Atasi Krisis Lingkungan Hidup, Jokowi Salah Solusi

Penulis : Redaksi Betahita

Agraria

Kamis, 30 Januari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Kondisi Indonesia saat ini sedang tidak baik. Begitulah pandangan Walhi melihat krisis multidimensi yang saat ini tengah terjadi. Oligarki ekonomi dan politik, dianggap sebagai penyebab utamanya.

Manajer Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, pengaruh oligarki yang menguasai aspek ekonomi dan politik itu dapat terlihat dari terjadinya berbagai ketimpangan agraria dan sumber daya alam, serta pertumbuhan ekonomi dan reformasi yang dikorupsi.

“Jokowi benar bahwa Indonesia berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan hidup. Tetapi keliru dalam menentukan solusi,” kata Boy, dalam diskusi Tinjauan Lingkungan Hidup 2020 yang digelar oleh Walhi di Kekini, Cikini, Jakarta, Rabu (29/1/2020).

Boy memaparkan, ketimpangan agraria dan sumber daya alam ini terlihat dari 61,46 persen daratan dan 14,04 persen lautan yang dijadikan objek investasi. Selain itu, saat ini perizinan di wilayah darat yang diberikan pemerintah sudah mencapai 96.593.156,13 hektare. Kemudian, pertumbuhan ekonomi yang digaungkan pemerintah justru malah melanggengkan terjadinya ketimpangan, yang mengakibatkan terjadinya stagnasi dan mengantar Indonesia pada fase krisis.

Manajer Hukum Lingkungan, Boy Jerry Even Sembiring memaparkan berbagai krisis yang terjadi akibat oligarki ekonomi dan politik di Indonesia, dalam diskusi yang digelar Walhi di Kekini, Cikini, Jakarta, Rabu 29 Januari 2020./Foto: Betahita.id

“Yang ketiga, reformasi dikorupsi. Itu terlihat dari kelompok pebisnis yang menguasai ruang politik dan pemerintahan. Mengakibatkan kebijakan yang pro terhadap investasi terus berlanjut.”

Pemindahan Ibukota Sama Dengan Pemindahan Krisis

Boy mengatakan, kondisi krisis di Indonesia terjadi secara merata di segala sektor. Sedikitnya ada 7 krisis yang tengah dan akan terjadi di Indonesia. Salah satunya menyangkut wacana pemindahan ibu kota negara. Rencana ini hanya akan memindahkan krisis ekologis yang terjadi di Jakarta ke calon ibukota baru.

“Pemindahan ibukota ini akan mengakibatkan pembabatan hutan baru. Kemudian terjadinya landswap untuk izin industri ekstraktif, menurunkan daya dukung dan daya tampung.”

Selain itu, isu pemindahan ibukota ini tidak menutup kemungkinan malah menjadi alat transaksi politik. Isu pemerataan yang menjadi salah satu alasan pemindahan ibukota, juga ditengarai bakal menjadi hal yang semu.

“Selanjutnya, pemerintah menyebut pembangunan ibukota baru tidak akan menghabiskan uang negara. Hanya 19,2 persen dari Rp466 triliun dana yang dibutuhkan, yang bersumber dari APBN. Selebihnya didanai swasta. Ini ibukota baru bukan milik rakyat?”

Pertambangan dan Pembangunan KEK Merusak Pesisir

Isu lainnya, mengenai krisis di wilayah laut, pesisir dan pulau kecil. Boy menguraikan, data Kementerian Kelautan Perikanan menyebut, 1,8 juta hektare dari total 3,4 juta hektare hutan bakau di wilayah pesisir, kondisinya saat ini rusak.

Kerusakan ekosistem hutan bakau tersebut terjadi karena abrasi, tambang pasir, reklamasi, proyek infrastruktur dan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Yang mana saat ini terdapat 15 KEK yang berada di wilayah pesisir. KEK tersebut menyingkirkan zona tangkap nelayan dan mengakibatkan tambak dan sawah terurug serta potensi dilakukannya reklamasi menjadi meningkat.

“Draft RZWP3K Bali mengakomodasi 4 proyek besar reklamasi Teluk Benoa seluas 700 hektare, perluasan bandara seluas 147 hektare, perluasan pelabuhan dan pembangunan sport hub seluas 50 hektare. Pertimbangan kebencanaan diabaikan,” kata Boy

Dominasi Bencana Ekologis di Sejumlah Wilayah

Dominasi bencana ekologis, lanjut Boy, tidak boleh diabaikan. Menurut Boy, pemerintah sebenarnya sadar terhadap potensi bencana yang ada di sejumlah daerah. Namun nyatanya berbagai proyek dan investasi lokasinya malah berada di kawasan rawan bencana.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2019 tercatat ada 3.768 kejadian bencana. Sedangkan pada 2018 terjadi 2.572 kejadian bencana. Bencana yang terjadi tersebut masih didominasi bencana hidrometeorologi.

“Karhutla di sumatera dan kalimantan kembali terulang. Bank Dunia menyatakan karhutla 2019 mengakibatkan sekitar 900 ribu orang mengalami gangguan pernafasan. Sekitar USD157 juta kerugian langsung dari aset dan USD5 miliar dari gangguan aktivitas ekonomi.”

Legislasi Pro Investasi dan Penegakan Hukum Yang Setengah Hati

Hal lain yang nantinya akan menyebabkan krisis adalah produk legislasi yang pro terhadap investasi. Boy menghitung, setidaknya terdapat 4 produk legislasi yang dapat dianggap pro terhadap investasi. Pada 2019, terdapat 55 RUU yang masuk prolegnas. 15 RUU di antaranya berkaitan dengan kerja advokasi yang dilakukan Walhi.

“Pengesahan RUU KPK menjadi sarana konsolidasi publik. Tidak ada lagi oposisi. Semua untuk korporasi dan lancarkan investasi. Pengesahan RUU Sumber Daya Air, RUU Sistem Budidaya Pertanian dan beberapa RUU lainnya. Tidak disahkannya RUU Pertanahan, RUU KUHP, RUU Perubahan UU Minerba yang bernuanasa represi dan pro investasi itu bukan karena kebaikan istana dan parlemen.”

Krisis dalam bidang penegakan hukum juga terjadi. Boy menyebutkan, meski beberapa kasus gugatan yang dilakukan Walhi menuai hasil positif, namun penerapan atau eksekusinya masih menorehkan nilai yang buruk. Dengan kata lain penegakan hukum di Indonesia hasil setengah hati dijalankan.

Di antaranya, eksekusi kasus karhutla yang belum dilaksanakan. Kemudian, tidak dilakukannya evaluasi perizinan yang mengakibatkan sumatera dan kalimantan kembali mengalami kebakaran dan bencana asap. Penggunaan hukum untuk melakukan represi rakyat semakin menguat.

“Proses legislasi malam membantu kerja represi penegakan hukum. Selain itu gugatan Walhi dan masyarakat lainnya dengan dalil penyelamatan lingkungan hidup ditolak atau tidak diterima.”

Krisis Demokrasi dan HAM, serta Polarisasi Oligarki

Boy melanjutkan, krisis juga terjadi dalam demokrasi dan HAM. Terlihat dari konflik agraria yang terus berlanjut dan bermunculan. Secara kuantitas tetap di level yang mengerikan. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), pada 2019 terjadi sekitar 279 konflik agraria yang terjadi.

“146 kasus kriminalisasi kepada pejuang lingkungan hidup di Jawa (Jakarta, Jabar, Jatim, Jogja dan jateng) selama 5 tahun terakhir. Angka terbesar Jawa Timur.”

Tercatat pula tiga tindakan represif terbesar yang terjadi pada 2019. Yakni, penanganan demonstrasi pasca pemilu, pengerahan polisi dan militer besar-besaran merespon tindak rasial terhadap Orang Asli Papua, dan terakhir tindakan represif terhadap demonstran penolak pengesahaan RUU KPK dan RUU lainnya pada masa transisi

“Janji penerbitan aturan turunan Pasal 66 Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak direalisasikan.”

Terakhir, Boy menuturkan, polarisasi oligarki juga telah mengakibatkan krisis di Indonesia. Itu terlihat dari polarisasi rakyat melalui ketokohan dan isu SARA yang terjadi selama proses pemilihan umum.

“Kemudian berdasarkan analisis Auriga dan Tempo juga diketahui bahwa 45,5 persen anggota parlemen adalah pebisnis. Kita juga mendalami bahwa 34,21 persen menteri di dalam kabinet juga berlatar belakang pebisnis. Polarisasi ditambah oligarki akan menghasilkan krisis multidimensi. Yang mana, kepentingan bisnis dilegalisasi melalui proses politik, rakyat diadu untuk lupa pada persoalan pokok,” kata Boy.