Energi Listrik PLTU Lebih Murah Dibanding Energi Terbarukan?

Penulis : Redaksi Betahita

Energi

Jumat, 31 Januari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.idInstitute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menemukan fakta bahwa listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara lebih murah dari pembangkit listrik energi terbarukan karena banyak komponen tidak dimasukkan dalam biaya produksi.

Menurut peneliti IEEFA, Elrika Hamdi, terdapat beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab mengapa PLTU masih lebih murah dibandingkan energi terbarukan. Di antaranya, dalam kasus beberapa PLTU skala besar, perhitungan biaya transmisi ditanggung PLN dan tidak dimasukkan dalam perhitungan biaya produksi listrik di PLTU. Selain itu biaya eksternalitas seperti biaya lingkungan dan kesehatan, juga tidak dimasukkan dalam komponen pembiayaan.

“Lalu tarif yang sering diumumkan itu adalah tarif yang tertera di PPA (power purchase agreement). Tarif tersebut menggunakan hitungan harga batu bara pada saat signing agreement tersebut. Realitasnya, biaya bahan bakar adalah pass-through atau tergantung pada HBA (harga batu bara acuan) pada bulan invoicing saat itu. Jadi kalau harga batu bara sedang naik signifikan seperti di tahun 2018 kemarin, harga PLTU pastinya tidak semurah harga di PPA,” kata Elrika, dalam Journalist Learning Forum di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Kamis (30/1/2020).

Sementara itu, lanjut Elrika, sekitar 116 lembaga keuangan (bank dan asuransi) di seluruh dunia saat ini sudah mulai menerapkan kriteria cukup ketat untuk pembiayaan batu bara. Hal ini dapat menekan kemampuan pengembang PLTU untuk mendapatkan pinjaman murah di tahun-tahun mendatang. Bila tidak lagi tersedia pinjaman murah, maka harga PLTU tidak lagi murah dan bersaing.

PLTU Kumai 2x7 MW, Kotawaringin Barat. Ditinjau dari keekonomian, biaya produksi listrik PLTU batu bara tidaklah murah dibanding energi terbarukan./Foto: Raden Ariyo W/Betahita.id

Elrika melanjutkan, terdapat beberapa komponen yang biasanya digunakan untuk perhitungan biaya produksi energi listrik. Yang pertama, fixed costs atau biaya tetap yang harus dikeluarkan terkait pembangkit dioperasikan atau tidak. Seperti biaya investasi proyek, manajemen proyek, financing cost termasuk di dalamnya biaya bunga selama masa konstruksi.

“Komponen selanjutnya, fixed operations and maintenance costs. Biaya tetap yang harus dikeluarkan terkait pembangkit dioperasikan atau tidak, selama operasi. Seperti misalnya biaya bunga bank, biaya gaji dan manajemen proyek, asuransi proyek dan biaya lain-lain (profesional, telekomunikasi, alat-alat kantor dan lain-lain).”

Lalu, komponen fuel costs atau biaya bahan bakar. Pada PLTU biaya ini meliputi, batu bara dan bahan bakar untuk pengapian boiler. Pada pembangkit energi terbarukan, tidak ada biaya fuel. Berikutnya, ada variable operations and maintenance costs. Yaitu biaya yang harus dikeluarkan dan terkait dengan level operasi proyek. Yang mana semakin tinggi produksi, semakin tinggi total biayanya. Termasuk dalam komponen ini adalah pembelian bahan kimia, pembelian suku cadang dan pembelian air.

Dan komponen terakhir, tapi terkadang tidak dimasukkan di dalam perhitungan biaya produksi listrik, adalah komponen transmission & distribution costs. Terkadang biaya transmisi ini ditanggung PLN seperti kasusnya pada beberapa PLTU mulut tambang atau PLTU besar lain.

“Tapi terkadang juga ditanggung IPP (independent power producer). Karena tidak adanya transparansi data mengenai terms & conditions yang selama ini ada di dalam PPA dan tidak ada keseragaman atau standarisasi PPA, maka sulit bagi kami sebagai peneliti untuk bisa mengetahui dengan jelas biaya-biaya apa saja yang masuk di dalaml perhitungan. Termasuk juga risiko apa yang harus ditanggung IPP.”

Biaya Kesehatan USD 84,19 Per MWh PLTU Batu Bara

Di tempat sama, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu menuturkan, pembiayaan produksi listrik PLTU seharusnya juga menjadi salah satu komponen perhitungan. Saat ini terdapat proyek PLTU batu bara dengan total kapasitas tambahan 45.365 MW di seluruh Indonesia. Penambahan pembangunannya bervariasi.

Terdiri dari proyek 17.825 MW berstatus telah diumumkan, 17.930 MW pengembangan pra-perizinan, 4.400 MW telah mendapat perizinan proyek dan 5,210MW dalam proses pembangunan. Diperkirakan, total biaya investasi akan berjumlah sekitar USD58.5 miliar atau Rp770 triliun.

“Berdasarkan perhitungan Greenpeace menggunakan penelitian Universitas Harvard. Dampak kesehatan dari 45.365 MW pembangkit listrik tenaga batu bara adalah USD 26,7 miliar atau setara dengan Rp351 trilliun untuk setiap tahun operasi PLTU batu bara,” kata Bondan.

Biaya kesehatan tahunan Rp351 trilliun ini jauh lebih tinggi dari alokasi APBN 2016 untuk sektor kesehatan, yang mencapai sekitar Rp110 triliun, sama dengan 5 persen dari total anggaran. Perhitungan yang dilakukan oleh Greenpeace menunjukkan bahwa biaya kesehatan muncul sebesar USD84,19 per MWh PLTU batu bara.

“Hal ini setara dengan 55 persen dari total biaya PLTU batu bara yang mencapai USD152,65 per MWh. Dengan mempertimbangkan biaya kesehatan, juga dampak CO2 atau pemanasan global dari struktur pembiayaan PLTU batu bara, maka argumen batu bara adalah energi murah merupakan argumen yang menyesatkan. Karena total porsi biaya modal, biaya bahan bakar, biaya operasi dan pemeliharaan hanya mencakup 38 persen dari biaya PLTU batu bara yang sebenarnya.”

Bondan mengatakan, istrik yang berasal batu bara merupakan pilihan yang buruk untuk strategi energi masa depan Indonesia. Sebagai jalan keluar, lanjut Bondan, Pemerintah Indonesia harus menerapkan beberapa hal. Yang pertama, proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga batu (PLTU) batu bara harus berakhir.

Ini harus diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret, antara lain dengan kebijakan yang tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah (yang direvisi), sehingga menjadi referensi penting bagi turunan rencana pembangunan di bawahnya, baik di tingkat nasional dan regional.

Phase-out serta meningkatkan pemantauan terhadap PLTU batu bara yang sudah ada. Dalam hal ini, Kementerian Sumber Daya Energi dan Mineral (ESDM) harus mengembangkan roadmap dengan target yang jelas untuk mempromosikan peralihan cepat dari dominansi batubara ke energi terbarukan.”

Bondan melanjutkan, penting untuk dilakukan pemantauan yang transparan dan mudah diakses masyarakat, terkait emisi dari PLTU batu bara. Termasuk kemudahan untuk diakses masyarakat lokal, memperkuat penegakan hukum dan menjatuhkan sanksi berat untuk temuan pelanggaran emisi PLTU batubara.”

Mengatur target yang lebih ambisius untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam menggantikan energi batu bara. Untuk pelaksanaan yang efektif, pemerintah harus menyediakan insentif yang sesuai untuk pengembangan energi terbarukan. Kemudian mendukung pengembangan teknologi yang berhubungan dengan energi terbarukan. Misalnya meningkatkan faktor kapasitas dan menurunkan biaya energi terbarukan.

“Fokus pada energi terbarukan yang melimpah di Indonesia, seperti panas bumi yang potensinya mencapai 40 persen dari cadangan panas bumi dunia dengan kapasitasnya melebihi 29.000 MW, serta pembangkit listrik tenaga air dan tenaga angin.”