University, Jepang; Aichi University of Education, Jepang; Institut Teknologi Bandung; dan Universitas Negeri Semarang.

“Jenis baru ini dikoleksi dari ekspedisi yang dilakukan di pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, juga di Bario, Sarawak dan pegunungan Crocker di Sabah, Malaysia,” jelas peneliti bidang herpetologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy. Penemuan jenis baru ini dipublikasikan di jurnal Zootaxa vol. 4679.

Morfologi katak tanduk Kalimantan ini sangat mirip dengan katak tanduk pinokio (Megophrys nasuta) yang tersebar luas mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya serta pulau-pulau kecil di sekitarnya. Jenis baru ini memiliki tanduk (dermal accessory) pada bagian moncong dan mata yang lebih pendek jika dibandingkan dengan katak tanduk pinokio. Juga sepasang lipatan lateral tambahan pada sayap.

Secara akustik, suara individu jantan dari jenis baru ini memiliki variasi yang lebih banyak dan lebih panjang jika dibandingkan dengan katak-tanduk pinokio. “Berdasarkan hasil analisis dari tiga metode pendekatan tersebut kami menyimpulkan bahwa jenis tersebut merupakan jenis baru dan kemudian diberi nama Megophrys kalimantanensis,” kata Amir.

Peneliti LIPI juga berhasil menemukan tiga spesies baru kodok wayang dari hutan dataran tinggi Sumatera. Sigalegalephrynus gayoluesensis dari Gayo Lues, Aceh dan Sigalegalephrynus burnitelongensis dari gunung Burni Telong, Aceh yang ditemukan di daerah utara Sumatera, sedangkan Sigalegalephrynus harveyi berasal dari gunung Dempo, Sumatera Selatan.

”Genus Sigalegalephrynus memiliki lebih banyak spesies endemik dibandingkan genus kodok lainnya di Indonesia,” ujar Irvan Sidik dari Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Hasil analisis filogenetik mengindikasikan terdapat perbedaan taksonomi antara kodok di dataran tinggi utara dan selatan. “Hasil identifikasi karateristik morfologis, genetik dan akustik dari ketiga spesies baru tersebut berbeda dengan dua spesies genus Sigalegalephrynus sebelumnya yaitu Sigalegalephrynus mandailinguensis, dari gunung Sorikmarapi, Sumatera Utara dan Sigalegalephrynus minangkabauensis dari gunung Kunyit, Jambi,” ujar Irvan. Penemuan jenis baru ini dipublikasikan di jurnal Zootaxa vol. 4679.

Burung pemakan madu dari Pulau Alor

Penemuan burung jenis baru Myzomela prawiradilagae berkontribusi menambah daftar panjang temuan satwa endemik burung di Indonesia. Bahkan keberhasilan deskripsi burung endemik asal pulau Alor ini berhasil menambah jumlah total burung genus Myzomela di Indonesia menjadi 20 jenis.

“Secara fisik, Myzomela prawiradilagae memiliki kemiripan warna dengan Myzomela dammermani dari Sumba dan Myzomela vulnerata dari Timor,” terang peneliti bidang ornitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Mohammad Irham. Dirinya menjelaskan, penamaan burung jenis baru dari pulau Alor ini merupakan bentuk penghargaan kepada peneliti senior bidang ornitologi LIPI, Dewi Prawiradilaga atas kontribusi besarnya untuk pengembangan penelitian ekologi dan konservasi burung Indonesia.

Dia menjelaskan, meskipun burung pemakan madu alias nektorivora tersebut secara filogenetik berkerabat dekat dengan Myzomela kuehni dari pulau Wetar, Maluku, namun dilihat dari karakter morfologi, bioakustik dan ekologi memiliki perbedaan siginfikan.

“Warna merah di kepala Myzomela prawiradilagae lebih mencolok dan memiliki pita kecil yang hanya mencapai tenggorokan. Vokalnya lebih lambat, bernada lebih rendah, dan hampir selalu dimulai denga nada awal. Habitat, terbatas di hutan Eucalyptus,” ujar Irham. Penemuan jenis baru ini telah dipublikasikan di Journal of Ornithology pada 5 Oktober 2019.