PLTU Teluk Sepang Dianggap Hancurkan Biodiversitas Indonesia

Penulis : Redaksi Betahita

Biodiversitas

Rabu, 05 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sepang Bengkulu terus mendapat sorotan. Koalisi #BersihkanIndonesia menganggap investasi Cina di PLTU batu bara berkapasitas produksi 2X100 MW tersebut menghancurkan biodiversitas Indonesia.

Dalam waktu dekat PLTU ini bakal resmi beroperasi. Koalisi #BersihkanIndonesia mendesak, Presiden Jokowi untuk menghentikan proyek PLTU batu bara tersebut dan mendorong transisi energi ke sumber yang bersih dan berkeadilan. Terlebih karena PLTU Teluk Sepang penuh dengan segala kontroversi hukum dan kerusakan hayati yang ditimbulkan.

Baca juga: Penyebab Pasti Kematian 28 Penyu di Bengkulu Masih Belum Terungkap

Juru bicara #BersihkanIndonesia dari Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting mengatakan, sejak awal PLTU Teluk Sepang merupakan proyek bermasalah yang mendapat penolakan besar dari warga Bengkulu. Sebabnya, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PLTU Teluk Sepang tidak sesuai dengan fakta-fakta yang ada di lapangan.

Salah satu penyu mati yang ditemukan di pinggir pantai sekitar PLTU Teluk Sepang Bengkulu./Foto: Dokumentasi Kanopi Bengkulu

Bukan hanya AMDAL, lokasi pembangunan PLTU Teluk Sepang yang saat ini berada di daerah Pulau Baai, Kota Bengkulu, juga tidak sama dengan isi dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bengkulu yang menyatakan area pembangunannya berada di Napal Putih, Kabupaten Bengkulu Utara.

“Besok (5/2/2020) itu rencananya peresmian (PLTU Teluk Sepang) oleh Presiden Jokowi. Asumsinya, uji cobanya sudah beres. Tapi kita meminta tunda. Karena ada dampak yang terjadi jelang operasi ini, di antaranya penyu mati. Jika PLTU Teluk Sepang tetap diresmikan, maka akan merusak biota laut sebab Pantai Bengkulu merupakan bagian dari pantai barat Sumatera yang masuk dalam kategori laut yang kaya akan keanekaragaman hayati,” kata Pius, Selasa (4/2/2020).

Pius Ginting menyebut, Convention on Biological Diversity (CBD) menamai daerah ini sebagai Upwelling Zone of the Sumatra-Java Coast, dan dimasukkan ke dalam daerah ecologically or biologically significant marine areas (EBSAs). EBSA sendiri memiliki siginifikansi lebih tinggi terhadap satu atau lebih spesies dari ekosistem dibandingkan dengan daerah lainnya.

Proyek PLTU yang masuk dalam program 35.000 MW Presiden Joko Widodo ini tercatat didanai investor asal Cina yakni Power China dan PT Intraco Penta Tbk.

“Sementara di negerinya sendiri, Cina telah melakukan penghentian pembangunan PLTU batu bara dan beralih ke energi terbarukan.”

Ironisnya juga, masih kata Pius, pada Oktober 2020, Cina menjadi tuan rumah Konferensi Keragaman Hayati PBB ke-25. Seharusnya Cinabisa menjadi teladan bagi dunia investasi agar peka terhadap keberagaman hayati.

“Sangat disayangkan, investasi langsung Cina di Indonesia belum memperhatikan daerah-daerah yang signifikan bagi keragaman hayati. Di antaranya pembangunan PLTU Teluk Sepang Bengkulu menyebabkan kematian 28 penyu.”

Berdasarkan catatan Kanopi Bengkulu, 28 ekor penyu yang ditemukan mati selama PLTU Teluk Sepang menjalani uji coba operasi, 19 September 2019 hingga 23 Januari 2020. Penyu-penyu ini ditemukan mati tidak jauh dari saluran pembuangan limbah Teluk Sepang. Kanopi Bengkulu menduga, penyu-penyu tersebut mati disebabkan atau dipicu oleh limbah air bahang yang dikeluarkan PLTU Teluk Sepang.

Direktur Kanopi Bengkulu, Ali Akbar mengatakan, pemerintah menyebut kematian penyu disebabkan bakteri Salmonella sp dan Clostridium sp. Hal ini sangat meragukan. Sebab berdasarkan keterangan dari lembaga konservasi internasional, Lampedusa Sea Turtle Rescue Center, Italia, kedua jenis bakteri ini umum terdapat di penyu laut, tetapi daya patogenitasnya rendah pada penyu.

“Kami meminta KLHK mengeluarkan surat rekomendasi untuk menunda operasi PLTU Teluk Sepang. Karena dampak yang telah ditimbulkannya. Pemerintah bisa menyelamatkan masa depan udara bersih bagi masyarakat Bengkulu dengan tidak melanjutkan operasi PLTU kotor tersebut,” kata Ali Akbar, Selasa (4/2/2020).

Ali Akbar menambahkan, dalam keadaan normal, PLTU Teluk Sepang akan menghasilkan pembuangan abu terbang, lebih dari 0,5 ton setiap hari. Abu terbang ini tak lain adalah PM 2,5, yang merupakan senyawa beracun. Sama berbahayanya seperti mercuri, timbal, sox nox dan Karbon Monoksida (CO). Selain itu, PLTU Teluk Sepang juga diketahui belum memiliki Izin Pembuangan Limbah.

“Sampai dengan satu bulan yang lalu, berdasarkan pernyataan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), mereka (PLTU) belum punya Izin Pembuangan Limbah. Ketika ditanya, mereka jawab sedang dalam proses. Kami curiga mereka belum kantongi hal itu.”