KPA: Bab HGU RUU Pertanahan Memperkuat Korporasi

Penulis : Redaksi Betahita

Agraria

Jumat, 01 November 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memberi sejumlah catatan terkait rancangan undang-undang (RUU) pertanahan. Salah satunya soal Hak Guna Usaha (HGU). Bab HGU yang ada dalam RUU tersebut dianggap hanya akan memperkuat posisi korporasi dalam hal penguasaan tanah, sekaligus memperparah ketimpangan agraria.

Baca juga: 10 Masalah Pokok RUU Pertanahan Ini Harus Diperhatikan Pemerintah

Sekretaris Jenderal  KPA, Dewi Kartika mengatakan, RUU Pertanahan berazaskan penciptaan keadilan dan azas umum pemerintahan yang baik. Akan tetapi isi bab HGU dalam RUU Pertanahan, khususnya pasal 31 sampai pasal 35, menyimpang dari azas tersebut.

Lebih lanjut Dewi menjelaskan, bab HGU akan memperparah situasi ketimpangan. Karena, memberikan banyak keistimewaan pada korporasi. Yakni dengan memberi masa berlaku HGU hingga 90 tahun kepada para pengusaha. Kemudian HGU dapat diterbitkan di atas Tanah Negara, HPL dan HM

Tampak dari ketinggian hamparan perkebunan sawit milik salah satu perusahaan besar swasta di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Bab HGU dalam RUU Pertanahan dianggap akan memperkuat korporasi atau perusahaan besar swasta dalam penguasaan tanah,/Foto: Betahita.id

“Lalu adanya pengecualian pembatasan penguasaan dan pemilikan maksimum, dikecualikan dengan dasar skala ekonomi dan kepentingan strategis nasional. Selanjutnya mengabaikan masalah rakyat yang berkonflik di areal perkebunan swasta dan negara atau BUMN,” kata Dewi, Rabu (30/10/2019).

Tidak hanya itu, menurut Dewi Kartika, bab HGU juga mengandung banyak agenda terselubung kelompok pengusaha perkebunan skala besar dalam hal penguasaan tanah. Termasuk memberi peluang kepada pemerintah untuk melakukan praktik kolusi dan korupsi bersama pengusaha perkebunan.

Ciri-cirinya, kata Dewi, mengatur cara-cara pemutihan pemilikan HGU yang melanggar, penguasaan tanah melebihi batas maksimum dikenakan pajak, atau perkebunan belum memiliki hak atas tanah akan diterbitkan sertifikat HGU nya. Hal ini diamanatkan dalam pasal 18, 104 dan 106 RUU Pertanahan.

Ciri selanjutnya, batasan luas HGU ditetapkan oleh menteri tanpa ada prinsip yang mengaturnya. Kemudian menolak keterbukaan informasi hak atas tanah, termasuk HGU, sesuai putusan MA dan UU KIP.

“Lalu HGU yang secara fisik menguasai tanah lebih luas hapus haknya menjadi tanah negara, akan tetapi statusnya sebagai HPL. Berikutnya, proses perpanjangan HGU diberikan keleluasaan dalam 5 tahun sebelum masa berlakunya berakhir.”

Yang lebih mengkhawatirkan, dalam RUU Pertanahan tidak ada satupun pasal yang mengatur mengenai evaluasi, penertiban dan pemberian sanksi kepada pelanggaran HGU. Pelanggaran HGU dimaksud di antaranya keberadaan desa dalam HGU, HGU terlantar, HGU yang habis masa berlakunya, penguasaan tanah perkebunan melebihi batas maksimum atau melebihi alas hak yang diberikan dan HGU maladministrasi.

“Beberapa catatan yang harus diperhatikan. Pembatasan maksimum luasan HGU (konsesi perkebunan) harus berdasarkan luasan wilayah, kepadatan penduduk dan daya dukung lingkungan, bukan menyamaratakan situasi agraria di semua provinsi. Mengacu pada UUPA 1960, usaha agraria termasuk melalui HGU diprioritaskan kepada badan usaha milik rakyat berazaskan gotong royong.”