Terus Meningkat, Bank dan Investor Bakar Uang di PLTU

Penulis : Redaksi Betahita

Energi

Selasa, 31 Desember 2019

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Tiga tahun terakhir, dari 2017 hingga 2019, pembiayaan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara global, terus meningkat.

Baca juga: Soal Kematian 5 Penyu Dekat PLTU, Gubernur Bengkulu: Jangan Sampai Ada Pencemaran

Menurut data Urgewald, Banktrack dan 30 partnernya, di antaranya Auriga Nusantara-coalexit.org, tercatat dana sebesar US$745 miliar yang digelontorkan untuk rencana pembangunan PLTU secara global.

Bila dirupiahkan besarnya diperkirakan senilai Rp10.447 trilyun. Sekitar 4 persen dari total dana tersebut tercatat mendanai proyek energi kotor PLTU di Indonesia.

PLTU Banjarsari salah satu PLTU diperbatasan Lahat dan Muara Enim, Sumatera Selatan/Foto: Dokumentasi Auriga Nusantara

Iqbal Damanik, peneliti tambang dan energi Auriga Nusantara mengatakan pada kuartal ketiga 2019, pinjaman perbankan yang telah diberikan untuk proyek rencana pembangunan terkait PLTU di Indonesia  mencapai US$16,079 miliar atau senilai sekitar Rp225 trilyun.

Infografik Pendanaan Industri Batubara Secara Global

Infografik Pendanaan Industri Batubara Secara Global

Investasi dalam bentuk perjanjian yang telah disepakati (underwriting) nilainya sebanyak US$16,962 miliar atau sebesar Rp237 trilyun. Sehingga bila ditotal, dana yang masuk ke Indonesia, hingga kuartal ketiga 2019, mencapai US$33,042 miliar atau Rp463 trilyun. Akan tetapi, total dana yang masuk ke Indonesia, kemungkinan besar bisa lebih dari angka US$33,042 miliar tersebut.

Mengingat terdapat beberapa proyek PLTU di Indonesia, yang langsung diinvestasikan oleh investornya sebagai operator sekaligus dengan skema FDI (Foreign Direct Investment), seperti China Huadian Engeneering.

Jumlah 4 persen secara global ini, merupakan prosentasi yang cukup besar, jika ruang lingkupnya dikecilkan ke kawasan Asia Tenggara (Philippina, Thailand, Malaysia, Vietnam, Kamboja dan Laos).

Untuk di Asia Tenggara sendiri, kata Iqbal, dana yang terkucur untuk pembangunan PLTU tercatat sebesar US$69,150 milyar atau Rp970 trilyun. Sekitar 48 persen dari total US$69,150 milyar, atau senilai US$33,042 milyar, diinvestasikan ke Indonesia.

Angka-angka itu merupakan fakta yang menunjukkan Indonesia masih sangat bergantung dengan pengembangan energi fosil, khususnya batu bara. Sebagai gambaran, menurut data RUPTL 2019, jumlah kapasitas daya listrik terpasang bersumber dari PLTU di Indonesia kurang lebih 40.240,2 MW. Terbesar kedua se-Asia Tenggara setelah Filippina yang mencapai 42.482 MW.

Dana miliaran dolar itu secara global maupun konteks Indonesia, kontras dengan pernyataan-pernyataan negara-negara yang ingin beralih ke energi terbarukan. Apalagi kaitannya dengan konferensi perubahan iklim-COP. Sejak Sekretaris Jenderal Ban Kim Moon hingga Antonio Guiterres, PBB mendorong setiap negara untuk segera melakukan transisi energi dari fosil ke energi terbarukan.

Hanya saja, peningkatan jumlah dana yang diinvestasikan ke pembangkit batu bara, menunjukkan bahwa kepentingan bisnis masih terdepan ketimbang persoalan iklim, yang salah satunya diakibatkan oleh penggunaan batu bara untuk pembangkit energi listrik. Ada kesan setengah hati, dalam upaya negara-negara untuk beralih ke energi terbarukan.

"Banyak negara, terkesan hanya sekedar memenuhi kewajibannya menyusun NDC berisikan soal 1.5 C dengan salah satu caranya melalui transisi energi. Tapi tetap membuka lebar-lebar untuk investasi di energi kotor, dengan alasan proses transisi. Dalam konteks Indonesia, target elektrifikasi yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi, merupakan salah faktor yang terus mendorong investasi pembangkit listrik batu bara," ujar Iqbal Damanik,di Jakarta, Minggu 22 Desember 2019.

Infografik Kapasitas Daya Terpasang PLTU hingga Q3 di Asia Tenggara 2019

Perlu diketahui, masih terdapat dana sebesar US$16,962 milyar, yang akan siap dicairkan untuk proyek pembangunan PLTU di Indonesia. Artinya akan ada PLTU-PLTU lain yang akan dibangun, sesuai dengan target 35.000 MW yang merupakan rencana pemerintah sejak mula Presiden Joko Widodo menjabat, sejak dari periode pertama.

Jika menyertakan perbankan lainnya yang berasal dari China yang langsung maupun tidak langsung, cukup besar mereka mendanai proyek PLTU di Indonesia. Data yang dikumpulkan oleh Auriga dapat dilihat di quitcoal.info. Hal itu menunjukkan bahwa, tidak hanya perbankan dari negara-negara di Eropa, Amerika dan dalam negeri saja yang mendanai proyek. Cina dan Jepang adalah negara yang cukup signifikan mendanai proyek PLTU di Indonesia. “Misalnya China Development Bank dan Mitsubishi UFJ Finance," kata Iqbal.

Memburuknya kondisi lingkungan, kesehatan, iklim, termasuk munculnya masalah sosial dan HAM yang terjadi akibat pembangunan PLTU, kata dia, semestinya menjadi pertimbangan bagi dunia perbankan memberikan pinjaman mereka ke proyek PLTU. Beberapa perbankan telah mengambil sikap untuk tidak mendanai proyek, meski ada yang bersikap diskriminatif.

Selain itu, pada Juni 2019, Credit Agricole, Perancis, menyatakan tidak akan lagi mendanai proyek PLTU. AXA, asuransi terbesar Perancis, juga menyatakan hal sama, dengan tidak memberikan jaminan kepada proyek PLTU.

"Sepantasnya, perbankan di Indonesia melakukan hal sama, atau lebih menginvestasikan dananya ke pengembangan energi terbarukan. Dan pemerintah dengan tegas menghentikan pinjaman luar negeri untuk proyek PLTU," kata Iqbal.