Penyebab Kematian 28 Penyu di Bengkulu Masih Jadi Misteri

Penulis : Redaksi Betahita

SOROT

Minggu, 02 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Penyebab pasti kematian 28 penyu dalam 3 bulan terakhir, di pesisir pantai sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2X100 MW Teluk Sepang Bengkulu, masih belum terungkap. Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu-Lampung menyebut penyu-penyu itu mati bukan karena keracunan.

Kesimpulan itu berdasarkan hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner terhadap beberapa sampel bangkai penyu yang dikirim. Asumsi sementara menyebut, kematian penyu-penyu itu bisa jadi diakibatkan fenomena perubahan alam dan sampah di lautan.

Baca juga: Dalam 3 Bulan, 28 Penyu Mati di Sekitar PLTU Teluk Sepang Bengkulu

Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan menduga kematian beruntun penyu itu terkait dengan pembangunan PLTU Teluk Sepang Bengkulu, yang beberapa waktu lalu melakukan uji coba dan membuang limbah ke laut. Namun pihak PLTU menyatakan, limbah yang dibuang sudah melalui proses sesuai standar.

Salah satu penyu yang ditemukan mati di pantai sekitar PLTU Teluk Sepang Bengkulu, 1 Januari 2020 kemarin./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

Kepala BKSDA Bengkulu-Lampung, Donal Hutasoid mengatakan, kematian beruntun 28 penyu dalam beberapa bulan terakhir belum bisa dipastikan penyebabnya. Penelitian dan pemeriksaan mendalam terhadap jasad penyu juga sulit dilakukan. Terutama karena tidak semua penyu yang dilaporkan mati itu dapat ditemukan jasadnya.

“Tidak semuanya ada (jasadnya). Memang ada laporan kematian penyu yang kita terima. Tapi di lokasi bangkainya sudah tidak ada. Tidak tahu kemana. Selain itu ada beberapa bangkai yang ditemukan yang kondisinya sudah busuk dan tidak bisa diotopsi (nekroposi). 4 bangkai yang dibawa ke kantor Gubernur itupun juga sudah dalam kondisi busuk,” kata Donal, Jumat (31/1/2020).

Raden Ariyo Wicaksono

Sejumlah penyu mati di pinggir pantai Teluk Sepang dan diangkut untuk dilakukan otopsi/Foto: Dokumentasi BKSDA Bengkulu

Namun dugaan sementara, penyu-penyu itu disinyalir mati diakibatkan sebab yang beragam. Di antaranya, akibat sampah plastik yang tertelan dan mengganggu sistem pencernaan penyu. Kemudian akibat terlilit jaring atau jala ikan milik nelayan.

“Hasil uji laboratorium itu hanya salah satu saja (cara mengetahui penyebab kematian). Karena dari beberapa otopsi (nekropsi) menunjukkan ada yang terkena jaring. Ada yang di dalam ususnya terdapat sampah dan plastik. Nah untuk penyu yang tidak ada (sampah dalam pencernaannya dan terkena jaring) itu yang dibawa ke laboratorium.”

Dari hasil uji laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, lanjut Donal, tidak ditemukan indikasi adanya bukti keracunan zat atau unsur tertentu yang membutuhkan investigasi lanjutan. Hasil uji laboratorium dari Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor ini bisa dijadikan acuan utama memastikan ada tidaknya kemungkinan penyu mati akibat zat kimia berbahaya.

Raden Ariyo Wicaksono

Pengiriman spesimen organ satwa penyu ke Laboratorium Balai Besar Penelitian Veteriner dan Pusat Studi Satwa Primata Institut Bogor./Foto: Dokumentasi BKSDA Bengkulu

“Lab IPB (Institut Pertanian Bogor) juga sering mengirim sampel ke Balai Penelitian Veteriner Bogor. Jadi lab ini (Balai Besar Penelitian Veteriner) bisa dikatakan lab acuan utama. Uji toxic atau racun tidak mengindikasikan penyu keracunan zat atau unsur tertentu. Tidak ada unsur (kimia) yang membuat dia (penyu) mati. Bakteri bisa jadi penyebab. Bisa juga bukan perbuatan manusia tapi alam.”

Karena berdasarkan penjelasan dari ahli klimatologi, beberapa bulan terakhir diketahui adanya perputaran arus bawah laut dan temperatur air yang berubah. Hal itu diduga kuat menjadi salah satu penyebab kematian penyu.

“Bisa jadi penyebabnya itu (perubahan kondisi alam lautan). Tapi mengenai itu, yang lebih paham itu adalah ahli klimatologi. Dan ada ahli klimatologi dari universitas yang membenarkan bahwa perubahan kondisi laut bisa menyebabkan satwa mati. Kalau itu karena alam, kita tidak bisa apa-apa. Tapi kalau ada zat buangan (jadi penyebab), entah dari manusia atau pabrik misalnya, baru akan ditindaklanjuti.”

Donal Hutasoid mengatakan, ancaman terhadap satwa yang dilindungi harus terus menjadi perhatian multipihak. Salah satunya terhadap sampah yang terbukti ditemukan berada dalam pencernaan penyu yang mati.

“Nelayan yang menjaring ikan, kalau ada satwa yang dilindungi agar dilepasliarkan.  Juga semua pihak yang mengeluarkan buangan yang berpotensi mencemari perairan juga harus terus mengendalikan buangannya.”

Menurut Donal, fenomena kematian penyu tidak hanya terjadi di Bengkulu saja sebenarnya. Beberapa kasus juga terjadi di beberapa titik di pantai sumatera. Bahkan kasus serupa juga dilaporkan terjadi di garis pantai Meksiko baru-baru ini.

Donal juga menyebut, hampir seluruh pantai di sumatera merupakan tempat mendarat penyu untuk bertelur. Baik Penyu Hijau, Penyu Sisik maupun Penyu Belimbing.

Isi Siaran Pers

Dalam press release yang disampaikan BKSDA Bengkulu disebutkan, berdasarkan Surat Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor Nomor: B-/16/PK.310/H.5.1/01/19/538 tanggal 20 Januari 2020, perihal Hasil Pemeriksaan Laboratorium, bahwa Diagnosa umum mikroskopis dari spesimen penyu yang telah dikirimkan adalah Hepatik nekrosis parah, hepatitis, enteritis parah, haemonrrhagi, hemosiderosis, myopathy dan myosis.

Hasil penegakan diagnosa laboratorium adalah infeksi bakterial suspect Salmonellosis dan Clostridiosis. Hal ini juga dipengaruhi oleh spesimen yang dikoleksi dan dikirimkan sudah mengalami autolysis.

Berdasarkan hasil pengujian Nomor: LB.19/538 Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian tanggal 10-11 Desember 2019 dari pemeriksaan 11 spesimen organ penyu diketahui bahwa hasil pengujian toxicologi tidak menunjukkan nilai yang mempengaruhi mortalitas penyu.

Dalam siaran pers yang sama disebutkan pula bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) didampingi oleh Dinas LHK Provinsi Bengkulu telah melakukan pengambilan sampel (sampling) air di sepuluh titik pada sepanjang Pantai Kota Bengkulu antara Pantai Sungai Hitam sampai dengan Pelabuhan Pulau Baai menunjukkan hasil Uji Kualitas Air Laut adalah memenuhi baku mutu air laut sesuai dengan Permen LH Nomor 51 Tahun 2004.

Selain itu terdapat pula penjelasan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang isinya menjelaskan terjadinya Suhu Muka Laut dengan penyimpangan (Anomali) dingin di perairan sebelah barat Bengkulu, antara September hingga awal Desember (kurang dari normalnya sebesar 0.5 derajat - 3 derajat Celcius) dan mulai menghangat pada pertengahan Desember hingga Sekarang.

Raden Ariyo Wicaksono

Sumber: Press Release Kematian Penyu di Pesisir Pantai Kota Bengkulu

Kajian Ilmiah 

Terhadap hasil uji laboratorium tersebut. Kepala Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Ohiongyi Marino berpandangan, pihak BKSDA Bengkulu-Lampung perlu melakukan pemaparan atau penjelasan kepada publik atas hasil analisis penyebab kematian penyu secara langsung, tidak hanya dalam bentuk press release.

“Kemudian BKSDA harus mengeluarkan kajian ilmiah yang menjelaskan keseluruhan sebab akibat mengapa terjadi fenomena kematian 28 penyu. Dalam hal ini, apa penyebab penyu-penyu tersebut mengalam infeksi bakteri tersebut. Dari manakah asal muasal bakteri tersebut. Termasuk seharusnya BKSDA memberikan laporan lengkap dari lab-nya,” kata Ohyongyi, Jumat (31/1/2020).

Raden Ariyo Wicaksono

Pelaksanaan otopsi beberapa bangkai penyu yang ditemukan mati di pantai Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi BKSDA Bengkulu

Selanjutnya, kata Ohyongyi, perlu adanya penjelasan mengapa tidak ada hasil uji laboratorium terhadap sampel penyu yang diuji di IPB. Karena hasil uji laboratorium dari dua laboratorium yang berbeda akan dapat menguatkan sebab akibat kematian penyu.

“Perlu ada pernyataan dari Lab IPB secara langsung mengapa mereka tidak mengeluarkan hasil. Alasan dari Lab IPB perlu diketahui agar dapat menghilangkan pemikiran publik. Terkait Lab IPB juga sering mengirim sampel ke Balai Penelitian juga perlu diklarifikasi. Juga mohon dijelaskan LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang terlibat dalam rapat-rapat pengambilan kesimpulan kematian penyu.”

Ohyongyi menganggap kematian 28 penyu dalam 3 bulan terakhir ini bukanlah suatu hal yang boleh diremehkan. Pemerintah semestinya menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). Perlu adanya langkah-langkah khusus yang harus diambil oleh Pemerintah Daerah Bengkulu, apapun penyebabnya.

“Termasuk meminta PLTU Teluk Sepang melakukan revisi Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) jika dalam Amdal tidak mengidentifikasi penyu sebagai fauna yang akan terkena dampak PLTU.”

Kambing hitamkan Fenomena Alam

Terpisah, Juru Kampanye Kanopi Bengkulu, Olan Sahayu mengaku sedikit tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh pihak BKSDA dan pemerintah daerah. Lantaran, dua bulan setelah sampel penyu dikirim ke Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, hasilnya penyebab kematian 28 ekor penyu ternyata belum juga terungkap.

Berdasarkan Pers Rilis yang disampaikan pada 31 Januari 2020, tambah Olan, tidak ditemukan pernyataan yang menegaskan penyebab kematian penyu. Semua hanya berdasarkan dugaan atau asumsi. Dalam rilis, bahwa hasil uji laboratorium adalah infeksi bakterial suspect Salmonellosis dan Clostridiosis. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sampel  yang dikirimkan sudah mengalami pembusukan.

“Sementara BMKG menyebutkan pada periode September sampai dengan awal Desember terjadi anomali (Suhu Muka Laut dengan penyimpangan) dingin di perairan sebelah barat Bengkulu. Dari dua hal di atas, kami menduga bahwa para pihak mengkambinghitamkan fenomena alam,” kata Olan Sahayu, Jumat (31/1/2020).

Raden Ariyo Wicaksono

Salah satu penyu mati yang ditemukan di pinggir pantai sekitar PLTU Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

Olan mengatakan, faktanya sebagian besar kematian penyu ditemukan di area saluran pembuangan air limbah PLTU batu bara Teluk Sepang, sejak 10 November 2019 sampai Januari 2020. Kematian penyu ini bertepatan dengan jadwal uji coba PLTU batu bara Teluk Sepang sejak 19 September 2019.

“Sejak proses uji coba ditemukan buih yang berwarna kecoklatan dan berbau busuk dari saluran pembuangan limbah PLTU langsung ke laut. Jika faktor alam yang menyebabkan kematian tersebut, pertanyaan kuncinya mengapa kematian penyu tidak ditemukan di perairan lain seperti Pulau Tikus, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Kaur?”

Kejadian fenomena alam yang menyebabkan buih di laut disebutkan BMKG terjadi sampai Desember 2019. Faktanya kematian terus terjadi hingga Januari 2020 seiring pembuangan limbah cair PLTU langsung ke laut. Kanopi mencatat selama Januari 2020, 5 ekor penyu mati di Pantai Teluk Sepang.

“Fakta lain, sejak uji coba pada Spetember 2019 hingga 13 Januari 2020, PT TLB tidak memiliki izin pembuangan limbah cair PLTU batu bara Teluk Sepang ke laut. Atas dasar tersebut, Kanopi Hijau Indonesia masih tetap pada desakan yang sama.”

Desakan dimaksud adalah:

  1. Mendesak BKSDA mengungkap dan mengusut kematian 28 ekor penyu di Pantai Bengkulu.
  2. Mendesak Gubernur Bengkulu mencabut izin lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang.
  3. Mendesak kepolisian memproses pelanggaran hukum atas pembuangan limbah cair PLTU batu bara Teluk Sepang.

Kematian Penyu Diduga Akibat Operasional PLTU 2X100 MW

Catatan Kanopi Hijau Indonesia (Kanopi Bengkulu), kematian penyu pertama terekam pada 10 November 2019. Kala itu terdapat dua penyu mati yang ditemukan dalam radius 50 meter dari saluran air bahang PLTU Bengkulu. Bila dijumlahkan, hingga 18 Januari 2020 jumlah kematian penyu sudah mencapai 28 ekor.

Kematian 28 ekor penyu, khususnya jenis Sisik (Eretmochelys imbricate) dan Belimbing (Dermochelys coriacea), ini diduga ada kaitannya dengan operasional PLTU Bengkulu yang lokasinya berada di sekitar pantai yang biasa dijadikan penyu sebagai tempat pendaratan untuk bertelur.

Karena Olan, sebelum kejadian puluhan bangkai penyu terdampar di sekitar Pantai Teluk Sepang, PLTU batu bara Bengkulu diketahui pernah melakukan dua kali uji coba operasi. Yakni 19-26 September 2019 dan pada 8-15 Oktober 2019. Pada tahap uji coba ini, ditemukan buih berwarna kecoklatan dan berbau menyengat yang keluar dari saluran pembuangan tersebut.

Raden Ariyo Wicaksono

Buih atau busa yang muncul di dekat saluran pembuangan air bahang PLTU Tekuk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

“Setelah uji coba ini, bangkai penyu mulai terdampar di Pantai Teluk Sepang. Diawali penemuan dua ekor bangkai penyu pada 10 November 2019 oleh warga setempat. Mirisnya kasus kematian penyu ke-28 yang terjadi tiga bulan sejak kematian penyu pertama kali ditemukan, belum ada pihak yang mampu mengungkap penyebab kematian satwa dilindungi ini,” kata Olan.

Olan Sahayu mengingatkan, penyu adalah spesies dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Kronologis 28 Penyu Mati di Sekitar Pembuangan Limbah PLTU Teluk Sepang, Bengkulu.

  • 19 September 2019, PLTU mulai melakukan uji coba operasi. Warga mendapati adanya buih yang keluar melalui saluran pembuangan, dan berbau menyengat. Buih itu juga ditemukan lagi pada 4 Oktober 2019. Setelah uji coba, penyu mati mulai bermunculan.
  • Data kasus pertama kematian penyu tercatat terjadi pada 10 November 2019. Di tanggal itu, 2 bangkai penyu ditemukan. Masing-masing berjarak 20 dan 100 meter dari saluran pembuangan limbah PLTU.
  • Keesokan harinya (11/11/2019) dilakukan otopsi oleh mahasiswa kelautan dan lembaga LATUN di resort Pantai Panjang. Hasilnya tidak terjadi kerusakan secara fisik dan tidak ditemukan material berbahaya di dalam lambung dan usus yang dapat menyebabkan kematian penyu.
  • Berselang 7 hari, pada 18 November 2019 kembali ditemukan 4 ekor bangkai penyu. 4 Penyu itu ditemukan oleh nelayan.
  • Lalu pada 20 November ditemukan ratusan ikan mati di sekitar pembuangan limbah air bahang PLTU. Saat itu, terdapat nelayan mengumpulkan bangkai ikan di pinggir laut.
  • Pada 4 Desember 2019, 4 ekor penyu ditemukan mati dalam waktu yang sama dan jarak yang berdekatan. Hanya 100 meter dari pembuangan limbah. Bangkai penyu langsung diotopsi oleh dokter hewan BKSDA Bengkulu.
    Secara fisik tidak ada kerusakan dan tidak ditemukan material berbahaya di dalam usus dan lambung. Kemudian sebagian organ dalam penyu diambil sebagai sampel untuk diuji di laboratorium IPB di bogor untuk di uji.
  • Kemudian pada tanggal 5 Desember 1 ekor penyu oleh pemancing di Lentera Merah yang berjarak sekitar 1 KM ke pembuangan limbah.
  • Pada 6 Desember, ditemukan lagi 2 ekor penyu oleh warga di pantai Teluk Sepang.
  • Pada 18 Desember, ditemukan 1 ekor penyu mati oleh pemancing di Lentera Merah berjarak sekitar 1 Km dari pembuangan limbah PLTU.
  • Pada 19 Desember ditemukan 1 ekor penyu mati.
  • 20 Desember dilaporkan terdapat sebanyak 4 ekor penyu yang mati. Penyu yang ditemukan sebanyak 4 ekor tersebut diantarkan ke Kantor Gubernur engkulu sebagai bentuk protes warga karena tidak ada tindakan dari pemerintah.
  • Kurun waktu 21-25 Desember, 4 bangkai penyu kembali ditemukan.
  • Bertepatan dengan Tahun Baru, 1 januari 2020, kembali ditemukan 2 ekor penyu yang mati. Yaitu penyu ke 23 dan 24 yang berjarak 150 meter dari saluran pembuangan limbah.
  • Kemudian pada 3, 8 dan 10 Januari 2020, ditemukan masing-masing satu ekor dengan jarak kurang lebih 1 Km dari pembuangan limbah.
  • Pada 18 Januari 2020 kembali ditemukan 1 ekor penyu oleh pemancing di Pantai Berkas Bengkulu.

PLTU Belum Miliki Izin Pembuangan Limbah

Olan bilang, berdasarkan pertemuan yang diinisiasi oleh BKSDA pada 13 Januari 2020, diketahui bahwa pemerintah akan membentuk tim investigasi setelah hasil uji laboratorium keluar. Dalam pertemuan tersebut, juga terungkap dari pernyataan Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Bengkulu, Zainubi, pembuangan limbah PLTU Teluk Sepang yang dimiliki oleh PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) belum memiliki izin karena belum beroperasi.

“Menurut Zainubi, izin diurus setelah 3 bulan PLTU melakukan uji coba operasi. Jika selama 3 bulan tidak melebihi baku mutu, maka izin pembuangan limbah akan diterbitkan. Pernyataan Zainubi ini mengkonfirmasi fakta bahwa sejak 19 September 2019 (masa uji coba) hingga saat ini, pembuangan limbah cair PLTU ke laut adalah ilegal atau tidak memiliki izin.”

Tindakan PLTU batu bara ini, masih kata Olan, telah melanggar Peraturan Menteri LH Nomor 8 Tahun 2009, Keputusan Menteri LH Nomor 51 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri LH Nomor 12 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Pembuangan Air Limbah ke Laut.

“Dalam peraturan ini tidak ada memuat tentang percobaan buang limbah air bahang ke laut untuk mengetahui terlampaui atau tidaknya baku mutu.”

Raden Ariyo Wicaksono

Buih atau busa yang muncul di dekat saluram pembuangan air bahang PLTU Tekuk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

Di kesempatan yang berbeda, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Bengkulu Sorjum mengatakan, terkait PLTU, izin yang sudah diperoleh PLTU dari pemerintah adalah Izin Lingkungan Amdal. Dijelaskannya, sesuai aturan turunan dari Amdal pihak pemrakarsa pada saat sedang/ setelah beroperasi, mengajukan izin pembuangan limbah cair/ air bahang yang dibuang ke lingkungan/ Air laut ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK).

“Syaratnya antara lain, pertama, adanya hasil uji laboratorium limbah cair selama 3 bulan berturut turut dan tidak melebihi baku mutu yang dipersyaratkan. Kedua, adanya kajian karakteristik limbah yang dihasil dan lain-lain. Sesuai ketentuan. Jadi mengingat saat ini PLTU belum aktif beroperasi/ ujicoba. Mereka sedang melakukan progress untuk memenuhi persyaratan dimaksud,” kata Sorjum, Rabu (22/1/2020).

Tanggapan PT TLB Pemilik PLTU 2×100 MW Bengkulu

Terpisah, HSE Enginer PT TLB 2X100 MW Bengkulu, Zulhelmi Burhan mengatakan, masalah perizinan terkait PLTU Bengkulu wilayahnya berada pada KLHK dan DLHK sebagai pihak yang berwenang. Sebagai pemilik PLTU batu bara Bengkulu, lanjutnya, PT TLB sampai saat ini selalu patuh dan mengikuti proses aturan yang telah ditetapkan.

“Saat ini kami dalam fase uji coba dan masih dalam pantauan dan pengurusan di KLHK. Sebagai informasi, sampai saat ini PLTU masih mematuhi standar baku mutu lingkungan yang ada. Kami mengimbau masyarakat agar tidak mudah percaya dan berhati-hati terhadap isu-isu dari pihak yang tidak bertanggung jawab dan tidak kompeten dalam masalah ini. Selain itu, kami melihat banyak berita kematian penyu yang dikaitkan dengan masalah limbah PLTU yang sebenarnya kami belum beroperasi. Air bahang yang kami keluarkan, masih sesuai dengan standar baku mutu yang ditetapkan Pemerintah RI,” kata Zulhelmi, Selasa (21/1/2020).

Selain pernyataan Zulhelmi yang disampaikan kepada Betahita.id di atas. Pada 6 Desember lalu, PT TLB juga mengeluarkan Siaran Pers berjudul ‘TLB Terapkan Teknologi Pengolahan Limbah Sesuai Standar Baku Mutu Lingkungan. Dalam siaran pers tersebut, PT TLB mengklaim terus memastikan seluruh kegiatan yang berlangsung di PLTU Bengkulu tidak mengganggu lingkungan di Teluk Sepang dan sekitarnya.

Raden Ariyo Wicaksono

Tampak dari kejauhan PLTU 2×100 MW Teluk Sepang, Bengkulu./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

Dalam siaran pers itu, Direktur PT TLB Willy Cahya Sundara menyatakan bahwa perusahaan telah mematuhi standar-standar pelestarian lingkungan wilayah Teluk Sepang Bengkulu.

“Kami memiliki Sistem Instalasi Pengelohana Air Limbah (IPAL) dan pengolahan limbah udara yang baik dan sesuai dengan standar yang berlaku. Selain itu kami telah memiliki izin lingkungan dari pemerintah,” kata Willy, Jumat (6/12/2019) lalu.

Lebih lanjut dijelaskan, PT TLB memiliki lima instalasi IPAL. Pertama adalah Wastewater Treatment Plant yang berfungsi mengolah air limbah dari boiler. Kedua, Coal Water Treatment Station yang berfungsi untuk mengolah air lindi di lokasi stockpile batu bara.

Ketiga, Ash Water Treatment Station yang berfungsi mengolah air limpasan dari lokasi penumpukan abu batu bara. Keempat, Sewage Treatment Plnt yang berfungsi mengolah limbah yang dihasilkan dari kegiatan domestik. Terakhir kelima, Oily Water Treatment Plant yang berfungsi untuk mengolah air yang tercampur dengan minyak selama proses produksi. Air limbah yang telah diolah dibuang menurut ketentuan yang berlaku.

Sementara untuk pengolahan limbah udara PT TLB menggunakan alat penangkap debu/abu Electrostatic Precipitator (ESP) untuk menangkan debu maupun abu hasil pembakaran. Debu atau abu yang berhasil ditangkap akan dibuang ke udara dengan memenuhi peraturan yang berlaku.

“Kami menyadari bahwa perusahaan harus memberikan perhatian penting pada lingkungan. Selain aspek tersebut diatur oleh pemerintah, menjaga kelestarian lingkungan akan membantu perusahaan agar dapat sustain kedepannya.”

Raden Ariyo Wicaksono

Salah satu penyu yang ditemukan mati di pantai sekitar PLTU 2X100 MW Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

PT TLB Klaim Limbah PLTU Masih Memenuhi Baku Mutu

Dalam siaran pers dimaksud, HSE Enginer PT TLB Bengkulu, Zulhelmi Burhan juga mengatakan, pihaknya setiap hari melakukan pengawasan dan membuat laporan izin lingkungan. Zulhelmi juga menyebut, adanya isu dugaan limbah dari PLTU dapat dipertanyakan, sebab saat ini operasional PLTU belum dilakukan dan baru akan dimulai pada 2020 mendatang.

Zulhelmi bilang, pihaknya secara rutin melakukan pengecekan terhadap limbah yang dikeluarkan. Saat ini di sekitar area pembuangan banyak terdapat ikan-ikan kecil yang dalam keadaan hidup. Selain itu di waktu sebelumnya pihak PT TLB juga telah mengajak pihak BKSDA dan DLHK Kota Bengkulu untuk melakukan pengecekan hasil limbah kami.

“Dimana hasil yang didapatkan bahwa hasil limbah PLTU masih memenuhi baku mutu air yang ditentukan. Jadi jika ditanyakan terkait pemberitaan apa penyebab kematian penyu yang berkembang kemarin. Kami terus terang tidak tahu dan menyerahkan sepenuhnya kepada pihak BKSDA untuk mengeceknya di lab,” kata Zulhelmi.

Proses Pengolahan Air Laut di PLTU Bengkulu./Sumber: Website PT TLB

Dalam Siaran Pers, PT TLB juga mencuplik keterangan Kepala Bidang Pengolahan Sambah, Limbah B3 dan Pengendalian Pencemaran Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan Provinsi Bengkulu Zainubi dalam konferensi persnya pada 21 November 2019 yang menyatakan bahwa tidak ditemukan pencemaran limbah dari PLTU Bengkulu.

Yang mana, hasil uji sampling menyebutkan bahwa tidak ada indikasi pencemaran limbah dari PLTU Bengkulu mengingat derajat keasaman (PH) air berada di angka 8,32 dan salinitas masih dalam angka wajar yaitu 7,4.

Disadur dari Antaranews, pihak manajemen pengelola PLTU batu bara Bengkulu, TLB mengakui, hingga kini PT TLB belum mengantongi izin pembuangan limbah cair dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dikatakan, izin tersebut masih dalam proses.

Direktur PT TLB Willy Cahya Sundara, dalam surat resmi yang diterima redaksi Antara, pada Rabu (15/1) menulis, izin pembuangan limbah cair atau IPLC PLTU batubara Bengkulu ini masih dalam proses pengurusan. Willy menyebut, pihak KLHK terlebih dulu akan melakukan kunjungan ke lokasi pembuangan limbah cair PLTU batu bara Bengkulu, sebelum nantinya izin pembuangan limbah cair ini dikeluarkan.

Dalam suratnya, Willy mengatakan, pihak PT TLB sebelumnya telah melakukan pembahasan terkait izin pembuangan limbah cair ini bersama pihak KLHK. Saat itu pihak KLHK menyampaikan beberapa koreksi dan telah diperbaiki oleh pihak PT TLB.