Petani Kutai Melawan Ekspansi Perkebunan dan Tambang

Penulis : Redaksi Betahita

Agraria

Rabu, 12 Februari 2020

Editor : Redaksi Betahita

Betahita.id – Konflik antara masyarakat dan korporasi perkebunan sawit dan tambang terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur (Kaltim). Petani di sejumlah kecamatan  melakukan perlawanan untuk mempertahankan tanahnya dari ekspansi perkebunan sawit dan pertambangan.

Konflik tersebut tercatat terjadi sejak sekitar 2005. Sejak itu berbagai persoalan hukum muncul. Sedikitnya 7 petani dan warga yang menolak tanahnya digunakan untuk perkebunan sawit dan pertambangan, mengalami berbagai upaya kriminalisasi.

Koordinator Koalisi Petani dan Nelayan anti Mafia Tambang dan Sawit di Kukar, Aqmal Rabany mengatakan, kehadiran perkebunan sawit di Kecamatan Muara Jawa, Loa Janan dan Sanga-Sanga, tidak membuat masyarakat menjadi lebih sejahtera, tapi justru membuat warga jadi lebih sengsara.

“Kehadiran perusahaan tidak menyejahterakan masyarakat, malah menyengsarakan. Perusahaan hadir dengan menggusur lahan-lahan produktif kelompok tani dan sebagian berada di areal perkampungan Sungai Nangka Teluk Dalam,” kata Aqmal Rabany, Jumat (7/2/2020).

Kehadiran perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan batu bara di Kecamatan MUara Jawa, Sanga-Sanga dan Loa Janan, Kutai Kartanegara diangap menyengsarakan masyarakat dan petani./Foto: Dokumentasi FH Pokja 30

Aqmal menguraikan, kehadiran perkebunan sawit ini telah mengakibatkan lahan garapan milik 6 kelompok tani di tiga kecamatan itu terampas. Karena pembukaan lahan di atas lahan milik kelompok tani itu dilakukan tanpa adanya sosialisasi atau pemberitahuan terhadap para pemilik tanah.

Ia menduga, Izin Lokasi yang diterbitkan Bupati Kutai Kartanegara dengan nomor 10/DPtn/UM-10/V-2004 untuk perusahaan perkebunan itu, diberikan tanpa melakukan cek lapangan. Karena izin lokasi itu berada di atas lahan garapan kelompok tani yang sudah bersertifikat hak milik.

“Izin lokasi diterbitkan di atas tanah warga. Mungkin itu hanya di atas kertas saja dibuat. Tanpa seizin warga. Padahal sudah ada sertifikat. Ada sertifikat yang tahun 1991. Kemudian ada lagi sertifikat hak guna usaha (HGU) tahun 2011. Inikan aneh ada sertifikat di atas sertifikat. Kita minta inclave tapi tidak ada jawaban.”

Selain kepemilikan sertifikat hak atas tanah yang dipegang petani, bukti kepemilikan lahan juga dikuatkan oleh bukti fisik berupa pohon buah-buahan, merica, pohon sengon dan pondok-pondok milik kelompok tani. Keberadaan kelompok tani ini jugaterdaftar di Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K).

HGU Diduga Bermasalah dan Ada Tambang Batu Bara

Aqmal juga menganggap HGU yang dipegang oleh perusahaan perkebunan itu bermasalah. Karena kalau berdasarkan ketentuannya, sebelum HGU itu terbit harus diketahui lebih dahulu dasar atau alas haknya. Apakah lahan tersebut sudah dibebaskan dan lahan tidak tumpang tindih.

“Masyarakat merasa tidak pernah menjual atau melepaskan tanahnya, dan surat-surat masih dimiliki masyarakat, namun anehnya HGU tetap diterbitkan BPN.”

Tak sampai itu saja. Fakta lain menunjukkan, HGU Nomor 75/HGU/BPN RI/ 2009 yang dipegang pihak perusahaan telah dibatalkan, berdasar putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Nomor: 18/G/2011/PTUN/-JKT dan putusan Nomor: 23/G/2011/PTUN-JKT.

“Selain itu di areal perkebunan perusahaan itu juga terdapat perusahaan pertambangan batu bara yang telah mencemari, merampas dan menggusur kelompok tani. Perusahaan batu bara dan perusahaan sawit ini masih satu grup,” terang Aqmal.

Keberadaan tambang batu bara ini diketahui telah mengakibatkan sumber-sumber air milik warga Kampung Sungai Nangka tercemar. Pencemaran tersebut dibuktikan dengan hasil uji laboratorium yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim bersama warga, dengan membawa contoh air ke laboratorium kesehatan Provinsi Kalimantan Timur.

“Sampel berasal dari beberapa titik di Kampung Sungai Nangka, pada 19 Mei 2015 dengan tanggal pengujian 20 Mei 2015 sampai dengan 1 Juni 2015.”

Hasil uji laboratorium terhadap contoh air Sungai Nangka menunjukan, pH air menunjukkan angka 5,4, dengan standar baku mutu adalah 6-9. Total Suspended Solid (TSS) 92,4, standar baku mutunya adalah 50, atau 92 kali melebihi baku mutu. Untuk kandungan logam beratnya yaitu Mangan (Mn) angka melebihi baku mutu 0,354, standarnya adalah 0,1 atau 3 kali melebihi baku mutu.

“Kemudian, Besi (Fe) 2,676, jauh melebihi standar baku mutu yang ditetapkan adalah 0,5, atau 8 kali lipat dari batas baku mutu.”

Untuk hasil uji laboratorium sampel air Sungai Pelupu menunjukkan, parameter pH 5,9 dengan standar baku mutu adalah 6-9, untuk kandungan logam beratnya yaitu Mangan (Mn) 0,1746 mg/L, standarnya adalah 0,1, atau 1 kali lipat melebihi dari baku mutu.

Kriminalisasi Petani

Lebih lanjut, Aqmal mengungkapkan, hingga kini tercatat terdapat 7 petani dan warga yang telah dikriminalisasi oleh pihak perusahaan dengan bermacam tuduhan. Beberapa di antaranya bahkan harus rela mendekam dalam sel tahanan.

“2015 sudah mulai terjadi kriminalisasi. Salah satunya Pak Nurdin, dari Desa Tani harapan, sampai menjalani hukuman. Mencuri tuduhannya. Kemudian, Ketua Kelompok Tani Maju Bersama. Saya juga tuduhan menyerobot tanah perusahaan. Ketua Kelompok Tani Untung Tuah Bersama dan lain-lain. Ada 7 orang.”

Raden Ariyo Wicaksono

Foto: Dokumentasi FH Pokja 30

2 petani di antaranya, bahkan baru saja menjalani persidangannya pada Senin (3/2/2020) kemarin. 2 petani Kecamatan Muara Jawa itu digugat karena menolak melepaskan tanahnya untuk aktivitas pertambangan.

“Jadi kemarin putusannya itu NO (tidak bisa diterima). Ini keuntungan, kalau di kita yang ditolak hanya rekonvensinya. Tapi kalau dari pihak penggugat semuanya ditolak. Apakah mereka mau banding atau tidak, kita tunggu 14 hari. Untuk lebih lengkapnya nanti tunggu salinan putusan.

Berdasarkan fakta-fakta ini, lanjut Aqmal, pihaknya menyatakan sikap dan menyampaikan sejumlah tuntutan kepada pemerintah dan pihak perusahaan.

  1. Menuntut pemerintah untuk memberikan kepastian tenurial bagi masyarakat yang tanahnya berada dalam konflik agraria berdasarkan Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2016 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017. Dalam RKP tersebut Reforma Agraria menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan oleh pemerintah pusat hingga daerah. Salah satu cakupannya adalah penyediaan kepastian tenurial bagi masyarakat yang tanahnya berada dalam konflik agraria.
  2. Pihak perusahaan harus mengembalikan tanah petani yang sebelumnya telah dirampas.
  3. Memulihkan kampung yang telah dirusak oleh perusahaan.
  4. Menghentikan kriminalisasi terhadap petani yang saat ini sedang menjadi pesakitan di Pengadilan Negeri di Tenggarong

Buyung Marajo dari FH Pokja 30 mengatakan, kehadiran perusahaan perkebunan dan pertambangan di 3 kecamatan ini selain mengakibatkan terjadinya penggusuran lahan pertanian 6 kelompok tani, juga telah memicu konflik sosial antarwarga. Hal tersebut salah satunya berujung pada munculnya gugatan dari suatu kelompok warga kepada sejumlah petani Kecamatan Muara Jawa.

“Tergugat dituduh merampas lahan, padahal para penggugat ini sebelumnya sudah menjual lahannya ke perusahaan tambang. Tergugat dan penggugat ini adalah kelompok masyarakat. Ini sama saja memicu konflik dengan mengadu sesama masyarakat. Kelompok tani yang tergugat, sedangkan penggugatnya itu dari masyarakat lain yang domisilinya bukan disana,” kata Buyung Marajo, Jumat (7/2/2020).

Terpisah, Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Rukka, yang juga salah satu dari petani yang pernah dikriminalisasi mengatakan, dirinya sudah 5 kali mengalami upaya kriminalisasi. Bahkan dirinya juga pernah ditahan. Namun hal tersebut tidak menyurutkan perlawanan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.

“Saya juga pernah demo di Kantor Gubernur. 5 kali saya dilaporkan. Pernah juga ditahan. Tapi karena saya pernah menang, sekarang banyak kelompok tani yang bergabung dengan saya. Ada 6 kelompok tani dari 3 kecamatan yang sekarang bergabung melakukan perlawanan bersama saya,” kata Rukka, Jumat (7/2/2020).

Rukka bilang, total luas lahan kelompok tani yang mengalami penggusuran atau diamabil paksa oleh perusahaan adalah seluas kurang lebih 2 ribu hektare. Lahan-lahan kelompok tani itu berada di Kecamatan Muara Jawa, Sanga-Sanga dan Loa Janan.

“Setelah menang, sekarang ada 6 kelompok tani yang bergabung. Lahan yang disengketakan itu totalnya ada 2000-an hektare di 3 kecamatan. Sama sekali tidak ada ganti rugi.”

Rukka menambahkan, lahan pertanian Kelompok Tani Maju Bersama mulai k8diambil paksa oleh pihak perusahaan sejak 2011. Berbagai tanaman buah milik petani digusur.

“Itu sejak 2011. Tanaman kita, sengon, rambutan, karet, durian, kelapa habis digusur. Kita juga heran kok bisa kasih izin di tengah perkampungan? Sekarang lahan kita dipersempit dan diambil semua. Padahal kita ini punya pemerintah yang harusnya melindungi rakyatnya, ini malah perusahaan yang dilindungi.”

Pengambilan paksa lahan kelompok tani yang diketuainya itu tentu saja memicu perlawanan petani. Akan tetapi, lanjut Rukka, perlawanan yang dilakukan oleh dirinya dan anggota Kelompok Tani Maju Bersama itu tidak membuahkan hasil. Karena pihak perusahaan bermain “kucing-kucingan” dengan petani.

“Kita secara rombongan datangi kalau alat berat mereka (perusahaan) bekerja. Kita minta mereka berhenti. Tapi selanjutnya mereka sembunyi-sembunyi bekerja. Siang kita hentikan, malam mereka berkerja lagi. Paginya sudah gundul. Terus begitu.”

Meski begitu hingga kini dirinya tetap melakukan perlawanan terhadap ekspansi perkebunan. Namun diakuinya, perlawanan yang dilakukannya tidaklah mudah, apalagi saat ini sebagian besar lahan tani milik Kelompok Tani Maju bersama sudah gundul. Yang menyebabkan banyak petani yang meninggalkan atau tidak bertahan tingga di atas lahannya.

“Hanya tinggal saya saja sekarang yang bertahan, tidak pergi. Yang lain sudah pergi. Karena lahan kita sudah banyak gundul. Kalau pergi semua, perusahaan berani masuk.”

Rukka melanjutkan, saat ini lahan petani yang belum digusur statusnya bisa terbilang quo. Pihak perusahaan tidak diperbolehkan beraktivitas, baik melakukan menggusur maupun menanam di atas lahan itu. Hanya saja, hal itu membuat petani juga tidak bisa memanen hasil bumi di lahan itu.

Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Usaha dan Penyuluhan, Dinas Perkebunan Kabupaten Kukar, Abdul Samad mengatakan, permasalahan ini sebelumnya sudah pernah dibahas. Konflik lahan antara sejumlah kelompok tani dan perusahaan perkebunan di Kecamatan Muara Jawa, Loa Janan dan Sanga-Sanga itu diarahkan untuk diselesaikan di jalur hukum.

“Masalah ini dulunya sempat dibahas di Kantor Gubernur Kaltim. Diarahkan untuk menempuh jalur hukum. Karena HGU perusahaan diduga tumpang tindih dengan tanah masyarakat sekitar. Kemudian masalah terkait dengan HGU, berarti ranahnya BPN untuk verifikasi lebih lanjut,” kata Abdul Samad, Rabu (12/2/2020).