Peladang Jadi Terdakwa Karhutla, AMAN: Mereka Bukan Penjahat Lingkungan

Penulis : Redaksi Betahita

Hukum

Rabu, 27 November 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Ketua AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Kotawaringin Barat, Mardani, mengatakan peladang  seperti Gusti Maulidin dan Sarwani yang menjadi terdakwa kasus karhutla, bukan penjahat lingkungan sehingga harus dilepaskan dari tuntutan.

Baca juga: 410 Konflik Agraria Terjadi 2018, RUU Pertanahan Dinilai Tak Punya Solusi

“Mereka berdua menjadi terdakwa kasus kebakaran hutan dan lahan saat membuka ladang untuk menanam padi seluas kurang dari satu hektar,” katanya melalui keterangan resminya di Jakarta, 26 November 2019.

Menurut Mardani, Gusti Maulidin dan Sarwani warga Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, dijerat dengan pasal berlapis. Pertama, dengan Pasal 108 Jo 69 Ayat 1 Huruf H UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Tampak areal lahan yang tengah terbakar di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Oktober 2015 lalu,/Foto: Raden Ariyo Wicaksono Betahita.id

Kedua, dengan Pasal 78 Ayat (3) Jo Pasal 50 Ayat (3) Huruf D, UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ketiga, Pasal 187 ke-1 KUH Pidana. Keempat, Pasal 188 KUH Pidana. “Peladang bukan penjahat lingkungan,” katanya.

Gusti Maulidin dan Sarwani adalah masyarakat adat, yang secara turun-temurun mewarisi budaya membuka lahan terbatas untuk berladang dengan cara membakar. Bagi mereka, membakar hanya sebatas untuk kepentingan ketahanan pangan lokal, tidak untuk merusak lingkungan hidup.

UU No 32 tahun 2009 pasal 69 ayat 2 pun menjamin itu, dengan bunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing.” Pasal ini hingga hari ini belum dicabut.

Lahan yang dibuka dengan cara membakar oleh Gusti Maulidin, secara riil bukan lagi tutupan hutan. Kawasan itu sudah berulang kali dijadikan tempat berladang.

Dahulunya, selain padi, di lahan itu pernah ditanami karet (para), kopi, dan rotan. Secara tradisi berladang sebenarnya justru berkontribusi bagi lingkungan hidup. Ini berbeda dengan istilah ladang berpindah, yang dituduh merusak alam, karena selalu berpindah ke lokasi yang baru.

AMAN Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, melihat dakwaan terhadap peladang Masyarakat Adat ini tidak tepat. Mereka bukanlah penyebab bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) selama ini. Kami justru bertanya, mengapa penegakan hukum karhutla lebih gencar pada peladang kecil, dibanding korporasi, yang beberapa di antaranya diketahui menjadi biang karhutla.

Mardani menekankan bahwa peladang bukanlah penyebab bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan selama ini. Mereka bukan penjahat, tetapi diperlakukan seperti penjahat lingkungan. Berladang sudah menjadi tradisi turun-temurun . Harusnya mereka dilindungi karena itu pun menjadi perintah UU, bukan malah di kriminalisasi terus .

“Mereka membakar lahan itu fungsinya untuk penyuburan tanah. Dari sanalah mereka menghasilkan beras organik terbaik. Mereka tidak punya maksud melanggar hukum. Mereka bukan anti terhadap cara lain dalam membuka lahan, selama mereka bisa melakukannya. Tapi, mereka belum mendapatkan solusi hingga saat ini,” katanya.

Kasus Masyarakat Adat berladang yang dikriminalisasi terjadi tiap tahun. Bila ini dibiarkan lama-lama peladang habis dipenjarakan. Sementara instruksi buka lahan tanpa bakar tidak pernah memberikan solusi konkret bagi peladang di lapangan.

Jangankan itu, kata Mardani, peladang kecil bila berurusan dengan hukum bisasanya akan mendapat efek berantai bagi kehidupan keluarganya. Atas tuduhan itu, AMAN Kotawaringin meminta peladang seperti Gusti Maulidin dan yang kasusnya serupa, dilepaskan dari tuntutan sebagai penyebab karhutla.

Sementara itu, Mabes Polri menyatakan telah melakukan penetapan 296 tersangka dari 262 kasus karhutla yang diselidiki kepolisian.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo, seperti dikutip cnnindonesia.com merinci 296 orang itu: 58 orang di Riau, satu orang di Aceh, 25 orang di Sumatera Selatan, 20 orang di Jambi, 21 orang di Kalimantan Selatan, 79 orang di Kalimantan Tengah, 68 orang di Kalimantan Barat, dan 24 orang di Kalimantan Timur.

Selain itu sembilan korporasi juga telah ditetapkan sebagai tersangka. Dedi belum merinci nama perusahaan yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Koorporasi saat ini yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, Bareskrim yaitu Riau satu tersangka, Sumsel 1 tersangka, Jambi satu tersangka, Kalsel dua tersangka, Kalteng satu tersangka, Kalbar dua tersangka, total sembilan tersangka,” tuturnya.

Sebelumnya polisi menetapkan lima korporasi sebagai tersangka. Kelima perusahaan itu adalah PT SSS di Riau, PT Bumi Hijau Lestari di Sumsel, PT Palmindo Gemilang Kencana di Kalteng, dan PT SAP dan Sizu di Kalbar.

Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi menilai ada kesalahan dalam perspektif kebijakan kehutanan yang ada di Indonesia. Ia mengatakan selama ini kawasan hutan yang produktif diprioritaskan untuk izin perkebunan hutan tanaman industri.

“Karena perspektif ini kemudian banyak praktek kawasan hutannya dibakar dulu supaya izinnya terbit,” ucap Zenzi.

Modus-modus seperti, lanjut dia, kerap ditemukan di kawasan Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan dan Riau. Demi mencegah modus tersebut, Zenzi menyatakan sebetulnya masyarakat sipil telah mendorong pemerintah agar kawasan hutan yang kritis diprioritaskan untuk restorasi sejak 2011 lalu.

Pembakaran hutan untuk membuka lahan sudah dilarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Pertanian. Namun, di beberapa daerah, masih ada yang mengizinkan pembakaran hutan hingga luasan tertentu, misalnya 2 hektare.

“Land clearing itu sampai 2015 banyak yang menjalankan memang ditebang dulu baru dibakar. Nah, pascaproses penegakan hukum mulai berjalan, sanksi mulai berjalan, praktiknya berubah jadi dia tidak ditebang dalam kawasan hutannya,” ujar Zenzi.